Thursday, June 4, 2009

Masa kembali ke keluarga

Entah kapan...
Malam hari, aku sudah berada dalam Matarmaja, kereta menuju Malang. Sebentar saja kulihat dari balik jendela, Herto dan Yuni melambaikan tangan saat kereta mulai perlahan bergerak ke arah timur pulau jawa. Tak ku dapat tiket bernomor tempat duduk, cukup padat pula penumpangnya, kuputuskan menyendiri di sambungan gerbong. Sebentar saja pikiranku melayang, entah seperti apa kota Malang, lalu datang kantuk menyerang. Tertidur, sendiri saja.

Sekitar jam tujuh pagi, kereta masuk Blitar. Aku sudah berdiri di pintu. Beberapa penumpang di belakangku cukup banyak, sepertinya Blitar tujuan akhir mereka, sementara tujuanku pecèl sebagai sarapan pagi itu. Yang aku dengar, sepertinya terlambat kereta masuk Blitar, pada akhirnya hanya sebentar ia mampir. Tak lama, sebentar saja, makanan itu sudah lahap aku habiskan saat kereta mulai merayap kembali.

Terowongan pertama di Karangkates baru saja ku lewati. Belum lagi habis untuk berpikir, terowongan kedua menyambut. Sementara asap dari lokomotif penarik gerbong-gerbong memenuhi hampir seluruh sudut kereta. Terdengar ocehan-ocehan beberapa anak kecil, sepertinya gembira menikmati suasana gelapnya terowongan. Tak lama kemudian, tampak juga PLTA Karangkates, berdiri megah di tengah bukit-bukit tandus. Sesekali, sungai di bawah tampak malu-malu menggoda.

Waktu kuputuskan untuk menyusuri gerbong, mencari kesempatan mendapatkan kursi, tampak sawah luas terbentang. Hijaunya membuat aku bangga menjadi seorang penghuni negeri ini, Indonesia. Itu dia, ada beberapa kursi tampak kosong, seakan merayuku untuk duduk disana.

“Permisi Mas, Mbak...boleh saya duduk di sini?” tanyaku pada sepasang anak muda.
“Silahkan Mas, kosong kok,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Darimana? Mau kemana?” tanyaku basa-basi sambil meletakkan tas di tempat barang, di atas kepala.
“Kami dari Semarang, mau ke Malang, “ jawab si laki-laki.
“Mas?” tanya si perempuan.
“Saya naik dari Yogya, juga mau ke Malang, tepatnya ke Lawang,” jawabku sambil menyalakan rokok.
“Oo, kami ke Klojen,” jawab si laki-laki.

Tak lama, percakapan kami seperti tak ada habisnya, apalagi beberapa anak yang sepertinya mahasiswa yang kuliah di malang, dari bangku belakang, ikut bergabung. Mulai dari basa-basi perkenalan, keadaan Indonesia, politik sosial dan budaya, hingga pergerakan mahasiswa. Walau tanpa menyebut nama, tanpa bertukar alamat, akrab sekali.

Matarmaja, kereta kelas ekonomi ini memang jadi idolaku dari dahulu. Tak perduli apa latar belakangmu, tak perduli pakaianmu, tak perduli pangkat dan jabatanmu. Penjual segala macam jenis makanan dan minuman ada di sana. Walau kadang ada beberapa pengamen memaksa, tapi rata-rata suasana itu yang aku suka.

Uhh, jantungku tiba-tiba berdegub kencang, tak terasa saat jembatan Kali Brantas tampak melintas di sisi kereta. Stasiun Kota Malang akhirnya sampai juga. Setelah basa-basi, kami berpisah. Di luar, beberapa tukang becak dan makelar carteran mobil tampak menyambut.
Mataku terpejam, kepalaku menengadah ke atas, tangan kurentang. Aku menarik nafas panjang, mengikhlaskan udara yang terasa segar menyusuri paru-paruku. Matahari hangat bersinar, mampir di seluruh wajahku, menembus jaket, memberi semangat padaku. Berkata aku dalam hati, “Ini, aku datang kota Malang”.

…………………………………………………………

Sambil mengikat rambutku yang tak terasa sudah panjang, aku masuk di TMP Lawang, tempat kakek beristirahat. Lalu terucap do’a, apa saja.

Tak terasa, tak lama kemudian aku sudah berdiri di depan pintu rumah nenekku. Tak berani aku mengetuk pintu, hanya terdiam! Tampak dari dalam, bayangan seorang perempuan bergerak menuju pintu dan lalu membukanya. Tepat di depanku, ia lalu bertanya, “Anak mencari siapa?”

Tak kenal lagi dia padaku! Aku hanya bisa terdiam, memandang dalam tepat pada balik kacamatanya yang tebal, lalu dari atas kepala hingga bawah kakinya. Tak percaya, ini nenekku! Tak sanggup aku menahan hasrat, aku terduduk, berlutut, mencium kakinya! Menangis! Sambil bersuara pelan, “Aku cucu Eyang!”

Tak lama kemudian, aku sudah berada dalam erat pelukannya, sepertinya tak akan ia lepaskan. Ia pun ikut menangis, sambil membawaku masuk. Mendudukkanku di balè kesukaanku dari kecil. Mencium pipiku bolak-balik, memandangku sesaat, lalu kembali memelukku erat. “Sebentar ya, jangan kemana-mana,” katanya sambil mengusap air mata. Ia kembali dengan segelas kopi panas yang tanpa kubiarkan lama, sudah kuteguk setengah.

Aku lalu menjelaskan semua tanpa dia minta sebelumnya, mulai dari awal hingga akhirnya kami bertemu ini. Tatapannya yang hangat membuat hatiku tentram. Tidak pernah sekalipun ia berpaling muka dariku...

Tak lama, aku sudah berada di meja makan, tahu penyèt dengan sambal petis dan kacang sudah ia sediakan. Kumakan lahap sambil meneruskan bercerita, kuhabiskan, tambah lagi. Berhenti sebentar, menatapnya, ia tersenyum. Kuhabiskan lagi, tambah lagi. Sambil menatapku dari balik kacamata, bertopang dagu, tidak pernah sekalipun ia berpaling muka dariku...

Selesai, aku mencium pipinya, kiri-kanan, dalam-dalam. Memeluknya erat-erat. Ahh, tentram hatiku...

…………………………………………………………

Beberapa hari kemudian...
Setelah sempat menjenguk satu tanteku yang ternyata kecelakaan, bapak dan ibu datang, dua tanteku juga hadir, membicarakan tentang aku, tentang alasanku, rencanaku ke depan dan akhirnya tentang apa saja. Pada awalnya ada suasana tegang dan kaku, tapi akhirnya mencair setelah nenek mengutarakan rencananya yang tak aku sebelumnya. Sebuah keputusan, aku akan menetap di Malang.

Beberapa hari kemudian...
Pada percakapanku dengan bapak dan ibu, suasana menjadi berbeda. Aku jadi seperti sahabat mereka, lebih akrab dan hangat. Itu yang aku harapkan, bukan hanya padaku, tapi kalau bisa, aku berharap suasana itu juga berlaku untuk adik-adikku.

Terungkap niatku untuk kembali ke Yogya, sebentar saja. Sekedar mengambil barang dan pamit pada “saudara baru” yang sudah seperti saudara kandung sendiri. Mereka menerima dengan baik.

Ahh, tenang hatiku...

…………………………………………………………

Stasiun Tugu malam itu tampak sepi, waktu kakiku menginjak kembali Yogyakarta. Tujuanku jelas, menuju alun-alun.

Walau hampir satu bulan aku pergi meninggalkan, Malioboro masih menyambutku dengan suasana yang ramah. Sesekali aku berhenti, menyapa kawan di sela-sela orang banyak lalu-lalang. Seni Sono juga masih ramai.

“Mbak..” sapaku kepada Mbak Sum yang kaget. Tanyaku kemudian, “Mas Pur?’
“Wan...gimana kabarmu?” tanyanya balik sambil memelukku, tak perduli mata pembeli menatap.
“Baik Mbak, saya dari Malang,” jawabku.
“Iya, Mbak tahu... Mas ndak ikut, di rumah, agak meriang dia. Herto dan Yuni juga di sana,” jelasnya.
“Kalau gitu, saya langsung pulang ya Mbak,” kataku.
“Iya, wes sana pulang saja..,” katanya kemudian sambil merangkul dan menepuk bahuku berulang-ulang.

Gang menuju kontrakkan gelap dan sepi. Tak lama, sudah terlihat sumur yang diterangi lampu 5 watt menyambutku dari jauh. Pintu belakang rumah ku buka, tampak pintu kamarku juga terbuka.

“Tai laso!” kata pertama dari Herto keluar yang lalu memelukku.
“Yun...,” sapaku sambil juga memeluk Yuni.
“Wan...,” balas Yuni.
“Wan...,” sapa Mas Pur yang tiba-tiba hadir dan juga memelukku. Badannya hangat, tapi sepertinya sudah lebih baik keadaannya.
“Sakit Mas?” tanyaku.
“Iya. Tapi tadi sudah dapat jamu dari Koh Hari, ini sudah jauh lebih baik,” jawab Mas Pur sambil bersemangat menggerakkan kedua tangannya..
“Gimana kabarmu?” Herto tak tahan bertanya.
“Ahh, nanti saja ceritaku. Sekarang, bisa kita semua ke alun-alun? Kasihan Mbak Sum, sepertinya tadi cuma sendirian. Mas Pur sudah kuat?” tanyaku.
“Sudah...sudah... betul ini sudah sehat,” jawabnya bersemangat.

Waktu mulai duduk di lesehan, Mbak Sum juga ikut bergabung. Masih belum ada pembeli, masih sepi. Saat Yuni kembali dengan dua gelas kopi dan tiga teh, aku lalu mulai bercerita tentang semua yang terjadi. Herto kadang mengangguk, Mas Pur juga, sedang Yuni dan Mbak Sum lebih banyak menatap dengan tak sekalipun melepaskan pandangannya. Aku juga mengungkapkan rencanaku untuk menetap di Malang dan meneruskan pendidikanku. Hampir bersamaan, mereka manggut-manggut mengerti. Cukup lama aku berbicara dengan suasana serius.

Saat tak ada lagi penjelasan dariku, aku dan Herto memisahkan diri, kami saling berbisik. Aku kembali duduk, Herto hilang sebentar tapi tak lama balik dengan beberapa tas plastik berisi makanan. Malam itu walau sederhana, kami “makan besar”, merayakan hadirku di tengah mereka dan berkumpulnya kembali kami.

Saling bergantian kami bercerita, tak berhenti bersahutan. Terlepas tawa, kami saling merangkul, lalu makan lagi. Entah sudah kali keberapa Mbak Sum dan Yuni membuat teh dan kopi.

Dalam beberapa kesempatan yang kucuri, sambil menatap mereka satu persatu, dalam hati aku berkata,
“...akan sangat kurindukan suasana ini. Entah kapan dan di mana lagi akan kutemukan suasana seperti ini. Mereka orang-orang sederhana, apa adanya, saling melindungi dan tak sadar bahwa secara tidak langsung membentuk pribadiku. Terimakasihku yang tak terucap dan tak ternilai, atas semua yang telah mereka berikan padaku...semoga Tuhan mendengar...”

Wednesday, June 3, 2009

Masa Gila!

Suatu saat, entah hari dan bulan apa, keluarga kami dilanda masalah. Masa lalu menyerang bapak, rembug keluarga tak ada solusi bijak. Prek, aku protes, bukan karena pendapatku tak didengar!

Ku putuskan pergi meninggalkan keluarga. Hanya adik laki-lakiku sebagai saksi, dengan tatapannya yang penuh tanda tanya, tak terucap satu katapun darinya, melihat aku membawa gitar dan satu tas saja.

Tak ada bayangan wajah Dian, tak ada apa-apa di kepala. Entah akan ke mana, kosong saja, berjalan, mengalir saja. Entah bagaimana ceritanya, aku ada di Masjid Agung, Bandung. Tak lama, sebentar saja. Perjalanan lalu mengarah ke timur, Cirebon, Semarang, Solo, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Bali, kembali ke Semarang, ke Tarakan (Kalimantan Timur).

