Saat masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas, sebenarnya aku sudah memutuskan dalam hati akan kuliah mengambil jurusan arsitektur. Tapi ibu berniat lain, ia ingin aku meneruskan profesi bapak sebagai tentara.
Bapak akhirnya Letkol. Walau ia tak mau menerima kendaraan dinas sekaligus ajudan dan tetap saja bersama dengan prajurit naik truk butut, ibu bisa menerima.
Ia bukan sembarang ibu, ia orang tabah yang aku sayangi. Jadi, tak mungkin aku bilang tidak. Pikirku, sambil menunggu pendaftaran kuliah, tak ada salahnya mencoba mendaftar tentara. Tapi memang nasib bukan milik ibuku, beratku kurang dan keadaan gigiku tak memungkinkan. Yah, ia pun menerima dengan lapang dada. Apalagi bapak menentramkan hatinya, nasib tentara waktu itu belum baik, belum ada kesejahteraan yang layak. Entah sekarang?
…………………………………………………………
Hampir bersamaan dengan naik pangkatnya bapak, aku diterima di sebuah universitas swasta di sekitar Kali Malang, Jakarta Timur. Sesuai dengan keinginanku, jurusan teknik arsitektur. Setelah urusan administrasi selesai, OSPEK harus ku lalui. Cukup keras dan menantang. Produknya, seluruh MABA, kecuali perempuan, berkepala botak!
Sebagai mahasisiwa teknik, aku bangga. Walau anak lulusan STM saingan ku, aku tak kalah cepat menyusul kemampuan mereka, bahkan mungkin melebihi. Hobi menggambar mempermudahku. Penggaris setia dalam tas, beberapa ukuran rapido standart dan kertas gambar tak ketinggalan. Satu pak rokok juga selalu menemani.
Perjalanan dari rumah ke kampus memakan waktu sekitar dua jam, begitu pula sebaliknya. Tugas di awal-awal kuliah membuat aku sibuk. Pernah, hampir dua hari aku tak kuliah, di rumah saja kerjakan tugas disain. Walau tetap membantu apa saja yang bisa kulakukan untuk keluarga dan rumah, dua hari itu juga aku tak tidur. Hasilnya, saat menumpang dan berdiri di truk jemputan bapak, sesekali aku terjatuh karena tertidur. Mungkin salah satu penumpang ada yang menyampaikan itu ke bapak. Ia jadi mengerti betapa berat kuliahku dan jadi tambah mengerti saat suatu waktu aku ungkapkan alasan tak pulang, menginap di kampus.
Hal itu membuat aku terpaksa sering menginap di tempat kawan atau bahkan harus tidur di kampus. Lingkungan kost dan kampus yang bebas membuat mahasiswa merasa “merdeka” dalam “negara” ciptaan mereka sendiri. Minimal ganja, alkohol juga seperti jadi minuman sehari-hari.
Jujur, aku pun menjalaninya. Bagaimana tidak? Rata-rata kami perokok, ruang UKM yang sempit membuat pintu harus selalu terbuka, udara dingin menyerang, Saat kopi yang belum habis setengah mulai dingin, alkohol jadi solusinya. Sedang ganja seperti pengganti atau jadi campuran tembakau, agar mulut tak jadi asam karena kehabisan rokok.
Belum lagi saat kepala seperti mau pecah, waktu menghadap dosen yang tak mau mengerti bahwa perjuangan “mencipta” membutuhkan “energi ekstra”. Walau jadi terbiasa lihat “ide” hasil merenung semalaman kini menambah isi tong sampah, stress tetap jadi beban. Hati tak tenang, otak seperti mau keluar. Pil-pil koplo malah jadi solusi penenang. Prek, walau sementara, ku akui itu berhasil.
Tak jarang dosen malah meng-ACC-kan tugas, karena takut melihat mata merah setengah melotot atau hanya karena ingin aku cepat beranjak sebab aroma alkohol sangat kuat. Prek, itu juga berhasil!
Saat harus pulang, wajahku sudah segar. Tak ada keluarga yang tahu, sendiri saja.
…………………………………………………………
Suatu hari saat kuliah sudah usai, siang hari saat dalam sadar penuh, aku melintasi sekolahku yang dulu. Sekelebat tampak Dian, tak pikir panjang aku melompat turun. Dalam hati otak mengakui, tambah manis saja dia. Basa-basi, terucap janji, boleh aku main ke rumahnya. Entah sekedar memenuhi janji atau kangen biasa, aku sempatkan juga mampir ke rumahnya.
Pada kesempatan lain di sebuah hubungan telepon, terungkap ia bersama sahabatnya akan main ke rumahku siang itu. Kebetulan aku libur, why not?! Sebenarnya biasa saja, sebentar saja. Tapi, sejujurnya ada sedikit kesan, ada sedikit “rasa“ tertarik, bertambah. Prek, aku tak mau munafik, rasanya aku mulai tertarik padanya.
Tak terhitung berapa pertemuan telah terjadi, tak terasa terungkap juga kata “itu”. Walhasil, ada janji di antara kami. Jalan biasa, naik bis keliling Jakarta dan mampir di Potlot, jadi kegiatan rutin kami berdua.
Satu yang tetap kuingat, tak ada rangkulan dan ciuman. Tapi, “kata-kata indah” mengalir seakan tak ada habisnya. Prek, aku menikmati, menjaga dan sangat menghargai itu.
No comments:
Post a Comment