Sunday, May 31, 2009

Masa sekolah menengah pertama

Tepat saat aku selesai SD, semua siap, kami harus pindah lagi. Bapak ternyata sudah menyelesaikan urusan rumah di Cimanggis (dulu masih masuk Kabupaten Bogor, sekarang Depok), walau secara geografis lebih dekat ke Jakarta.

Rumah itu berada di kompleks perumahan tentara, KPR/BTN TNI AD. Rumah tipe 36 dengan 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi, terletak hampir di pojok kawasan perumahan kami, sangat sederhana. Jadi, jalan buntu dan tidak kaget bila belakang rumah masih sawah tadah hujan yang saat itu ditanami singkong. Sekitar rumah pun ditumbuhi rumput setinggi pinggang. Satu dua kali, terlihat ular sawah sebesar lengan anak kecil melintas. Prek, tak masalah, yang kuharap semoga tak lagi aku pindah rumah.

Dibantu prajurit-prajurit anak buah bapak, satu persatu barang-barang kami turunkan dari truk dan dimasukkan rumah. Aku cuma bisa membantu yang aku kuat. Tak terasa hari mulai magrib waktu semua itu selesai. Ahh, lumayan. Setelah makan, tidur malam itu terasa sangat nikmat. Kata orang banyak, “home sweet home”.

Pagi hari, ibu mengurus sekolahku dan adik. SD adikku masih dalam wilayah perumahan saja sedang SMP ku lumayan jauh. Bapak, aku dan adik-adik membersihkan rumah. Mulai dari kamar mandi, nge-pel lantai, sampai membersihkan rumput sekitar. Sambil menanam beberapa batang tebu di belakang rumah sebagai pagar sementara, ia bercerita seperti apa nanti jadinya rumah kami. Sepertinya bisa dibangun 2 kamar tidur dan 2 kamar mandi lagi sebagai ganti kamar mandi yang telah ada. Aku mendengarkan dengan santai, sementara adik perempuanku asik bermain dengan pompa air dragon. Tidak lama, terdengar jerit tangis adikku saat gagang pompa mampir di dagunya. Untung bapak cepat menyudahi darah yang mengucur deras. Walhasil, perban melekat dan sampai saat ini pun bekas itu tak hilang.

Menjelang siang, ibu pulang membawa beberapa bungkusan plastik. Sepertinya belanjaan dari pasar. Ia kaget dengan perban di dagu adikku, sebentar saja. Tak lama, makan siang pun sudah masuk di perutku. Nikmat sekali!

…………………………………………………………

Cuti bapak akhirnya selesai, aku dan adik perempuanku pun sudah harus masuk sekolah. Sementara ini adik laki-laki ku yang paling kecil masih tinggal dan sekolah TK di tempat nenek di Malang.

Hari-hari kami lalui seperti keluarga pada umumnya. Hanya saja, aku dan bapak masih terus membangun rumah sepulang kami aktifitas.

Setiap pulang sekolah aku harus tidur siang, istirahat total, sebelum bapak pulang dan kemudian mengajak kerja kembali, membangun rumah. Selain mengaduk semen, aku membantu mengangkat semen dan batako. Bapak menyusun batako sambil sesekali ia mengajarkan campuran yang benar, ia juga mengajarkan cara menyusun batako yang baik. Hmm, sebuah ilmu yang sangat menarik.

Perlahan tapi pasti, dinding belakang rumah sudah berdiri, 2 kamar tidur dan dua kamar mandi baru sudah jadi. Pompa air manual pun tak lagi kami gunakan, sudah ada pompa listrik. Pagar permanen sudah berdiri di depan dan samping rumah. Lantai ubin traso sudah berganti produk keramik baru yang lebih licin dan mengkilat.

Kegiatan di lingkungan aku jalani. Mulai dari tim voli, tenis meja, sepak bola agustusan sampai jadi ketua Karang Taruna. Lumayan, untuk pengalaman. Sementara selepas magrib, masih saja mengaji yang aku dan adik perempuanku jalani.

Kami termasuk penghuni pertama di perumahan, jadi tak heran bila banyak perubahan yang kami saksikan. Dari penghuni yang silih berganti, rumah-rumah standart menjadi lebih mewah, jalan mulus lalu rusak, mulus dan rusak lagi. Hingga perkembangan kawan yang dahulu kecil, merangkak, belajar berjalan, berlari, sekolah, dan akhirnya menikah. Tak sedikit yang mati.