Saat kembali ke tanah Jawa, di kereta Semarang menuju Yogya, aku melihat kawan lama yang saat itu masih jadi “kurir”. Sebenarnya ada komit, tak boleh ada percakapan diantara kami, tapi akhirnya ia berucap sedang mengantar “stok” untuk Surabaya. Sebenarnya tak boleh ada “pemakaian” di jalan, tapi itu dia lakukan.

Tidak heran bila tak lama kemudian dia “tinggi” dan mulai terasa mengganggu penumpang lain. Tak pikir panjang, setelah menyelamatkan “stok”, kepalan tanganku mendarat beberapa kali di wajahnya. Polisi kereta datang melerai. Setelah ku jelaskan hal yang sebenarnya dan didukung oleh penumpang lain, sang kawan terpaksa harus diturunkan di stasiun kecil untuk diproses. “Stok” aman di tanganku. Prek, rejekiku!

…………………………………………………………

Masuk Stasiun Tugu, Yogyakarta, hari masih gelap, sekitar jam sebelas malam. Barang yang kurasa “berat” kutitipkan di locker stasiun kemudian berjalan santai mencari secangkir kopi hangat.

“Bu, kopi hitam satu…,” pintaku pada si penjual.
“Iya, sebentar ya nak…,” sahutnya sambil meracik.

Tak lama secangkir kopi panas sudah dalam genggamanku. Seruput-an pertama sangat nikmat, melegakan tenggorokan ku. Di sebelah kananku, terduduk juga seorang tukang becak yang kelihatannya diserang kantuk. Padahal kopi di depannya terlihat baru sepertiga di minum. Kedua tangannya terlipat bersilang diatas meja warung, sementara kepalanya naik turun dengan mata tertutup. Tak lama itu, sang kepala akhirnya mendarat juga, berbantal tangannya.

“Kasihan bu…,” kataku basa-basi melirik ibu warung dan tukang becak.
“Iya nak, kecapèan barangkali. Kelihatannya mulai siang tadi penumpangnya tak ada habisnya,” si ibu bicara datar bertopang dagu.
“Anak darimana? Mau kemana?” lanjutnya bertanya.
“Saya dari Jakarta bu dan ingin mengadu nasib di sini. Sebelah ini jalan apa to bu?,” aku balik bertanya.
“Namanya derah Sarkem, Pasar Kembang,” singkat jawabnya saat ada pembeli lain datang.
“Kelihatannya kok ramai, sepertinya banyak penginapannya ya?” tanyaku sambil membakar rokok. “Kira-kira menginap di sana berapa bu?” lanjutku. Si ibu langsung menghentikan adukkan kopinya.
“Hus jangan ke sana, jangan sampai menginap di sana. Anak di sini saja, temani ibu ya?!” suaranya sedikit lebih tinggi dan matanya sedikit melotot. Setelah itu ia melanjutkan meracik kopi.
“Kamu baru pertama kali ini ke Yogya ya?” tanya seorang laki-laki yang baru datang pesan kopi tadi.
“Iya Pak...” jawabku. “Bapak asli sini?” tanyaku balik.
“”Ndak nak, saya dari Wates. Saya tukang becak,” balasnya yang lalu ikut membakar rokok.
“Nak, sekali lagi, kamu di sini saja. Nanti kalo kopinya habis, ibu tambah lagi, gratis. Ya?!” sepertinya nada meminta.
“Kenapa to bu? Ada apa sebenarnya?” aku penasaran.
“Itu tempat ndak baik nak, tempat begituan..,” sela si tukang becak dengan sedikit pelan sambil melahap pisang goreng.
“Oala….saya mengerti bu, pak. Terimakasih sudah mengingatkan. Tapi, ndak apa-apa saya di sini” tanyaku.
“Ya ndak apa-apa nak. Ibu malah terimakasih ada yang nemanin,” jawabnya.

Aku tak tahu berapa lama tertidur. Yang ku tahu, ibu warung kopi itu perlahan membangunkan aku. Karena hari sudah mulai terang, ia harus menutup warung dan pulang mengurus cucu. Tak tampak lagi dua tukang becak tadi malam. Setelah membantu membereskan dagangan, ku cium tangannya dan tak lupa mengucapkan terimakasih.

Rokok sudah menyala, berjalan menyusuri trotoar, otakku berpikir...
”Ternyata masih ada orang-orang seperti mereka. Tak pernah kenal sebelumnya, tak juga tahu nama pada akhirnya, tapi sudah seperti keluarga sendiri yang harus dijaga.”

…………………………………………………………

Ujung jalan Malioboro menyambutku dengan sikap dingin. Sepi, tak banyak yang lalu lalang. Mungkin karena hari masih pagi, sedang toko-toko pun tak ada satu pun yang buka.
Saat menikmati rokok yang tinggal sebatang, terdengar samar gaduh suara musik. Sepertinya di depan sana, di tempat berkumpulnya banyak orang berseragam olah raga. Oh ya, hampir aku lupa hari, saat itu minggu, dengar dari si penyapu jalan, biasanya tiap hari itu ada senam pagi, bahkan tidak jarang sampai tengah jalan Malioboro.

Malioboro berakhir di sebuah perempatan. Seni Sono, sanggar seni dengan sebuah gazebo besar terbuka yang kemudian kujadikan tempat istirahat. Terlihat beberapa anak setengah baya yang masih tertidur pulas di atas lantai kayu gazebo. Sepertinya mereka asli yogya, maaf, sepertinya anak jalanan. Kira-kira mereka berusia antara 12 hingga 16 tahun.

“Mas, pendatang?” tanya seorang laki-laki setengah baya sambil menawarkan rokok.
“Iya, saya dari Jakarta. Ingin mengadu nasib di sini,” jawabku sambil menyambar rokok darinya. “Mas sendiri asli sini?” tanyaku balik.
“Iya, bantaran Kali Code,” jawabnya yang langsung menyalakan rokokku.

Hampir satu jam kami berbincang, tentang suasana pagi sampai kehidupan malam di Yogya. Sedang matahari jam enam mulai terik, akhirnya ku tahu namanya, Herto. Aku sendiri mengaku sebagai Wawan, karena kebetulan aku suka Iwan Fals.

Jalan depan Seni Sono mulai ramai dan kehidupan Malioboro pun semakin terasa. Satu per setu toko mulai dibuka. Para penjual di teras toko mulai terbangun dan menata dagangannya. Walau santai tapi semakin padat. “Ayo ke gubukku, Wan,” ajaknya pada ku sambil bergerak berjalan santai.

Rumah itu, rumah almarhum nenek Herto. Rumah berukuran 5 x 5, terdiri dari ruang tamu dan satu kamar tidur, sedang kamar mandinya adalah milik bersama warga sekitar yang letaknya di halaman depan. Kakeknya sudah lama mendahului sang nenek, entah dimana orang tuanya. Prek, tak sanggup aku bertanya jauh.

Bertemu sang istri, ternyata kelahiran Cijantung, Jakarta. Satu anak laki-laki berusia dua bulan yang sampai saat itu belum bernama. “Silahkan masuk Mas,” katanya.
“Iya Mbak, trimakasih,” jawabku.
“Mandi saja dulu, kamar mandinya itu di depan,” kata Herto sambil jarinya menunjuk ruangan 2 x 2, berdinding “gedèk”.
Tanpa lama, aku langsung mandi. Ahh, segarnya! Pertama kali aku mencicipi air sesegar ini di Yogya. Ternyata saat aku mandi, Herto dan istrinya menyiapkan sarapan, dua gelas kopi dan sepiring pisang goreng. Sambil menunggu Herto mandi, aku bercanda dengan si kecil. Bayi laki-laki itu sehat, putih bersih, kata sang istri untung tak seperti bapaknya yang hitam. Matanya tajam, tapi tak berat untuk tersenyum dan tertawa padaku.

Tak lama, kopi sudah membasahi tenggorokan sementara pisang goreng pun sudah dua yang masuk dalam perut kami.

“Sementara ini rencana kamu apa?” tanya Herto sambil meneguk kopi.
“Gini Mas…,”
“Waduh ndak usah formal, kita se-umur. Biasa saja, panggil saja namaku, Wan” potong Herto.
“Seperti yang tadi aku jelaskan, aku ingin mengadu nasib di Yogya. Untuk itu, aku harus mencari tempat tinggal, kontrakkan,” jawabku serius tapi tetap menggendong si keci yang sepertinya suka jenggotku.
“Gini, hari ini aku bantu mencari kontrakkan. Tapi, kalau belum dapat, sementara untuk dua-tiga hari, tinggal saja dulu di sini,” sambut Herto.
“Waduh, sebelumnya terimakasih. Tapi terus terang aku sungkan sekali,” balasku. “Aku bukan siapa-siapa, kenalpun kita baru.”
“Ndak apa-apa, ya toh bu?” potong Herto sambil melirik istrinya.
“Iya, iya…ndak apa-apa. Kelihatannya, si kecil juga suka sama sampean,” jawab sang istri sedikit kaget.
“Baiklah, sekali lagi, saya menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya,” balasku.
…………………………………………………………

Keluar lingkungan Kali Code, kami mampir sebentar di pangkalan bis sebelah Arma 11. Setelah menyapa beberapa kawan Herto dan membeli rokok, kaki ini menapak menuju alun-alun. Pos polisi kecil, sebelah Kantor Pos dan Gerbang Alun-alun menyambutku. Tampak sedikit di pojok, Masjid Agung Yogya. Kami menuju salah satu dari warung lesehan malam hari di alun-alun yang sedang dibereskan.

“Mbak, Mas, kenalkan, ini saudaraku dari Jakarta,” kata Herto pada seorang perempuan dan laki-laki setengah baya yang sedang membereskan dagangan.
“Wawan…,” kataku sambil menjabat tangan mereka.
“Saya Pur, ini istri saya Sum,” sambut laki-laki berbadan gemuk sambil melipat beberapa tikar.
“Ada apa To? Tumben pagi-pagi sudah nyambangi aku, kangen ya?!” tanya Mbak Sum.
“Gini lho Mas, Mbak…Wawan ini mau cari kontrakkan, bisa bantu?” tanya Herto.
“Lho, memangnya di rumah mu kenapa?” tanya Mas Pur.
“Saya sungkan Mas…,” sela ku sambil ikut membantu membereskan terpal atap warung mereka.
“Mau di rumah kami?” tanya Mas Pur. Aku dan Herto saling pandang, ada sedikit kaget dan senang. Aku kaget karena tak menyangka secepat ini, tapi sangat senang karena ada pilihan cepat. Sementara Mas Pur duduk santai dan sambil membakar rokok kretek. “Rumah saya agak jauh, kamarnya pun sederhana saja. Gimana?” tanyanya kembali.
“Kapan bisa saya lihat Mas?” tanyaku semangat.
“Ya, setelah ini…sesudah di sini beres, kamu bisa ikut kami pulang. Tapi karena kami naik sepeda pancal, kamu dan Herto naik bis,” Mbak Sum ikut bicara.
“Baik Mbak…,” balasku tambah semangat.

…………………………………………………………

Aku dan Herto turun di sekitar jalan Wates, menuju sebuah kampung di ujung gang. Beberapa hari kemudian yang kudengar ternyata kampung itu terkenal sebagai daerah “adu ayam”.

Mas Pur dan Mbak Sum sudah terlihat menunggu waktu kami sampai. Mereka menyambut kami dengan kendi air putih. Tak perlu lama, Mas Pur mengajak melihat kamar yang diusulkannya. Sementara Herto terlihat berbincang santai dengan Mbak Sum dan anak perempuannya. Rumah mereka yang membelakangi jalan raya itu walau cukup besar dan sudah modern tapi sangat sederhana. Belum semua bidang rumah terkena olesan kapur. Kaca dan kusennya biasa saja. Pada rumah utama terdapat ruang tamu dan tiga kamar tidur. Di belakangnya terdapat dua lagi kamar tidur dengan gedèk sebagai pembatasnya. Di antara dua rumah itu terdapat lorong yang menghubungkan dapur, halaman rumah bagian depan dan kamar mandi yang terletak di luar belakang rumah. Kamar mandi yang hanya terdiri dari satu bilik berdinding seng itu, ternyata juga digunakan oleh para tetangga, maklum ada satu sumur besar di sampingnya.

