Cukup lama kami ditinggal tugas oleh bapak ke jawa, sementara kami tetap di Ambon. Tapi saat bapak kembali ke Ambon, tak lama kemudian ia naik pangkat jadi Mayor. Saat surat tugas untuk bapak datang, kami harus meninggalkan Ambon…
Hari masih pagi buta waktu kami berada di pelabuhan udara Patimura. Jaket aku pakai karena udara dingin menusuk tubuhku yang masih kecil. Detik-detik keberangkatan pesawat sudah terdengar dari operator...
Pandangan polos, tak mengerti apa-apa, itu yang tampak pada aku dan adikku. Sementara para kerabat yang mengantar keberangkatan kami memeluk menangis. Bolak-balik, ciuman mendarat padaku. Tak lama, mereka tak tampak lagi oleh ku saat kami memasuki tabung pesawat. Suara bergemuruh, pesawat take off, aku lalu tertidur.
Transit di Makasar, kami manfaatkan untuk sarapan. Matahari mulai terlihat di ufuk timur. Hanya sebentar, lalu terbang lagi.
Satu yang aku ingat, wajah bapak dan ibu sangat cemas saat getaran dalam pesawat semakin keras. Ikat pinggangku dan adik perempuanku dirapatkannya. Terdengar do’a-do’a dari penumpang lain. Entah do’a apa, tapi cukup ramai menggangguku. Sejenak kemudian keadaan normal kembali. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi, sepertinya tertidur lagi...
Aku dibangunkan ibu waktu roda pesawat sudah mendarat menyentuh bumi, ternyata Juanda sudah terlihat di balik kaca pesawat. Sebentar saja setelah bongkar muat, kami sudah dalam perjalanan ke rumah nenek di Lawang, Malang. Ia, single parent, karena kakekku sudah lama wafat, saat ibu masih kecil. Ia sendiri membesarkan sembilan anaknya. Ibuku anak pertama darinya.
Hanya beberapa hari kami di Malang. Walau sempat nyekar makam kakek di TMP Lawang, kami harus berangkat kembali. Tujuan berikutnya ke Karawang.
Ternyata, saat bapak di tanah Jawa dan kami di Ambon, bapak sudah mempersiapkan sebuah rumah kontrakkan di Karawang, walau kerja bapak sebenarnya di Jakarta. Ia pun diam-diam mengurus kepemilikan rumah KPR/BTN di Jakarta, semoga akan jadi rumah kami sendiri nantinya...
Tidak lama aku di Karawang, sekitar satu tahun kurang. Apalagi aku masih sering diajak ke Borneo dan Malang. Ternyata cukup susah adaptasinya. Bahasa Sunda menjadi sebuah masalah awal. Harus menggunakan sandal japit menjadi masalah kedua. Rasa makanan yang sangat berbeda menjadi persoalan berikutnya.
Mengurus segala surat pindah selesai, akhirnya aku kembali ke sekolah, meneruskan kelas enam SD dari Ambon. Bahasa Sunda kembali menjadi sebuah masalah. Ia masuk dalam syarat kelulusan! Untungnya pelajaran yang lain tidaklah berat. Atik, saingan terberatku, prek yang lain! Aku tetap masuk peringkat dua besar tiap semester secara umum.
Mengaji, menjadi kegiatan rutin setiap sore. Ke kantor bapak di bilangan Mestèr, Jakarta, menjadi kegiatan rutin satu kali seminggu. Aku lebih sering hanya berdua dengan bapak. Naik kereta KRD, pulang-pergi. Sekedar jalan-jalan atau membeli buku pelajaran.
Jambore pramuka tingkat nasional, ikut lomba matematika dan lomba melukis pernah ku lalui di Karawang. Lumayan, menambah pengalaman.
Saat tak terasa kelulusan menjelang…
Alhamdulillah……aku dinyatakan lulus!
No comments:
Post a Comment