…………………………………………………………

Di sekolah menengah pertama, awalnya aku adalah seorang pemalu. Dengan biaya angkot seratus rupiah dan jatah biaya hidup perminggu sepuluh ribu rupiah, terasa sangat cukup buatku. Sebab, setiap pagi, untuk pergi ke sekolah pun, aku biasa berangkat bersama bapak dan kawan-kawan tentaranya, menumpang truk butut dari kantor. Yang penting setelah sekolah, ya pulang membantu orang tua di rumah. Istilah bapak, aku “anak rumahan”.

Pendidikan sekolah dasar di Ambon, terbukti membuat aku mudah mengikuti pelajaran. Peringkat 2 besar selalu ku dapat. Nah, kini perhatianku ku bertambah pada musik. Aku harus bisa memainkannya. Gitar? Bas? Drum? Apa ya??? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu datang saat malam datang. Aku jadi tak nyenyak tidur, tak kenyang makan.

Suatu saat, istirahat sekolah, aku dan seorang kawan melihat seperangkat alat musik dimasukkan ke ruang praktek sekolah. Aku tertarik, tapi hanya berani mengintip dari balik jendela kaca nako. Satu per satu alat itu ditata, lalu kemudian di coba. Wuiiiiihhhh…kelihatannya sangat menyenangkan!

Setiap hari, di tiap istirahat, selalu saja suara alat musik itu bergema, seakan memanggilku untuk mengelusnya. Setiap kali, hanya mengintip yang aku berani lakukan, maklum baru kelas satu, “penguasa” ruang praktek adalah kelas dua dan tiga. Penasaran!

Perhatianku sempat beralih ke karate, pramuka dan basket serta voli. Tapi tak lama. Sebab suatu ketika, di suatu hari minggu, saat merapikan peralatan pramuka di ruang praktek, setengah berani aku mengelus dan menunggangi drum. Baru itu saja, rasanya sudah selangit!

Hasil mengintip sekian lama, membuat aku sedikit mengerti ketukan dasar cara membelai drum. Pulang ke rumah, sapu lidi jadi korban untuk ku buat stick. Pintu ku tutup, mata ku pejam, tanganku menari.

Semakin semangat aku mengintip, semakin semangat aku ikuti ekskul di hari minggu, semakin semangat mengunci kamar, kupejamkan mata, semakin tenggelam dalam perjalanan anganku. Tapi pelajaran sekolah tak pernah luput, masih tetap aku kuasai.

…………………………………………………………

Naik ke kelas dua, aku terpilih jadi ketua kelas dan ketua koperasi sekolah. Selain itu, aku pernah terpilih mewakili sekolah dalam lomba sprint 100 m dan mengikuti Jambore Nasional Pramuka di Cibubur. Aktif juga di pencak silat Cimande, lumayanlah buat pengalaman. Tapi, prestasi itu sepertinya kurang lengkap bila tak juga aku bisa bermusik. Tak lengkap bila hanya bisa memainkan drum dengan stik sapu lidi dalam kamar tidur dengan mata terpejam pula. Belumlah lengkap bila tak punya band!

Suatu saat, dikumpulkan para siswa yang mengikuti ekskul musik, tentu aku termasuk. Pembimbing kami ngejam dengan beberapa siswa, siapa saja boleh mencoba. Wah, ini kesempatannya!

Pertama ku pegang stik drum asli, walau buatan lokal, rasanya ingin pingsan. Perlahan aku duduki kusinya, masih gemetar. Pertama memukul sneer, mau lari ke kamar mandi rasanya. Prek, aku harus PD! Koes Plus, lagu pertama yang kami mainkan, “Ke Jakarta Aku Kan Kembali” dari awal hingga akhir. Persis? Tentu tidak! Yang penting ketukannya masuk. Ahh, lega rasanya.

Setelah selesai, beberapa kawan mengusulkan untuk kumpul di kantin. Walau tak ada yang jualan, maklum hari minggu, kami tetap kumpul di sana. Tak lama, hanya sebentar, lalu kemudian pindah ke rumah salah satu kawan, biar lebih santai.