“Kalau kamu berminat, ini kamarnya,” kata Mas Pur sambil membuka pintu kamar.
Kira-kira kamar yang memanjang itu berukuran 4 x 9. Hmm, otakku berpikir, bisa dibagi menjadi tiga ruang; satu kamar tidur, satu tempat barang-barang dan satu ruang tamu. “Berapa Mas?” tanyaku langsung.
“Karena sebenarnya kamar ini tak kami pakai…ya…tiga puluh saja per bulannya. Gimana?” tanyanya balik.
“Tiga puluh ribu? Bener nih Mas?” tanyaku sedikit menggoda.
“Iya. Kenapa? Mahal ya? Hmm...” sejenak Mas Pur terdiam. Lanjutnya, “Gini, karena pintu masuk ke kamar ini dari belakang rumah...dekat sumur...Ya sudah, dua puluh lima saja. Pas lho!”
“Oke, jadi Mas,” jawabku sambil menjabat tangannya. Dompet ku buka, mengambil lima lembar uang dua puluh ribuan, “Ini Mas, saya bayar langsung untuk empat bulan.”
“Lho..kenapa langsung? Kamu yakin? Saya ndak mengharapkan seperti ini, biasa saja, perbulan saja ndak apa-apa. Nanti kalau kamu butuh?” tangannya sedikit menolak.
“Ndak apa-apa Mas, saya masih punya tabungan,” jawabku.
“Sebelumnya, terimakasih ya, Wan. Sudah, ayo kita makan! Sum!” Mas Pur berteriak pada istrinya.

Di tengah suasana makan, aku bercerita sedikit tentang latar belakangku. Pada awalnya kening Herto sedikit meninggi, mungkin karena merasa tak dipercaya sebab tak terucap dariku sebelumnya, kepadanya. Tapi akhirnya tatapan matanya seperti dapat menerima kisahku. Bagi Mas Pur dan Mbak Sum, itu biasa saja, mereka bisa mengerti.

Aku pun mengungkapkan rencanaku, bahwa untuk hari ini aku masih menumpang dulu di rumah Herto. Baru besok barang-barang akan kubawa. Lusa aku ke Jakarta, tiga empat hari kemudian baru bisa menempati kamar. Dan , untuk sementara waktu itu, biarlah Herto yang memegang kunci. Mas Pur dan Mbak Sum bisa mengerti itu juga.

…………………………………………………………

Hari sudah menjelang pukul dua siang, saat aku dan Herto jalan kaki, berniat kembali ke Malioboro. Makian Herto membuatku kaget.

Tai Laso! Sialan kamu Wan, maunya ku cerita bohong bahwa kamu itu saudara dari istriku yang di Jakarta, eh…sudah lebar ceritamu pada mereka,” maki Herto sambil menyikutku.
“Ndak gitu To, mereka itu orang baik. Kamu kan juga sudah kenal mereka lama, pasti mereka juga sudah mengenal kamu. Nah, dari pada nanti aku yang malu karena tinggal bersama mereka, lebih baik aku cerita saja sekalian. Kamu gak tahu malu kan?” tanya ku canda.
“Tai Laso! Iya sih….,” sambut Herto sambil merangkulku. Kami saling pandang sebentar lalu tertawa terbahak menyusuri Malioboro.

Para pedagang Malioboro sudah mulai merapikan barang mereka. Baju batik, tas, ikat pinggang kulit, kalung dan bermacam jenis lain yang menjadi incaran turis lokal dan luar negeri. Kalau ku perhatikan, barang dagangan seperti itu sebenarnya di Jakarta atau daerah lain juga ada. Mungkin suasananya yang tak dimiliki daerah lain. Itu yang tak bisa diukur dengan uang!

Stasiun Tugu di ujung Malioboro mulai ramai saat kami datang. Setelah mengambil barang di penitipan, kami berencana kembali ke Kali Code. Tak lupa aku menyapa ibu penjual kopi yang memberikan “tempat” padaku pagi buta tadi.

“Sudah mau mulai jualan lagi bu?” tanyaku mengagetkannya.
“Eh, kamu. Darimana Nak?” tanyanya kembali.
“Mengambil barang yang saya titipkan bu,“ jawabku. “Kopi dua ya bu..,” pintaku.
“Iya nak. Lho, kamu kenal Herto ini nak?” tanya sang ibu sambil meracik kopi.
“Aku..gitu loh…,” Herto menyela sambil kepalanya manggut-manggut dan mencaplok tempe goreng.
“Iya bu, Herto ini yang nolong saya,” jawabku sambil mencicipi pisang goreng. “…saya dapat kamar kontrak di jalan Wates, di tempat Mas Pur dan Mbak Sum, pedagang lesehan alun-alun..”
“Oalah…ya syukur nak, mereka orang baik-baik kok. Kecuali yang satu ini…ndablek..,” katanya sambil melirik Herto yang tak putus menyantap gorengan.
“Sebenarnya saya baik lho mbok…,” sela Herto terkekeh.

Hampir satu jam kami berlabuh di warung itu. Tak terasa adzan magrib bergema waktu aku menyapa istri Herto. Sementara si kecil sudah terlelap dalam dekapan sang ibu, Herto memasukkan barang-barangku ke kamar.

…………………………………………………………

Aku terbaring di balè bambu depan rumah, tangan kiri kulipat menjadi alas kepala. Rokok ku hisap dalam-dalam, menarik nafas panjang, mencoba bersyukur dalam hati…

“…betapa beruntungnya aku, bertemu dengan orang-orang yang walau tak pernah ku kenal sebelumnya, tapi dalam waktu yang sangat singkat sudah seperti keluarga dekat…”

…………………………………………………………

Mataku terbuka saat hari sudah gelap. Sambil duduk, masih di balè bambu, kupandang ke kiri dan ke kanan. Lingkungan Kali Code agak sepi. Herto dan istrinya pun tak tampak. Prek, ku putuskan untuk mandi saja.

Tak lama, muncul Herto menggendong si kecil dan istrinya membawa tas plastik berisi sesuatu. Makan malam ternyata! Kali ini si kecil sedikit rewel, tak mau ia padaku, ternyata minta susu ibunya, ASI, minta “jatah” makan malam juga dia. Setelah membereskan makanan sang istri sudah menempelkan si kecil di dadanya, terdiam si kecil. Herto dan aku menyantap makanan dengan lauk tempe bersayur asem, sederhana saja. Prek, nikmat sekali!

Malam ini Herto rencana mengajakku kembali ke alun-alun. Sebelum keluar aku mengambil “sesuatu” dari kamar, lalu kemudian berlari kecil menyusulnya. Tak lupa aku pamit pada istrinya, sementara si kecil sudah tertidur pulas.

Kami jalan sedikit memutar, melewati Sarkem. Ramai, tambah malam tambah ramai. Hampir di sepanjang jalan depan Sarkem, tak sedikit perempuan berdandan minim tampak mempertunjukkan diri. Entah sekedar bercengkrama, basa-basi bicara, atau mungkin bahkan “transaksi”. Satu dua orang dari mereka menyapa Herto. Jujur aku sedikit gemetar waktu ia memperkenalkanku. Untung saja tak lama, sambil lalu saja. Prek, tai laso!

Kami juga sesekali berhenti di sepanjang Malioboro, sekedar menyapa kawan Herto, pedagang kaki lima, sekaligus juga mengenalkanku. Malam hari, ada “nilai tambahan” di Malioboro, mulai penjual makanan lesehan dan gerobak serta pengamen, membuat suasana semakin hidup. Hingga lalu lalang kendaraan bermotor, dokar, becak dan pejalan kaki tak juga mau kalah ikut meramaikan. Prek. makin sumpek!

Malam hari di Seni Sono pun tak kalah ramai. Pedagang makanan kaki lima mulai sore membuka tenda-tenda dan gazebo jadi tempat makan selain sebagai tempat “transit istirahat” antara Malioboro dan alun-alun. Anjal-anjal tak kalah ramai di situ. Sementara pintu utama ke galeri seni sudah tertutup rapat.

Di sebelah kantor pos, sudah menunggu sekitar sepuluh kawan Harto. Dua diantaranya adalah perempuan, maaf, lontè. Dua perempuan itu tampak mesra padanya. Setelah, entah dari mana, Herto memberikan padaku sebungkus rokok dan sebungkus lagi dia masukkan ke kantong celananya, ia mengajak dua perempuan itu ke belakang kantor pos, tanpa komentar. Tak mau bingung, aku berbasa-basi dengan yang lain. Prek, SKSD saja!

Hampir setengah jam kemudian mereka kembali bergabung. Aku tak tahu, spontan saja aku keluarkan “sesuatu” dari dalam tas, ku berikan pada Herto yang lalu membagikannya sembunyi-sembunyi pada yang lain. Saat kami menuju alun-alun, yang lain tak ikut. Tapi, "ucapan terimakasih" sempat mampir di pipiku dari salah satu perempuan tadi. Herto tersenyum padaku. Prek, aku nikmati saja!

…………………………………………………………

“Dapat dari mana Wan. “koplo” tadi?” pertanyaan pertama dari Herto saat kami tidur-tiduran di lesehan Mas Pur dan Mbak Sum.
“Mbak aku minta kopi ya.. Kamu apa To?” tanyaku tak menanggapi pertanyaannya.
“Dapat dari mana Wan?” tanya pertama yang diulang meluncur lagi.
“Waduh, ada turis lokal nih,” sapa Mbak Sum.
“Ah, Mbak ini bisa saja..,” balasku sambil mengambil kopi di belakang.
“Masih banyak?” pertanyaan ke dua terucap dari Herto. Aku diam saja sambil menumpahkan kopi yang masih panas ke tenggorokan.
“Tai laso!!!” nada Herto tinggi sambil memitingku. Aku tertawa terbahak melihat “dapur” Herto memerah menahan marah, padahal hitam kulit di wajahnya.
“Emang enak di-cuek-in?” ucapku. Lalu lannjutku, “Kamu di kantor pos ngapain saja tadi? Kayak ndak ada orang lain.”
“Tai laso! Balas ya kamu Wan? Ya maaf, aku ndak kuat “nahan”, sudah di jidat nih,” katanya sambil beberapa kali memukul jidatnya sendiri.
“Lha, istrimu?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi.
“Yang di rumah ya biar di rumah, di luar aku cari lagi,” katanya dengan tertawa.
“Ya gitu itu Herto…,” Mas Pur yang baru muncul ikut menanggapi lalu ikut duduk bersama kami.
“Sampean ikut-ikut saja Mas...” balas Herto tampak sedikit malu.

Aku lalu menceritakan hal yang beberapa hari lalu terjadi di kereta. Mas Pur tak lama bergabung sebab kelihatannya Mbak Sum kewalahan, disibukkan oleh pembeli yang mulai banyak mampir. Aku dan Herto memutuskan duduk sedikit ke belakang, pas di pinggir di trotoar.

Satu “hal” yang akhirnya terucap dan aku mohon Herto bisa mengerti, tentang mengapa beberapa hari kedepan aku harus ke Jakarta. Aku harus laporan kepada “bos besar” apa yang terjadi pada kawanku kemarin di kereta. Yang jadi masalah, sepertinya aku harus menggantikannya, untuk jalur Jakarta-Yogya.

Tak sering itu kulakukan itu, paling satu kali dalam dua bulan. Yang pasti lagi, aku tetap akan kembali ke Yogya. Aku mohon untuk satu hal itu ia tak ikut-ikutan, anggap saja ia tak tahu. Ia bisa mengerti itu, bahkan sambil tertawa ia mengingatkanku apabila ada lebih, jangan lupa “bonus”nya. Kuberikan satu “papan” padanya, sembunyi-sembunyi tentunya. Prek, sialan, tai laso!

…………………………………………………………

Waktu Mas Pur sudah lebih santai, ia kembali bergabung. Sementara itu Herto permisi entah kemana. Tanpa bercerita lebih, ku ungkapkan padanya bahwa sepertinya mungkin besok aku ke Jakarta. Hari senin jadi pilihanku sebab biasanya kereta lebih sepi. Biarlah Herto yang membawa barang-barangku ke kontakkan. Mas Pur menerima, santai saja. Mbak Sum kembali sedikit kewalahan, dari pada diam, aku memutuskan membantu mereka. Entah mencuci piring, gelas dan sendok atau mengantarkannya pada pembeli.