Setelah bicara cukup lama, di putuskan, Andre di vocal dan rhytm, Hari di lead gitar, Yahya di bass dan aku sendiri di drum. Kita lebih konsen pada Beatles. Latihan satu kali seminggu, dengan uang kas tercatat. Tapi, tak ada yang boleh mengetahui keberadaan band kami yang tanpa nama ini. Kawan sebangku, guru atau wali kelas sekalipun. Sepakat, aku pulang ke rumah membawa beberapa kaset copy-an dengan sangat bersemangat.

…………………………………………………………

Sekali setiap minggu, kami latihan. Mulai dari sewa studio biasa hingga mencuri kesempatan pada hari minggu saat ruang praktek dan sekolah tak ada penghuninya. Setiap selesai belajar, selalu kusempatkan mendengarkan kaset. Sampai jadi pengantar tidur pun tak jarang itu terjadi.

Suatu saat, di suatu pagi, ada inspeksi mendadak di sekolah. Seluruh siswa dikumpulkan di tengah lapangan. Ternyata ada razia, soal apa saja, mulai bacaan Nick Errow, Play Boy, Ko Ping Ho hingga ganja. Walhasil, hiruk-pikuk terjadi, seperti pasar malam. Aku santai saja sambil bercanda dengan yang lain.

Hampir satu jam itu berlangsung, hingga suatu ketika, samar-samar namaku dipanggil. Menyusul nama Andre, Yahya dan Hari. Gila, ada apa? Prek, aku santai saja tanpa ada rasa bersalah. Hampir bersamaan kami keluar dari kerumunan, saling memandang kosong, dan berjalan langsung menuju ruang Kepala Sekolah. Siswa yang lain kembali masuk kelas masing-masing dengan pandangan penuh tanda tanya ke arah kami. Selain Kepsek dan Wakepsek, di salam ruangan ternyata sudah menunggu Bu Dede, Wali Murid kami.

“Semua duduk!” tegas Kepsek.
“Apa ini?” Bu Dede menyambung sambil melemparkan sebuah buku ke atas meja depan kami.
“Kecil-kecil kalian sudah main PORKAS? Kenapa hanya nama kalian ada di sini? Catatan yang lain mana?” tambah Wakepsek tak putus-putus.

Sejenak kami berempat saling berpandangan. Sesekali saling balas menggerakkan alis, saling menunjuk yang lain agar mau bicara. Terus terang saja, aku ingin tertawa tapi tak berani.

“Ibu dan Bapak yang terhormat…ini bukan rekap PORKAS. Kami ini satu band dan ini catatan uang kas untuk latihan band kami,” Andre menjelaskan sambil tertunduk.

Kepsek, Wakepsek dan Bu Dede…???

Sambil berjalan perlahan keluar dari ruangan, kami menahan tawa. Lonceng istirahat tak lama kemudian berbunyi, tanpa dikomando kami langsung menuju kantin. Di sini akhirnya tawa itu tak terbendung, lepas! Terbahak! Terbongkar sudah band kami! Prek, maju terus pantang mundur!

Walhasil, suatu ketika Bu Dede bicara langsung pada kami berempat bahwa atas ijin dari Kepsek, kami diberikan kesempatan latihan terbuka di ruang praktek sekolah, setiap hari minggu. Bu Dede pun tak jarang membawakan camilan, mungkin sebagai “obat rasa bersalah”-nya atau bahkan pemberi semangat kami. Ahh, lega rasanya, apalagi tak jarang kami jadi bisa main dalam acara sekolah, apakah itu perpisahan kelas, sekolah hingga ulang tahun. Prek, tanpa bayaran yang penting puas!

Suatu saat, datang pengumuman lomba seni music, vocal grup, se-Jakarta. Band kami pun di libatkan, walau lebih banyak anak yang bergabung, walau akhirnya hanya juara harapan. Satu yang berkesan, salah satu dari yang bergabung adalah seorang gadis yang akhirnya jadi cinta pertamaku, Linda. Ia biasa saja, tak begitu cantik.

Sebenarnya, jauh sebelum itu, ada seorang gadis yang begitu berusaha mendekatiku. Hanya saja ternyata sahabat dekatku begitu pula berusaha mendekatinya. Ku lepaskan gadis itu demi seorang sahabat, Yusuf.

…………………………………………………………

Linda anak seorang pengusaha terkenal di sekitar wilayah tempat tinggalku. Tapi, bukan itu dasar hubunganku. Ia pendiam, aku suka. Kuning langsat, aku cinta. Ia sederhana, membuatku sayang.