Hmm, di sela-sela itu, saat tak ada pesanan pembeli yang menyibukkan, saat rokok bisa kuhisap dalam-dalam, aku sangat menikmatinya. Ternyata seperti ini suasana malam di lesehan alun-alun Yogya. Sepanjang trotoar, jalan melingkar seberang alun-alun, terdapat warung-warung lesehan, beberapa WC, tempat penitipan sepeda motor dan sepeda pancal atau ontèl. Warung beratap terpal, remang-remang tanpa listrik. Jenis dagangannya pun hampir sama, seperti jagung atau roti bakar, teh, kopi, susu, kopi susu hingga wèdang jahe. Tak ada suara musik berlebihan, tak ada rasa persaingan. Sementara itu dua pohon beringin tetap berdiri tegar di tengah senyap alun-alun yang gelap tak berlampu. Semua menikmati waktu. Mungkin karena itu malam terasa sangat panjang. Semua berjalan perlahan saja, tak ada yang diburu waktu, tak seperti Jakarta. Prek, I fall in love with this city...

…………………………………………………………

Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang perjalanan dan keadaan, “jalur” Jakarta-Yogyakarta. Paling sekedar cerita, laporan ke “bos besar” di Jakarta, bawa dengan jalur kereta, diletakkan di gerbong A, menyingkir ke gerbong lain, sampai, drop “stok” di satu “hotspot” di Yogya, laporan ke Jakarta via telepon, selesai! Seperti itu saja, selama enam bulan berbeda dalam setahun. Prek, yang penting aman-aman saja. Beres!

Kalau “Koes Plus” menciptakan “Ke Jakarta aku kan kembali”, maka aku juga punya fersi sendiri “Ke Yogyakarta aku kan kembali”.
…………………………………………………………

Hidup sehari-hari di Yogya sangat kunikmati. Pagi hari bersama Herto, pagi-pagi sekali, saat jam berangkat kerja atau sekolah dimulai, kami sudah berada di dalam bis. Gitar bolong hitam dan kaos oblong tipis, selalu menemani, jadi saksi berpuluh lagu keluar berirama dari mulut ini. Ku akui lebih banyak “Iwan Fals”-nya. Ngamèn, way not?

Pangkalan bis bayangan di sebelah Arma 11 jadi tempat awal dan kembali menjadi akhir tujuan. Di pangkalan rasanya sudah lengkap tersedia kebutuhanku, mulai penjual rokok sampai gerobak makanan untuk sarapan dan makan siang. Tak jarang, ku akui juga, tak sedikit kali kami berhutang. Ahh, tentunya tetap pasti kami lunasi.

Aku sampai punya “langganan”, mulai dari “tante-tante”, anak sekolahan, mahasiswa hingga pembantu rumah tangga dan tak jarang mereka mengajakku “kencan”. Yang pasti, tak mau mereka membayar ke Herto. Dan, kalau sudah begitu, cuma dua kata yang keluar dari mulut Herto “Tai Lasso!”.

Tak bisa kami bunyikan gitar dan keluarkan suara mengharap imbalan di Malioboro, ada sebuah “etika” bersama, tak boleh dilanggar. Begitu pula sebaliknya. Bila sekedar saling mengunjungi atau bergitar bersama di pinggir jalan, biasanya di pojok bagian luar pagar benteng, teriak-teriak tanpa imbalan, tak ada yang larang.

Tapi kalau sudah begini, alkohol pasti selalu ada disamping. Tapi kalau sudah begini, jangan kaget saat sedang “tinggi”, kalau tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat di depan dengan beberapa pria berjaket hitam yang lalu turun sambil mengokang senjata. "Cakupan", selalu menghantui! Prek, tak akan mudah aku terkena razia, sebab minimal aku masih punya KTP!

…………………………………………………………

Tak jarang, saat malas pulang ke kontrakkan, kami tidur di lesehan Mas Pur dan Mak Sum. Atau tak jarang pula tidur di Seni Sono.

Suatu saat...
Pagi sudah datang, saat sinar matahari menyilaukan mataku. Aku terbangun di suasana pagi Seni Sono. Herto terlihat masih tertidur pulas di samping beberapa anjal dan terlihat juga ada beberapa dari mereka yang sudah terbangun. Sementara badanku mulai gatal, mandi di Seni Sono keputusanku. Hanya dengan seratus rupiah, waktu itu, air segar sudah bisa menghilangkan penat.

“Mas, mau mandi?” tanya seorang perempuan.
“Iya, kenapa?” tanyaku balik.
“Boleh saya ikut?” tanyanya kembali.
“Tapi..,” mulutku tak bisa bicara lain.
“Ndak apa-apa, di sini sudah biasa kok. Ndak usah malu, ayo! Tapi, Mas yang bayar ya?” katanya sambil mengambil tas dan sedikit menarik tanganku.

Selesai mandi, yang membuat aku tambah kaget setengah mati dengan mulut yang masing melongo dan tatapan tak percaya, perempuan kecil tadi memakai baju seragam biru-putih, SMP!

Gila, hanya dengan seratus rupiah, ada kesempatan mandi bersama! Prek! Gila!

…………………………………………………………

Dengan sedikit kemampuan “speaking english”, kami menjadi "guide". Ada “etika”-nya juga, tak seperti guide amatir lain yang berlari mengejar dan berusaha meng-“gaet” turis, kami tak akan mengejar para bulè, biar mereka yang mendatangi. Biasanya akan terasa sangat tak nyaman kalau si turis sampai berkata dengan nada tinggi “...keep your own business...”, tanpa “...no thanks...”.

Kami duduk santai, biasanya di Seni Sono. Saat bulè mengajak bicara, kami pura-pura tak minat, basa-basi, acuh tak acuh saja. Tapi begitu mereka mulai bertanya tentang bagaimana dan dimana mendapatkan suatu souvenir, itu kesempatan kami! Herto sebagai orang asli Yogya akan menuntun ke galeri mana kami pergi, begitu sudah dekat, ia akan mendahuli, mengambil “kartu”, sedangkan aku akan terus mengajak si turis bicara. Setelah selesai, Herto juga yang akan mengambil “persen” dengan kartu tadi.

Tak jarang kami juga memberikan masukan pada si bulè, misalnya bagaimana cara membawa uang tunai dengan aman. Pernah suatu saat, Andrew, bulè dari Kanada, kami berikan masukan itu dan ia tanpa ragu melakukannya! Memang aman, tapi setelah itu aku dan Herto tak kuat menahan tawa. Bagaimana tidak? Setelah ke money changer, Andrew membawa “cash money”, tiga juta rupiah, dalam tas plastik hitam bercampur dengan pisang goreng! ha...ha...ha...ha... Kasihan si petugas kasir galery, “...maaf ya Mbak...” ha...ha...ha...ha...

Sesekali, becak milik kawan, kadang iseng sering kujadikan penghasil tambahan, tujuan yang dekat-dekat saja tentunya. Walau akhirnya, tetap harus minta pijat ke Mas Pur.

Rata-rata, setelah kami bagi berdua hasil sehari dan kusisihkan biaya hidup harian, rutin setiap bulan satu kali, aku tabung ke bank pemerintah di pojok jalan.

…………………………………………………………

Penghasilan kami sangat terasa lumayan saat ada “sekatènnan”, acara rutin tahunan dari Keraton Yogyakarta, saat mencuci dan meng-kirab puska-pusaka menjelang “satu suro”. Selama satu minggu alun-alun akan sangat padat oleh berbagai macam acara dan penjual. Otomatis, pengunjungnya pun tak sedikit, dari warga asli, turis lokal bahkan mancanegara. Tapi, justru pada saat itu pula hal-hal “negatif”, kriminal, biasanya sering terjadi.



Suatu hari, entah kapan...
Pernah, aku bersama anak-anak Kauman bergabung dalam “Joksin”, Jogja Sinting atau Joko Sinting. Bekas tato “Kepala Garuda”-nya pun sampai saat ini tak bisa hilang dari tanganku. Untuk bisa diterima, setiap anggota wajib menjalankan “tradisi”, cari korban dan membawa hasil. Sekatènan adalah kesempatan yang paling baik bagi kami. “Tiga Dimensi” (ganja, pil dan alkohol) ku jalankan sebelum kulakukan tradisi itu. Yang kutahu, waktu tersadar...seseorang terkapar di jalan di hadapanku, depan pos polisi kecil seberang kantor pos. Aku lari menembus kerumunan orang, menyusuri malam, menuju kontrakan. Ku kunci pintu dan matikan lampu. Entah sudah berapa batang rokok yang ku habiskan. Masih terbayang terus, entah berapa butir koplo yang aku habiskan, membuat degub jantung tak karuan. Dalam kepulan asap ganja dan bau alkohol terbesit asa, semoga tak ada yang mati. Masih sempat terucap do’a, semoga aku diampuni!

Entah jam berapa aku tersadar setelah tertidur, dalam gelap ruang dan malam, hampir subuh mungkin. Kuputuskan untuk mandi agar membuatku semakin sadar. Bermaksud ke sumur belakang rumah, saat pintu ku buka... seorang perempuan setengah baya, tetangga belakang rumah...berdiri menatapku sambil menyeka rambut panjangnya dengan keadaan...maaf, “telanjang bulat”... Masih teringat, sempat terlontar walau dengan suara pelan, tawarannya untuk mandi bersama. Setan! Entah kenapa godaan seperti ini datang? Prek, tanpa berkata, aku masuk dan mengunci pintu luar serta kamar!

Entah jam berapa lagi aku terbangun, kelihatannya sudah sore. Suara Herto terdengar memanggil. Perlahan, dengan setengah merangkak, aku membuka pintu. Ia dan seorang perempuan masuk dengan cepat lalu langsung mengunci pintu kembali.

“Kamu ndak apa-apa Wan?” tanya Herto.
“Aku bikinkan kopi ya?” tawar si perempuan sambil mengusap rambutku yang lalu beranjak pergi.
“Tai laso!” kalimat pertama yang keluar dari mulutku. “Semalam kemana saja kamu To?” tanyaku lanjut.
“Dengan si itu tadi, Yuni,” jawab Herto. “Santai saja, dia bisa dipercaya kok,” lanjut Herto sambil menyambut dan meletakkan dua gelas kopi dari si perempuan.
“Aku Wawan..,” kataku saat mataku bertatapan dengan si perempuan.
“Aku Yuni..,” balasnya saat aku mencoba duduk bersila.
“Yuni bisa kita percaya Wan,” tegas Herto kembali.
“Matamu To!” nadaku tinggi. Tanyaku kemudian, ”Bukan itu masalahnya! Kalau aku tertangkap tadi malam gimana? Cah-cah, ndak terlihat satu pun! Setan!”
“Sebentar, aku mau menjelaskan. Kamu ndak usah kaget dan jangan marah ya, Wan,” jelas Herto sambil minum. “Tadi malam, waktu tinggi, ndak tahu gimana, saat sadar aku ada di tempat Yuni...”
“Iya Wan, muntah-muntah Herto, malu aku sama ibu kost ku,” potong Yuni.
“Yang aku dengar, waktu kamu lari, cah-cah lari juga, memisahkan diri. Tetap ada beberapa yang mengejar kamu, tapi ndak ada yang bisa ngejar. Gimana bisa? La wong, kamu lari kayak setan!,” jelas Herto lagi.
“Apa lagi mereka mabuk ya?! Mungkin malah nyasar? Atau...” potong Yuni. Belum sempat ucapannya selesai, tiba-tiba kepala kutegakkan, mataku memandang tajam ke Herto dan Yuni. Mereka berdua sedikit menarik badan ke belakang.
“Ha...ha...ha...ha...,” aku tertawa terbahak-bahak. “Apa ada yang nyasar ke kantor polisi?” pertanyaan konyol ku itu membuat mereka malah ikut tertawa, terbahak-bahak juga. Kutambah lagi ceritaku soal tetangga perempuan belakang rumah yang kukira setan, tambah terbahak kami...