Saat musik menjadi kesibukanku, aku tak juga pandai gitar, jadi alasan mendekati. Ku pinjam, baru lama kukembalikan. Adik perempuanku satu angkatan dengannya, jadi jalan memudahkan. Berlembar surat cinta sudah melayang melewati adikku.

Entah kapan, pagi masih buta waktu ayam jantan baru berkokok, aku sudah wira-wiri, di depan gerbang rumahnya. Dengan sepatu roda yang seharusnya untuk adik laki-lakiku, ku susuri aspal depan rumahnya. Satu dua kerikil ku lempar ke kaca jendela kamarnya. Tapi, saat suara sang bapak terdengar membentak, langkah seribu aku kayuhkan. Prek, sial!

Bioskop punya keluarganya jadi saksi masa pacaran kami. "Anak-anak Gass", salah satu film yang dibintangi Ria Irawan, masih ku ingat kita saksikan bersama. Walau tak selalu berdua, biasanya sekali sebulan aku pasti mampir di sana, tentunya tak selalu gratis bagiku.

Waktu itu, kami punya sebuah kesamaan dalam musik. “I got you Babe” (UB40) dan OST “Labamba”, sama-sama kami miliki. Ahh, sederhana saja, cukup indah!

Saturday, May 30, 2009

Masa setahun di Karawang

Cukup lama kami ditinggal tugas oleh bapak ke jawa, sementara kami tetap di Ambon. Tapi saat bapak kembali ke Ambon, tak lama kemudian ia naik pangkat jadi Mayor. Saat surat tugas untuk bapak datang, kami harus meninggalkan Ambon…

Hari masih pagi buta waktu kami berada di pelabuhan udara Patimura. Jaket aku pakai karena udara dingin menusuk tubuhku yang masih kecil. Detik-detik keberangkatan pesawat sudah terdengar dari operator...

Pandangan polos, tak mengerti apa-apa, itu yang tampak pada aku dan adikku. Sementara para kerabat yang mengantar keberangkatan kami memeluk menangis. Bolak-balik, ciuman mendarat padaku. Tak lama, mereka tak tampak lagi oleh ku saat kami memasuki tabung pesawat. Suara bergemuruh, pesawat take off, aku lalu tertidur.

Transit di Makasar, kami manfaatkan untuk sarapan. Matahari mulai terlihat di ufuk timur. Hanya sebentar, lalu terbang lagi.

Satu yang aku ingat, wajah bapak dan ibu sangat cemas saat getaran dalam pesawat semakin keras. Ikat pinggangku dan adik perempuanku dirapatkannya. Terdengar do’a-do’a dari penumpang lain. Entah do’a apa, tapi cukup ramai menggangguku. Sejenak kemudian keadaan normal kembali. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi, sepertinya tertidur lagi...

Aku dibangunkan ibu waktu roda pesawat sudah mendarat menyentuh bumi, ternyata Juanda sudah terlihat di balik kaca pesawat. Sebentar saja setelah bongkar muat, kami sudah dalam perjalanan ke rumah nenek di Lawang, Malang. Ia, single parent, karena kakekku sudah lama wafat, saat ibu masih kecil. Ia sendiri membesarkan sembilan anaknya. Ibuku anak pertama darinya.

Hanya beberapa hari kami di Malang. Walau sempat nyekar makam kakek di TMP Lawang, kami harus berangkat kembali. Tujuan berikutnya ke Karawang.

Ternyata, saat bapak di tanah Jawa dan kami di Ambon, bapak sudah mempersiapkan sebuah rumah kontrakkan di Karawang, walau kerja bapak sebenarnya di Jakarta. Ia pun diam-diam mengurus kepemilikan rumah KPR/BTN di Jakarta, semoga akan jadi rumah kami sendiri nantinya...

Tidak lama aku di Karawang, sekitar satu tahun kurang. Apalagi aku masih sering diajak ke Borneo dan Malang. Ternyata cukup susah adaptasinya. Bahasa Sunda menjadi sebuah masalah awal. Harus menggunakan sandal japit menjadi masalah kedua. Rasa makanan yang sangat berbeda menjadi persoalan berikutnya.