Mas Pur dan Mbak Sum sepertinya mengetahui kisahku, mereka santai saja, sikap mereka seakan tak terjadi apa-apa. Satu kalimat yang keluar dari Mbak Sum, “Saya bisa ngerti kok Wan.” Pendek, penuh misteri tapi menentramkan hati. Sesekali Mas Pur datang, sembunyi-sembunyi, membawakan aku alkohol. Sesekali juga, sembunyi-sembunyi, ku berikan “buah tangan” dari sisa “stok”-ku. Yuni dan Herto setiap hari pasti mampir, walau tak jarang hanya sebentar, mereka membawakan makanan atau beras dan lauk pauk untuk dimasak. Sial, hampir satu bulan aku tak keluar kamar kecuali untuk mandi! Prek, kupaksakan diri untuk santai saja.

…………………………………………………………

Dalam keterasinganku...di suatu hari, entah kapan...di tengah malam, entah pukul berapa...
Aku tersadar dari mimpi! Yang teringat jelas adalah bayangan wajah nenekku dan Dian! Dalam kesempatan itu, saat nyawa belum lagi lengkap terkumpul, aku bertanya dalam hati, selain wajah nenek, kenapa harus wajah Dian?

Terlihat jelas senyum manis nenek, waktu ku datang untuk makan walau hanya tahu penyèt dengan sambal petis dan kacang. Juga tergambar jelas, senyum manis Dian, saat memakaikanku jaket. Elusan tangan nenek di kepala ku, saat bersama mendengar ucapan salamku padanya di radio transistor, hangat masih terasa. Genggaman tangan mungil Dian waktu berjalan bergandengan menyeberang jalan depan sekolah. Seakan baru kemarin semua itu terjadi.

Keningku berlipat-lipat mencoba mencari jawab, namun tak ku temukan! Berharap, pada asap rokok “campuran” yang bergelantungan, tak juga ku temukan jawabnya. Mencoba mencari jawab pada bergelas-gelas sloke alkohol dan pil-pil setan, tak juga berguna, percuma! Hingga saat sinar matahari menembus sela-sela atap genteng yang berlubang entah berapa ratus, masih tak kudapat juga.

Prek, ada apa ini? Pertanda apa ini? Maksudnya apa? Ada panas bergetar di dada, bergemuruh ramai sekali! Entah kenapa tiba-tiba ada rindu? Lalu, kenapa berubah jadi tiba-tiba cemas? Sedang keringat dan air mata mengalir deras tak bisa kubendung? Mengapa badanku lemas tak bertenaga, tanganku tak kuat lagi menggenggam? Apa sebab mata tak lagi bisa kubuka, sementara saat terpejam bayang mereka silih berganti menampar ingatanku, semakin lama semakin jelas? Dan entah berapa rangkai lagi pertanyaan yang seakan seperti kawat berduri, menjejali kepala. Tak juga kutemukan jawabnya...

Dan, waktu tak kuat lagi ku bendung suara-suara bayangan batin itu dan memikul beban tak berbentuk, setiap sendi-sendi di seluruh tubuh seperti terlepas, tubuhku melayang, jatuh terjerembab. Prek, tak sadar diri ini...

…………………………………………………………

Entah sudah berapa lama Herto dan Yuni berada di sampingku. Saat mataku yang berat mulai terbuka, tak terlalu jelas sosok mereka, blur. Hanya suara mereka yang terdengar, juga masih samar, sepertinya tenggelam jauh sekali di dasar. Sepertinya aku tertidur kembali. Prek, kutahu itu mereka!

Entah berapa lama kemudian, terasa sesuatu yang hangat mampir di jidatku. Waktu mata sudah sanggup kubuka, ternyata Yuni membasuhku dengan air hangat sedang Herto menghisap rokok sambil sibuk mengutak-atik walkman bututku.

“Sedang apa kalian di sini?” tanyaku dengan suara serak.
“Kamu tahu, kamu kenapa?” Herto malah bertanya. Yuni tersenyum saja padaku, lalu menanggapi, “Kalau tahu, tak mungkin Wawan bertanya To!”
“Kamu OD! Over Dosis! Tiga hari kamu tak sadar diri! Untung masih hidup kamu!” mata Herto tajam.
“Hah..???” hanya satu kata yang keluar dari mulutku.
“Maaf, Mas Pur terpaksa mendobrak pintu kamar,” kata Yuni sambil berjalan menghilang ke luar. Suasan hening sebentar, tak ada yang bicara, tak ada kata terucap. Yuni kembali membawa satu piring yang ternyata berisi bubur.
“Ayo Wan, pelan-pelan saja. Minum the ini dulu baru makan bubur,” pintanya.

Ku coba perlahan bangun dari tidur, mencicipi teh hangat lalu kemudian menghabiskan bubur dari piring kaleng. Aku malu pada Yuni, aku makan sendiri saja, sementara mereka berdua terlihat serius bercakap.

“Wan, ini ada jamu tradisional, bukan obat dari dokter tapi dari Koh Hari. Semoga kamu mengerti,” kata Herto memberikan tas plastik kecil.
“Sebenarnya kami agak ragu, tapi ini pemberian Koh Hari, cina pemilik toko alat musik. Pada awalnya ia bertanya mengapa beberapa hari lalu kamu tak tampak ngamen dan ia sangat respect saat kami menceritakan keadaannmu,” Yuni menjelaskan.
“Koh Hari titip pesan, semoga kamu cepat sembuh. Dan, bisa meneruskan cicilan gitar yang kamu mau...” jelas Herto sambil tersenyum.

Teringat pada suatu saat sebelumnya, wajah Koh Hari, pemilik salah satu toko di Kauman. Toko alat musik yang berukuran 4 x 5 itu, biasa saja, sederhana. Memang, pada suatu kesempatan, saat aku berjalan, aku mampir te toko itu.

“Cari apa?” tanya seorang laki-laki berumur sekitar 40 tahun yang akhirnya kutahu bernama Hari, pemilik toko.
“Cuma liat-liat Om,” jawabku singkat sambil memandang sekitar.
“Oo, lihat-lihat...ndak apa-apa,” lanjutnya.
“Koh...kalau aku berminat, kalau Koh mengizinkan, boleh saya cicil gitar ini?” tanyaku sambil menunjukkan sebuah gitar akustik biasa. “Tiap hari, atau kalau ada uang lebih, akan saya cicil. Ndak akan saya ambil sebelum lunas Koh, gimana? tanyaku kembali.
“Saya suka kamu walau baru kali ini kita bicara. Saya sering lihat kamu dengan gitar hitam itu. Ya bisa saja, bisa di atur,” katanya sambil menepuk bahuku.
“Trimakasih Koh...,” jawabku dan langsung ku gapai tangannya, ku cium dalam-dalam sebagai ungkapan terimakasihku.

“Ayo sudah, ndak usah mikir yang macam-macam, ini diminum jamu dari Koh Hari,” Herto membuyarkan lamunanku. Sementara Yuni menyodorkan segelas air putih.

Yuni...
Perempuan dengan status mahasisiwi sebuah perguruan tinggi swasta di Yogya ini berumur sekitar 20 tahun. Aku tak tahu dimana dan bagaimana Herto mengenalnya. Yang kutahu, Yuni selalu protes pada pemilik kost yang bersikap over feodal. Ia semakin dekat dengan kami saat tak malu ikut ngamen, suaranya juga lumayan bagus. Ia pun akhirnya sering nginap di tempatku.

“Wan..,” Herto kembali membuyarkan lamunanku.
“Ada apa To?” tanyaku balik lalu mencoba berdiri, berjalan mondar-mandir, sekedar mencoba kembalinya kekuatanku. Sementara Yuni terduduk bersilah, bersandar pada dinding, di samping Herto.
“Ada yang mau kami bicarakan..” lanjut Herto.
“Gini Wan...,” Yuni memotong. “Sebenarnya kemarin aku dikeluarkan dari kost, boleh aku nunut sementara di sini?” lanjutnya.
“Maksudku, sekalian Yuni merawatmu...” tambah Herto sementara aku masih mencoba menggerakkan tangan dan kepala yang terasa sudah lebih baik, lebih bertenaga.
“Yang pasti aku menerima dan sebenarnya malah aku yang berterimakasih pada kalian...” kataku sembari duduk. Lanjutku, “Aku juga yakin tak kan ada nilai yang bisa mengukur pengorbanan kalian.”

Tak lama, kami kemudian terlibat percakapan serius tentang keadaan di kota, seputar Malioboro hingga alun-alun. Keadaan masih “panas” setelah peristiwa Sekatènan, kata Herto. Mereka juga menganjurkan agar sementara aku “menghilang” dulu. Yuni yang selain merawat juga akan menemaniku, sedang Herto dan anak-anak lain tetap ngamen sekaligus memantau keadaan. Menurutnya, Mas Pur dan Mak Sum juga sudah tahu dan mengerti keadaanku, bahkan ikut mengawasi. Tak tahu bagaimana, kami kemudian saling merangkul...

Sungguh, tak ada nilai yang bisa mengukur persahabatan ini. Mereka semua bukan orang-orang yang memiliki materi lebih. Mereka semua sangat sederhana, apa adanya. Tapi, mereka semua sangat mengerti arti dari “nilai persaudaraan”.

…………………………………………………………

Saat dalam perawatan, saat aku tersadar...
Yuni menjelaskan bahwa dalam terpejamnya mataku, sering kupanggil nenek dan Dian. Ahh, aku hanya terdiam sambil menarik nafas panjang. Kembali dua nama itu mengusik pikiranku, selalu penuhi otak saat aku termenung.

Entah kapan terucap...
“Yun, sepertinya aku sudah sehat. Daripada hanya dalam kamar ini, sepertinya aku akan ke luar kota beberapa hari. Gimana?” tanyaku.
“Waduh, saya ndak bisa komentar apa-apa Wan. Coba nanti kita bicara dengan Herto,” balas Yuni.
“Aku malah bingung karena ndak bisa berbuat apa-apa, Yun. Bosan dengan keadaan seperti ini, sumpek!” kataku.
“Kalau untuk kesehatan, ya sebaiknya jalani seperti itu. Istirahat saja dulu, Wan,” balas Yuni lagi sambil menyodorkan kopi dan pisang goreng.
“Aku sudah sehat, Yun. Sekali lagi sudah sehat...,” jelasku saat pisang goreng hangat mendarat di mulut. “Jujur, apa kamu ndak bosan dengan keadaan ini? Tiap hari ndak bosan merawat aku? Kuliahmu? Ndak ingin ketemu kawan?” tanyaku tak habis.
“Maaf, bukan ingin menyinggung perasaanmu, tapi aku tentu tidak pernah akan bosan, sebab aku selalu bersyukur atas apa yang aku dapat,” jawabnya.
“Aku orangnya tak pernah mau diam, mungkin workcoholic! Aku inngin beraktifitas!” jelasku kembali.
“Ya, kalau menurutmu ke luar kota bisa menyelesaikankan masalahmu itu, aku bisa bilang apa?” kata Yuni datar.
“Gini, selain aku bisa beraktifitas, ada keinginan untuk mampir melihat nenek di Malang, Yun. Pikiranku akhir-akhir ini, entah kenapa, selalu teringat padanya,” jelasku.
“Oo, kalau begitu lain lagi ceritanya. Aku sih, setuju saja. Apa perlu ku temani?” tanya Yuni.
“Ndak Yun, sendiri saja...,” jawabku singkat sambil kembali termenung.

Tuesday, June 2, 2009

Masa kuliah - Jakarta

Saat masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas, sebenarnya aku sudah memutuskan dalam hati akan kuliah mengambil jurusan arsitektur. Tapi ibu berniat lain, ia ingin aku meneruskan profesi bapak sebagai tentara.

Bapak akhirnya Letkol. Walau ia tak mau menerima kendaraan dinas sekaligus ajudan dan tetap saja bersama dengan prajurit naik truk butut, ibu bisa menerima.

Ia bukan sembarang ibu, ia orang tabah yang aku sayangi. Jadi, tak mungkin aku bilang tidak. Pikirku, sambil menunggu pendaftaran kuliah, tak ada salahnya mencoba mendaftar tentara. Tapi memang nasib bukan milik ibuku, beratku kurang dan keadaan gigiku tak memungkinkan. Yah, ia pun menerima dengan lapang dada. Apalagi bapak menentramkan hatinya, nasib tentara waktu itu belum baik, belum ada kesejahteraan yang layak. Entah sekarang?

…………………………………………………………

Hampir bersamaan dengan naik pangkatnya bapak, aku diterima di sebuah universitas swasta di sekitar Kali Malang, Jakarta Timur. Sesuai dengan keinginanku, jurusan teknik arsitektur. Setelah urusan administrasi selesai, OSPEK harus ku lalui. Cukup keras dan menantang. Produknya, seluruh MABA, kecuali perempuan, berkepala botak!

Sebagai mahasisiwa teknik, aku bangga. Walau anak lulusan STM saingan ku, aku tak kalah cepat menyusul kemampuan mereka, bahkan mungkin melebihi. Hobi menggambar mempermudahku. Penggaris setia dalam tas, beberapa ukuran rapido standart dan kertas gambar tak ketinggalan. Satu pak rokok juga selalu menemani.

Perjalanan dari rumah ke kampus memakan waktu sekitar dua jam, begitu pula sebaliknya. Tugas di awal-awal kuliah membuat aku sibuk. Pernah, hampir dua hari aku tak kuliah, di rumah saja kerjakan tugas disain. Walau tetap membantu apa saja yang bisa kulakukan untuk keluarga dan rumah, dua hari itu juga aku tak tidur. Hasilnya, saat menumpang dan berdiri di truk jemputan bapak, sesekali aku terjatuh karena tertidur. Mungkin salah satu penumpang ada yang menyampaikan itu ke bapak. Ia jadi mengerti betapa berat kuliahku dan jadi tambah mengerti saat suatu waktu aku ungkapkan alasan tak pulang, menginap di kampus.

Hal itu membuat aku terpaksa sering menginap di tempat kawan atau bahkan harus tidur di kampus. Lingkungan kost dan kampus yang bebas membuat mahasiswa merasa “merdeka” dalam “negara” ciptaan mereka sendiri. Minimal ganja, alkohol juga seperti jadi minuman sehari-hari.

Jujur, aku pun menjalaninya. Bagaimana tidak? Rata-rata kami perokok, ruang UKM yang sempit membuat pintu harus selalu terbuka, udara dingin menyerang, Saat kopi yang belum habis setengah mulai dingin, alkohol jadi solusinya. Sedang ganja seperti pengganti atau jadi campuran tembakau, agar mulut tak jadi asam karena kehabisan rokok.

Belum lagi saat kepala seperti mau pecah, waktu menghadap dosen yang tak mau mengerti bahwa perjuangan “mencipta” membutuhkan “energi ekstra”. Walau jadi terbiasa lihat “ide” hasil merenung semalaman kini menambah isi tong sampah, stress tetap jadi beban. Hati tak tenang, otak seperti mau keluar. Pil-pil koplo malah jadi solusi penenang. Prek, walau sementara, ku akui itu berhasil.

Tak jarang dosen malah meng-ACC-kan tugas, karena takut melihat mata merah setengah melotot atau hanya karena ingin aku cepat beranjak sebab aroma alkohol sangat kuat. Prek, itu juga berhasil!

Saat harus pulang, wajahku sudah segar. Tak ada keluarga yang tahu, sendiri saja.

…………………………………………………………

Suatu hari saat kuliah sudah usai, siang hari saat dalam sadar penuh, aku melintasi sekolahku yang dulu. Sekelebat tampak Dian, tak pikir panjang aku melompat turun. Dalam hati otak mengakui, tambah manis saja dia. Basa-basi, terucap janji, boleh aku main ke rumahnya. Entah sekedar memenuhi janji atau kangen biasa, aku sempatkan juga mampir ke rumahnya.

Pada kesempatan lain di sebuah hubungan telepon, terungkap ia bersama sahabatnya akan main ke rumahku siang itu. Kebetulan aku libur, why not?! Sebenarnya biasa saja, sebentar saja. Tapi, sejujurnya ada sedikit kesan, ada sedikit “rasa“ tertarik, bertambah. Prek, aku tak mau munafik, rasanya aku mulai tertarik padanya.

Tak terhitung berapa pertemuan telah terjadi, tak terasa terungkap juga kata “itu”. Walhasil, ada janji di antara kami. Jalan biasa, naik bis keliling Jakarta dan mampir di Potlot, jadi kegiatan rutin kami berdua.

Satu yang tetap kuingat, tak ada rangkulan dan ciuman. Tapi, “kata-kata indah” mengalir seakan tak ada habisnya. Prek, aku menikmati, menjaga dan sangat menghargai itu.

Monday, June 1, 2009

Masa sekolah menengah atas

Tak terasa aku sudah di sekolah menengah atas. Aku diterima oleh salah satu sekolah negeri di bilangan Jakarta Timur, relatif murah dan dekat jalan raya. Cukup dekat juga dengan TMII.

Banyak kawan yang berdomisili dekat dengan TMII, menjadi salah satu upaya masuk gratis untuk pacaran dengan Linda. Tapi sayang, hanya beberapa hari setelah perpisahan kelasku, saat tak lengkap aku bercerita, saat emosi tak terkendali hingga mengembangkan imagi lebih dari nyatanya, Linda memutuskan untuk bubar. Sampai saat ini, tak ada kesempatan aku untuk mengatakan, ”...Aku tak mencium Ayu selain di keningnya. Hanya itu, tak lebih!...”. Prek, walau berat melupakan “first love” ku, hidup harus tetap lanjut!

Aku masuk kelas IPA, fokus kembali ke pelajaran dan belajar. Selain Kimia, Bahasa Indonesia dan Geografi jadi favoritku. Di ekskul, karate dan basket menjadi salah satu pilihanku untuk melupakannya. Prek, capek meringankan bebanku, melupakan beban cinta!

…………………………………………………………

Aku pernah terpilih sebagai Paskibraka pasukan 8. Gemblengan di Ragunan, antar jemput, seragam dan uang saku aku dapat. Tapi, yang lebih berkesan adalah tugas PON di Senayan, Stadion Bung Karno sekarang. Mulai upacara pembukaan, hari kompetisi hingga penutupan.

Bukan uang yang membuat aku berkesan. Saat penutupan, saat mulai bergerak ke tengah lapangan, tiap petugas sudah saling berbisik, mengincar bendera mana yang akan jadi “souvenir” mereka masing-masing. Selain seragam dan atmosfir Senayan, bendera “Merah Putih” besar yang sampai saat ini masih kumiliki yang ku jadikan semangat hidup.

…………………………………………………………

Saat kelas dua, pergaulan membuat aku lebih nakal. Seperti hari-hari sebelumnya, aku berangkat pagi dengan truk. Tapi waktu pulang, bukan seperti biasanya naik bis, dengan alasan mengirit ongkos, bersama kawan lain malah “bonceng mobil” di truk kosong terbuka yang sudah bongkar muatan semennya. Yah, tak salah bila terbuka peluang terjadi “gesekan” dengan anak sekolahan lain, tawuran! Untungnya, aku selalu bisa menyembunyikan apabila terdapat luka bekas tawuran. Tak sampai parah, biasa saja, tak ada yang tahu.

Suatu ketika, saat turun di daerah rumah, banyak orang yang berbisik agar aku cepat pergi. Tadi siang terjadi “perang” memperebutkan wilayah, antara “orang lama” dengan “pendatang baru”, sama-sama keluarga tentara. Yang jadi masalah, perang itu sudah tak lagi hanya menggunakan senjata tajam, tapi juga senjata organik. Akhirnya, jam malam pun diberlakukan di komplek kami. Cukup lama, sekitar satu bulan PM mengadakan patroli keliling perumahan. Lalu, biasa kembali.

…………………………………………………………

Saat akhir kelas dua, basket membuat aku ketagihan. Aku termasuk salah satu pemain yang bisa diperhitungkan hingga puncaknya saat kelas kami menang dalam “class meting”. Ternyata cukup lama ada sepasang mata yang memperhatikan aku. Kesibukanku di basket menurun karena sudah kelas tiga, sesekali saja aku ikut latihan rutin. Saat itulah ia muncul. Dian, adik kelas, sederhana saja orangnya. Jinak-jinak merpati menurutku. Prek, tak ada cinta, aku harus lulus!

…………………………………………………………

Kurang beberapa minggu lagi EBTA dan EBTANAS, belajar jadi prioritasku. Bolak-balik ke rumah kawan, foto copy bahan, menginap, belajar bersama hingga tryout kulalui.

Satu yang tak akan kulupa, satu hari menjelang ujian, dari rumah aku malah minta ijin belajar bersama di rumah kawan di bilangan Pondok Gede. Apa yang terjadi? Aku dan beberapa kawan malah menyiapkan jaket dan kopi panas untuk “gerilya” pagi buta.

Sekitar jam tiga pagi, sudah terkumpul uang yang tak sedikit, kita berangkat, Cililitan tujuannya. Ada gosip, di daerah itu akan ada transaksi “kunci jawaban” ujian. Ternyata sampai pukul enam, saat matahari mulai terlihat, tak juga ada sosok penjualnya. Sialan!!!

Walhasil, dengan fisik dan mata setengah tenaga, ujian hari pertama ku lalui dengan berat. Pulang ke rumah langsung terkapar, tidur. Prek!

Hari-hari berikutnya, aku anggap ujian biasa saja. Tak terlalu ku forsir otakku. Banyak kawan yang malah mengajak nonton atau jalan ke Ancol. Prek, aku di rumah saja.

…………………………………………………………

Hari penentuan datang juga. Tak lama hati berdebar saat menunggu pengumuman kelulusan, akhirnya aku dinyatakan lulus! Selain corat-coret, pilox dan konvoi yang terjadi di mana-mana, yang akan aku ingat selalu, Dian muncul lagi, ikut mencoret seragamku malah. Sebentar saja, tanpa kesan apa-apa. Prek, biasa saja.

Dan, sebagai ungkapan rasa gembira, saat itu pertama kali aku menghisap rokok! Satu bungkus!! Pulang dengan rasa bahagia tetapi bercampur kepala pusing dan dada sesak!!!

Malam, saat semua sudah tertidur, dalam kamar mandi, muntahku tak berhenti. Setelah hampir satu jam, akhirnya hanya angin yang keluar dari mulut. Perlahan merangkak, menutup pintu WC, masuk kamar, mengunci pintu, matikan lampu…aku terkapar tak sadarkan diri! Sendiri saja, tak ada yang tahu.

Sunday, May 31, 2009

Masa sekolah menengah pertama

Tepat saat aku selesai SD, semua siap, kami harus pindah lagi. Bapak ternyata sudah menyelesaikan urusan rumah di Cimanggis (dulu masih masuk Kabupaten Bogor, sekarang Depok), walau secara geografis lebih dekat ke Jakarta.

Rumah itu berada di kompleks perumahan tentara, KPR/BTN TNI AD. Rumah tipe 36 dengan 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi, terletak hampir di pojok kawasan perumahan kami, sangat sederhana. Jadi, jalan buntu dan tidak kaget bila belakang rumah masih sawah tadah hujan yang saat itu ditanami singkong. Sekitar rumah pun ditumbuhi rumput setinggi pinggang. Satu dua kali, terlihat ular sawah sebesar lengan anak kecil melintas. Prek, tak masalah, yang kuharap semoga tak lagi aku pindah rumah.

Dibantu prajurit-prajurit anak buah bapak, satu persatu barang-barang kami turunkan dari truk dan dimasukkan rumah. Aku cuma bisa membantu yang aku kuat. Tak terasa hari mulai magrib waktu semua itu selesai. Ahh, lumayan. Setelah makan, tidur malam itu terasa sangat nikmat. Kata orang banyak, “home sweet home”.

Pagi hari, ibu mengurus sekolahku dan adik. SD adikku masih dalam wilayah perumahan saja sedang SMP ku lumayan jauh. Bapak, aku dan adik-adik membersihkan rumah. Mulai dari kamar mandi, nge-pel lantai, sampai membersihkan rumput sekitar. Sambil menanam beberapa batang tebu di belakang rumah sebagai pagar sementara, ia bercerita seperti apa nanti jadinya rumah kami. Sepertinya bisa dibangun 2 kamar tidur dan 2 kamar mandi lagi sebagai ganti kamar mandi yang telah ada. Aku mendengarkan dengan santai, sementara adik perempuanku asik bermain dengan pompa air dragon. Tidak lama, terdengar jerit tangis adikku saat gagang pompa mampir di dagunya. Untung bapak cepat menyudahi darah yang mengucur deras. Walhasil, perban melekat dan sampai saat ini pun bekas itu tak hilang.

Menjelang siang, ibu pulang membawa beberapa bungkusan plastik. Sepertinya belanjaan dari pasar. Ia kaget dengan perban di dagu adikku, sebentar saja. Tak lama, makan siang pun sudah masuk di perutku. Nikmat sekali!

…………………………………………………………

Cuti bapak akhirnya selesai, aku dan adik perempuanku pun sudah harus masuk sekolah. Sementara ini adik laki-laki ku yang paling kecil masih tinggal dan sekolah TK di tempat nenek di Malang.

Hari-hari kami lalui seperti keluarga pada umumnya. Hanya saja, aku dan bapak masih terus membangun rumah sepulang kami aktifitas.

Setiap pulang sekolah aku harus tidur siang, istirahat total, sebelum bapak pulang dan kemudian mengajak kerja kembali, membangun rumah. Selain mengaduk semen, aku membantu mengangkat semen dan batako. Bapak menyusun batako sambil sesekali ia mengajarkan campuran yang benar, ia juga mengajarkan cara menyusun batako yang baik. Hmm, sebuah ilmu yang sangat menarik.

Perlahan tapi pasti, dinding belakang rumah sudah berdiri, 2 kamar tidur dan dua kamar mandi baru sudah jadi. Pompa air manual pun tak lagi kami gunakan, sudah ada pompa listrik. Pagar permanen sudah berdiri di depan dan samping rumah. Lantai ubin traso sudah berganti produk keramik baru yang lebih licin dan mengkilat.

Kegiatan di lingkungan aku jalani. Mulai dari tim voli, tenis meja, sepak bola agustusan sampai jadi ketua Karang Taruna. Lumayan, untuk pengalaman. Sementara selepas magrib, masih saja mengaji yang aku dan adik perempuanku jalani.

Kami termasuk penghuni pertama di perumahan, jadi tak heran bila banyak perubahan yang kami saksikan. Dari penghuni yang silih berganti, rumah-rumah standart menjadi lebih mewah, jalan mulus lalu rusak, mulus dan rusak lagi. Hingga perkembangan kawan yang dahulu kecil, merangkak, belajar berjalan, berlari, sekolah, dan akhirnya menikah. Tak sedikit yang mati.

…………………………………………………………

Di sekolah menengah pertama, awalnya aku adalah seorang pemalu. Dengan biaya angkot seratus rupiah dan jatah biaya hidup perminggu sepuluh ribu rupiah, terasa sangat cukup buatku. Sebab, setiap pagi, untuk pergi ke sekolah pun, aku biasa berangkat bersama bapak dan kawan-kawan tentaranya, menumpang truk butut dari kantor. Yang penting setelah sekolah, ya pulang membantu orang tua di rumah. Istilah bapak, aku “anak rumahan”.

Pendidikan sekolah dasar di Ambon, terbukti membuat aku mudah mengikuti pelajaran. Peringkat 2 besar selalu ku dapat. Nah, kini perhatianku ku bertambah pada musik. Aku harus bisa memainkannya. Gitar? Bas? Drum? Apa ya??? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu datang saat malam datang. Aku jadi tak nyenyak tidur, tak kenyang makan.

Suatu saat, istirahat sekolah, aku dan seorang kawan melihat seperangkat alat musik dimasukkan ke ruang praktek sekolah. Aku tertarik, tapi hanya berani mengintip dari balik jendela kaca nako. Satu per satu alat itu ditata, lalu kemudian di coba. Wuiiiiihhhh…kelihatannya sangat menyenangkan!

Setiap hari, di tiap istirahat, selalu saja suara alat musik itu bergema, seakan memanggilku untuk mengelusnya. Setiap kali, hanya mengintip yang aku berani lakukan, maklum baru kelas satu, “penguasa” ruang praktek adalah kelas dua dan tiga. Penasaran!

Perhatianku sempat beralih ke karate, pramuka dan basket serta voli. Tapi tak lama. Sebab suatu ketika, di suatu hari minggu, saat merapikan peralatan pramuka di ruang praktek, setengah berani aku mengelus dan menunggangi drum. Baru itu saja, rasanya sudah selangit!

Hasil mengintip sekian lama, membuat aku sedikit mengerti ketukan dasar cara membelai drum. Pulang ke rumah, sapu lidi jadi korban untuk ku buat stick. Pintu ku tutup, mata ku pejam, tanganku menari.

Semakin semangat aku mengintip, semakin semangat aku ikuti ekskul di hari minggu, semakin semangat mengunci kamar, kupejamkan mata, semakin tenggelam dalam perjalanan anganku. Tapi pelajaran sekolah tak pernah luput, masih tetap aku kuasai.

…………………………………………………………

Naik ke kelas dua, aku terpilih jadi ketua kelas dan ketua koperasi sekolah. Selain itu, aku pernah terpilih mewakili sekolah dalam lomba sprint 100 m dan mengikuti Jambore Nasional Pramuka di Cibubur. Aktif juga di pencak silat Cimande, lumayanlah buat pengalaman. Tapi, prestasi itu sepertinya kurang lengkap bila tak juga aku bisa bermusik. Tak lengkap bila hanya bisa memainkan drum dengan stik sapu lidi dalam kamar tidur dengan mata terpejam pula. Belumlah lengkap bila tak punya band!

Suatu saat, dikumpulkan para siswa yang mengikuti ekskul musik, tentu aku termasuk. Pembimbing kami ngejam dengan beberapa siswa, siapa saja boleh mencoba. Wah, ini kesempatannya!

Pertama ku pegang stik drum asli, walau buatan lokal, rasanya ingin pingsan. Perlahan aku duduki kusinya, masih gemetar. Pertama memukul sneer, mau lari ke kamar mandi rasanya. Prek, aku harus PD! Koes Plus, lagu pertama yang kami mainkan, “Ke Jakarta Aku Kan Kembali” dari awal hingga akhir. Persis? Tentu tidak! Yang penting ketukannya masuk. Ahh, lega rasanya.

Setelah selesai, beberapa kawan mengusulkan untuk kumpul di kantin. Walau tak ada yang jualan, maklum hari minggu, kami tetap kumpul di sana. Tak lama, hanya sebentar, lalu kemudian pindah ke rumah salah satu kawan, biar lebih santai.

Setelah bicara cukup lama, di putuskan, Andre di vocal dan rhytm, Hari di lead gitar, Yahya di bass dan aku sendiri di drum. Kita lebih konsen pada Beatles. Latihan satu kali seminggu, dengan uang kas tercatat. Tapi, tak ada yang boleh mengetahui keberadaan band kami yang tanpa nama ini. Kawan sebangku, guru atau wali kelas sekalipun. Sepakat, aku pulang ke rumah membawa beberapa kaset copy-an dengan sangat bersemangat.

…………………………………………………………

Sekali setiap minggu, kami latihan. Mulai dari sewa studio biasa hingga mencuri kesempatan pada hari minggu saat ruang praktek dan sekolah tak ada penghuninya. Setiap selesai belajar, selalu kusempatkan mendengarkan kaset. Sampai jadi pengantar tidur pun tak jarang itu terjadi.

Suatu saat, di suatu pagi, ada inspeksi mendadak di sekolah. Seluruh siswa dikumpulkan di tengah lapangan. Ternyata ada razia, soal apa saja, mulai bacaan Nick Errow, Play Boy, Ko Ping Ho hingga ganja. Walhasil, hiruk-pikuk terjadi, seperti pasar malam. Aku santai saja sambil bercanda dengan yang lain.

Hampir satu jam itu berlangsung, hingga suatu ketika, samar-samar namaku dipanggil. Menyusul nama Andre, Yahya dan Hari. Gila, ada apa? Prek, aku santai saja tanpa ada rasa bersalah. Hampir bersamaan kami keluar dari kerumunan, saling memandang kosong, dan berjalan langsung menuju ruang Kepala Sekolah. Siswa yang lain kembali masuk kelas masing-masing dengan pandangan penuh tanda tanya ke arah kami. Selain Kepsek dan Wakepsek, di salam ruangan ternyata sudah menunggu Bu Dede, Wali Murid kami.

“Semua duduk!” tegas Kepsek.
“Apa ini?” Bu Dede menyambung sambil melemparkan sebuah buku ke atas meja depan kami.
“Kecil-kecil kalian sudah main PORKAS? Kenapa hanya nama kalian ada di sini? Catatan yang lain mana?” tambah Wakepsek tak putus-putus.

Sejenak kami berempat saling berpandangan. Sesekali saling balas menggerakkan alis, saling menunjuk yang lain agar mau bicara. Terus terang saja, aku ingin tertawa tapi tak berani.

“Ibu dan Bapak yang terhormat…ini bukan rekap PORKAS. Kami ini satu band dan ini catatan uang kas untuk latihan band kami,” Andre menjelaskan sambil tertunduk.

Kepsek, Wakepsek dan Bu Dede…???

Sambil berjalan perlahan keluar dari ruangan, kami menahan tawa. Lonceng istirahat tak lama kemudian berbunyi, tanpa dikomando kami langsung menuju kantin. Di sini akhirnya tawa itu tak terbendung, lepas! Terbahak! Terbongkar sudah band kami! Prek, maju terus pantang mundur!

Walhasil, suatu ketika Bu Dede bicara langsung pada kami berempat bahwa atas ijin dari Kepsek, kami diberikan kesempatan latihan terbuka di ruang praktek sekolah, setiap hari minggu. Bu Dede pun tak jarang membawakan camilan, mungkin sebagai “obat rasa bersalah”-nya atau bahkan pemberi semangat kami. Ahh, lega rasanya, apalagi tak jarang kami jadi bisa main dalam acara sekolah, apakah itu perpisahan kelas, sekolah hingga ulang tahun. Prek, tanpa bayaran yang penting puas!

Suatu saat, datang pengumuman lomba seni music, vocal grup, se-Jakarta. Band kami pun di libatkan, walau lebih banyak anak yang bergabung, walau akhirnya hanya juara harapan. Satu yang berkesan, salah satu dari yang bergabung adalah seorang gadis yang akhirnya jadi cinta pertamaku, Linda. Ia biasa saja, tak begitu cantik.

Sebenarnya, jauh sebelum itu, ada seorang gadis yang begitu berusaha mendekatiku. Hanya saja ternyata sahabat dekatku begitu pula berusaha mendekatinya. Ku lepaskan gadis itu demi seorang sahabat, Yusuf.

…………………………………………………………

Linda anak seorang pengusaha terkenal di sekitar wilayah tempat tinggalku. Tapi, bukan itu dasar hubunganku. Ia pendiam, aku suka. Kuning langsat, aku cinta. Ia sederhana, membuatku sayang.

Saat musik menjadi kesibukanku, aku tak juga pandai gitar, jadi alasan mendekati. Ku pinjam, baru lama kukembalikan. Adik perempuanku satu angkatan dengannya, jadi jalan memudahkan. Berlembar surat cinta sudah melayang melewati adikku.

Entah kapan, pagi masih buta waktu ayam jantan baru berkokok, aku sudah wira-wiri, di depan gerbang rumahnya. Dengan sepatu roda yang seharusnya untuk adik laki-lakiku, ku susuri aspal depan rumahnya. Satu dua kerikil ku lempar ke kaca jendela kamarnya. Tapi, saat suara sang bapak terdengar membentak, langkah seribu aku kayuhkan. Prek, sial!

Bioskop punya keluarganya jadi saksi masa pacaran kami. "Anak-anak Gass", salah satu film yang dibintangi Ria Irawan, masih ku ingat kita saksikan bersama. Walau tak selalu berdua, biasanya sekali sebulan aku pasti mampir di sana, tentunya tak selalu gratis bagiku.

Waktu itu, kami punya sebuah kesamaan dalam musik. “I got you Babe” (UB40) dan OST “Labamba”, sama-sama kami miliki. Ahh, sederhana saja, cukup indah!

Saturday, May 30, 2009

Masa setahun di Karawang

Cukup lama kami ditinggal tugas oleh bapak ke jawa, sementara kami tetap di Ambon. Tapi saat bapak kembali ke Ambon, tak lama kemudian ia naik pangkat jadi Mayor. Saat surat tugas untuk bapak datang, kami harus meninggalkan Ambon…

Hari masih pagi buta waktu kami berada di pelabuhan udara Patimura. Jaket aku pakai karena udara dingin menusuk tubuhku yang masih kecil. Detik-detik keberangkatan pesawat sudah terdengar dari operator...

Pandangan polos, tak mengerti apa-apa, itu yang tampak pada aku dan adikku. Sementara para kerabat yang mengantar keberangkatan kami memeluk menangis. Bolak-balik, ciuman mendarat padaku. Tak lama, mereka tak tampak lagi oleh ku saat kami memasuki tabung pesawat. Suara bergemuruh, pesawat take off, aku lalu tertidur.

Transit di Makasar, kami manfaatkan untuk sarapan. Matahari mulai terlihat di ufuk timur. Hanya sebentar, lalu terbang lagi.

Satu yang aku ingat, wajah bapak dan ibu sangat cemas saat getaran dalam pesawat semakin keras. Ikat pinggangku dan adik perempuanku dirapatkannya. Terdengar do’a-do’a dari penumpang lain. Entah do’a apa, tapi cukup ramai menggangguku. Sejenak kemudian keadaan normal kembali. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi, sepertinya tertidur lagi...

Aku dibangunkan ibu waktu roda pesawat sudah mendarat menyentuh bumi, ternyata Juanda sudah terlihat di balik kaca pesawat. Sebentar saja setelah bongkar muat, kami sudah dalam perjalanan ke rumah nenek di Lawang, Malang. Ia, single parent, karena kakekku sudah lama wafat, saat ibu masih kecil. Ia sendiri membesarkan sembilan anaknya. Ibuku anak pertama darinya.

Hanya beberapa hari kami di Malang. Walau sempat nyekar makam kakek di TMP Lawang, kami harus berangkat kembali. Tujuan berikutnya ke Karawang.

Ternyata, saat bapak di tanah Jawa dan kami di Ambon, bapak sudah mempersiapkan sebuah rumah kontrakkan di Karawang, walau kerja bapak sebenarnya di Jakarta. Ia pun diam-diam mengurus kepemilikan rumah KPR/BTN di Jakarta, semoga akan jadi rumah kami sendiri nantinya...

Tidak lama aku di Karawang, sekitar satu tahun kurang. Apalagi aku masih sering diajak ke Borneo dan Malang. Ternyata cukup susah adaptasinya. Bahasa Sunda menjadi sebuah masalah awal. Harus menggunakan sandal japit menjadi masalah kedua. Rasa makanan yang sangat berbeda menjadi persoalan berikutnya.

Mengurus segala surat pindah selesai, akhirnya aku kembali ke sekolah, meneruskan kelas enam SD dari Ambon. Bahasa Sunda kembali menjadi sebuah masalah. Ia masuk dalam syarat kelulusan! Untungnya pelajaran yang lain tidaklah berat. Atik, saingan terberatku, prek yang lain! Aku tetap masuk peringkat dua besar tiap semester secara umum.

Mengaji, menjadi kegiatan rutin setiap sore. Ke kantor bapak di bilangan Mestèr, Jakarta, menjadi kegiatan rutin satu kali seminggu. Aku lebih sering hanya berdua dengan bapak. Naik kereta KRD, pulang-pergi. Sekedar jalan-jalan atau membeli buku pelajaran.

Jambore pramuka tingkat nasional, ikut lomba matematika dan lomba melukis pernah ku lalui di Karawang. Lumayan, menambah pengalaman.

Saat tak terasa kelulusan menjelang…
Alhamdulillah……aku dinyatakan lulus!

Friday, May 29, 2009

Masa kecil di Ambon

Aku anak pertama sekaligus cucu pertama dari keluarga ibuku. Ambon tanah lahirku yang tak akan aku lupakan…

Aku lahir di Ambon dari ibu kelahiran Jawa dan Bapak kelahiran Kalimantan, membuat aku sudah menempuh perjalanan jauh. Kata bapak, waktu masih kecil, aku sudah sering di bawa ke Tanah Jawa dan Borneo, otomatis transit di Selebes. Kapal laut dan pesawat terbang adalah transportasi yang kami gunakan, masih murah waktu itu.

Adikku nomor dua perempuan, kami satu sekolah, jadi sering bersama. Adik nomor tiga, lahir prematur, belum saatnya sudah maksa keluar dia. Ia meninggal waktu masih bayi dan dimakamkan di Ambon. Kata ibu sangat mirip denganku kalau sampai saat ini masih bertahan hidup. Yang terakhir laki-laki, saat kecil dia lebih sering di tanah Jawa bersama nenek dari ibuku.

Ibu membawa serta adiknya, mereka aku panggil Tante Pipit dan Tatik. Sampai saat ini, Tante Tatik masih berdomisili di Ambon. Pinky, anak Tante Tatik, sudah besar, sudah menikah dengan dua anak. Dea, adiknya, juga tak terasa sudah dewasa, sudah punya satu anak. Sedang Tante Pipit sampai saat ini berdomisili di Malang, dekat saja.

Tak banyak yang ku ingat saat masih bayi dulu, tapi menurut cerita ibuku, tak senang aku pada yang namanya ASI, bila dipaksa malah gumoh, muntah-muntah. Yang kusuka malah susu instant. Kecuali saat bulan-bulan pertama, mungkin karena tak hobi ASI, aku tak gemuk, kurus sekali, hitam lagi. Yang masih cukup teringat adalah mulai usia sekolahku. TK, aku relatif nakal, tapi cukup bertanggung jawab.

“Ibu guru, saya mau pup,” kataku memelas penuh harap pada guruku.
“Iya, bisa ke WC sendiri?” tanya beliau.
“Bisa bu!” jawabku semangat.

Tapi yang terjadi, belum lagi aku berjalan 5 meter, “kotoran” itu sudah menggantung. Prek, aku diam saja, tak malu, tak bilang apa-apa. Di WC, sambil buang air besar, celana yang kotor ku cuci sebisanya dan ku peras, maklum masih anak-anak. Aku kemudian berjalan biasa saja saat kembali ke kelas.

“Andreas, kenapa celanamu basah?!” tanya bu guru dengan muka bingung.
“Telat bu, keduluan keluar….,” jawabku santai lalu kembali duduk.
Ibu guru…!!!!????

Satu lagi yang masih kuingat adalah bekas “perang” dengan kawan TK. Sepertinya “cacat seumur hidup” baginya. Bekas “silang,” terkena sudut meja, tak akan hilang dari jidat kawanku. Rahasia itu kami pendam, sampai sekarang.

…………………………………………………………

SD, aku melanjutkan sekolah dasar satu yayasan dengan TK, Xaverius. Frather, menjadi salah satu pengajar yang sangat berpengaruh, untungnya beliau sangat bijaksana. Lain dengan guru-guru biasa, “killer man”!

Dalam satu minggu, hampir selalu ada yang namanya “hari hukuman”. Bukan untuk perorangan tapi untuk satu kelas. Maklum, walau masih kecil, kami sudah mengerti arti “kompak”. Jangan kaget kalau pulang sekolah tampak goresan bekas rotan di paha-paha kami, biasa.

Disiplin mungkin memang jadi pilihan masuk di sekolah ini. Tapi, terbukti bahwa jebolan sekolah ini sangat bersaing dibanding yang lain. Rata-rata peringkatku pun tak lebih dari 3 besar. Dulu, matematika dan bahasa jadi favoritku. Sepak bola jadi pilihan olah ragaku.

…………………………………………………………

Ayahku seorang tentara sedang ibuku seorang ibu rumah tangga yang otomatis ikut sibuk di lingkungan ibu-ibu tentara, persit. Rumah kami barak, satu diantara 10 petak yang masing-masing terdiri dari lima unit. Kalau ingin ke tetangga sebelah, tak perlu aku lewat pintu depan. Biasanya aku hanya melompat dari ruang tamu kami. Kalau malam tak bisa tidur atau sedang marah kepada orang tuaku, itu juga yang ku lakukan. Saat tersadar besok pagi, aku sudah di sebelah.

Saat bermain tak ada yang namanya sandal japit. Bila tak ada acara "formal" dengan keluarga, hanya kaki tanpa alas yang menemaniku ke mana-mana. Hingga pernah suatu saat aku berjalan bersama empat kawan sekitar tiga kilometer untuk rasa ingin tahu yang namanya mencari ikan. Karang Panjang, tujuan kami, daerah dataran tinggi tempat berdirinya patung Christina Martha Tiahahu, yang kata orang, banyak ikannya. Dapat, masing-masing satu ekor.

Waktu kembali ke rumah, bapak sudah menunggu dengan “kopel” dan rotan di tangannya. Tak perduli ikan yang dengan susah payah ku dapat, tak perduli juga kopel dan rotan mendarat di tubuh. Kuingat selanjutnya, sudah di dalam kamar mandi yang dikunci dari luar, basah kuyub!

Kerasnya pendidikan di keluarga bukan hanya aku yang rasakan, adikku perempuan juga, rata-rata semua anak tentara juga pernah. Kopel, sepatu lars dan rotan jadi biasa. Prek, biasa saja bagiku!

…………………………………………………………

Aku dan adik-adik sering diajak ke acara bersama para tentara. Kami sering juga mengisi, mulai acara lomba permainan, menyanyi hingga menari. Ibuku pun tak mau kalah. Fashion show dan menyanyi jadi pilihannya. Hadiah-hadiah, walau sederhana, membuat hati kami sangat senang.

Satu yang aku ambil hikmahnya, mulai dari kecil kami sudah dibiasakan punya kemampuan banyak. Bapak selalu membuat sesuatu dengan kemampuannya sendiri. Mulai dari lemari hingga kursi. Melukis dan seni musik, bapak turunkan buat aku. Tak bosan ia memberikan pengetahuan cara menggambar dan bermain gitar, walau si gitar masih dari pinjaman tetangga. Sedang ibu membuat aku lebih mengerti arti “rasa” dalam seni dan pergaulan.



…………………………………………………………

Selain bermain di sungai air tawar bersama morea di daerah Waitatiri dan naik feri dari Galala ke Poka, laut merupakan salah satu unsur dalam hidup yang tidak akan pernah aku lupakan. Natsepa, pantai yang selalu membuat hati rindu. Pantai landai dengan pasirnya yang putih. Air laut yang bersih jernih dengan warna gradasi biru walau kadang pula hijau.

Para penjual rujak sangat tradisional bersatu dengan lingkungan yang asli, asri. Sampai di tanah Jawa sekalipun, rasanya tak ada duanya. Dengan kebaya asli Maluku, merah kombinasi putih. Rambut “pata mayang”.

Hampir mati aku waktu belum bisa berenang. Terbawa ombak ke tengah, tak ada yang menolong. Memaksa aku untuk menggerakkan tangan dan kaki, timbul tenggelam. Namun, tak berapa lama, gaya “katak” jadi juru selamatku. Aku bisa…Natsepa jadi saksi!

Menyelam tanpa kacamata lalu jadi hobiku. Bermain dengan ubur-ubur, bercanda dengan ular laut dan teripang. Membawa pulang bintang laut selalu jadi oleh-olehku. Ku jemur diatas atap seng, walau akhirnya harus dibuang karena membusuk. Kadang ikan laut hias juga jadi buah tangan, tapi tak lama bertahan. Maklum tak cocok dengan air garam buatanku...
…………………………………………………………

Barak, tak ada pagar pembatas khusus dengan kampung sekitar. Tak ada pos jaga yang harus dilapori untuk masuk wilayah hunian kami. Tetangga barak dan kampung sudah seperti keluarga, walau datang berganti. Aku jadi banyak kenal orang, semoga orang banyak juga kenal aku.

Suasana kekeluargaan itu bertambah saat datangnya hari besar, hari raya. Saat Idul Fitri, saat kami selesai tunaikan sholat dan beranjak pulang, para penganut agama lain yang kami kenal sudah menyambut di depan rumah, mereka sepanjang jalan. Natal, tak beda, kami menunggu di depan pintu. Bersalam-salaman, berpelukan hingga menangis.

Melihat kenyataan sekarang, hatiku miris, aku ingin menangis. Seperti apa makam adikku? Seperti apa Ambon sekarang? Bagaimana Natsepa? Karang Panjang?