Mengurus segala surat pindah selesai, akhirnya aku kembali ke sekolah, meneruskan kelas enam SD dari Ambon. Bahasa Sunda kembali menjadi sebuah masalah. Ia masuk dalam syarat kelulusan! Untungnya pelajaran yang lain tidaklah berat. Atik, saingan terberatku, prek yang lain! Aku tetap masuk peringkat dua besar tiap semester secara umum.

Mengaji, menjadi kegiatan rutin setiap sore. Ke kantor bapak di bilangan Mestèr, Jakarta, menjadi kegiatan rutin satu kali seminggu. Aku lebih sering hanya berdua dengan bapak. Naik kereta KRD, pulang-pergi. Sekedar jalan-jalan atau membeli buku pelajaran.

Jambore pramuka tingkat nasional, ikut lomba matematika dan lomba melukis pernah ku lalui di Karawang. Lumayan, menambah pengalaman.

Saat tak terasa kelulusan menjelang…
Alhamdulillah……aku dinyatakan lulus!

Friday, May 29, 2009

Masa kecil di Ambon

Aku anak pertama sekaligus cucu pertama dari keluarga ibuku. Ambon tanah lahirku yang tak akan aku lupakan…

Aku lahir di Ambon dari ibu kelahiran Jawa dan Bapak kelahiran Kalimantan, membuat aku sudah menempuh perjalanan jauh. Kata bapak, waktu masih kecil, aku sudah sering di bawa ke Tanah Jawa dan Borneo, otomatis transit di Selebes. Kapal laut dan pesawat terbang adalah transportasi yang kami gunakan, masih murah waktu itu.

Adikku nomor dua perempuan, kami satu sekolah, jadi sering bersama. Adik nomor tiga, lahir prematur, belum saatnya sudah maksa keluar dia. Ia meninggal waktu masih bayi dan dimakamkan di Ambon. Kata ibu sangat mirip denganku kalau sampai saat ini masih bertahan hidup. Yang terakhir laki-laki, saat kecil dia lebih sering di tanah Jawa bersama nenek dari ibuku.

Ibu membawa serta adiknya, mereka aku panggil Tante Pipit dan Tatik. Sampai saat ini, Tante Tatik masih berdomisili di Ambon. Pinky, anak Tante Tatik, sudah besar, sudah menikah dengan dua anak. Dea, adiknya, juga tak terasa sudah dewasa, sudah punya satu anak. Sedang Tante Pipit sampai saat ini berdomisili di Malang, dekat saja.

Tak banyak yang ku ingat saat masih bayi dulu, tapi menurut cerita ibuku, tak senang aku pada yang namanya ASI, bila dipaksa malah gumoh, muntah-muntah. Yang kusuka malah susu instant. Kecuali saat bulan-bulan pertama, mungkin karena tak hobi ASI, aku tak gemuk, kurus sekali, hitam lagi. Yang masih cukup teringat adalah mulai usia sekolahku. TK, aku relatif nakal, tapi cukup bertanggung jawab.

“Ibu guru, saya mau pup,” kataku memelas penuh harap pada guruku.
“Iya, bisa ke WC sendiri?” tanya beliau.
“Bisa bu!” jawabku semangat.

Tapi yang terjadi, belum lagi aku berjalan 5 meter, “kotoran” itu sudah menggantung. Prek, aku diam saja, tak malu, tak bilang apa-apa. Di WC, sambil buang air besar, celana yang kotor ku cuci sebisanya dan ku peras, maklum masih anak-anak. Aku kemudian berjalan biasa saja saat kembali ke kelas.

“Andreas, kenapa celanamu basah?!” tanya bu guru dengan muka bingung.
“Telat bu, keduluan keluar….,” jawabku santai lalu kembali duduk.
Ibu guru…!!!!????

Satu lagi yang masih kuingat adalah bekas “perang” dengan kawan TK. Sepertinya “cacat seumur hidup” baginya. Bekas “silang,” terkena sudut meja, tak akan hilang dari jidat kawanku. Rahasia itu kami pendam, sampai sekarang.

…………………………………………………………

SD, aku melanjutkan sekolah dasar satu yayasan dengan TK, Xaverius. Frather, menjadi salah satu pengajar yang sangat berpengaruh, untungnya beliau sangat bijaksana. Lain dengan guru-guru biasa, “killer man”!

Dalam satu minggu, hampir selalu ada yang namanya “hari hukuman”. Bukan untuk perorangan tapi untuk satu kelas. Maklum, walau masih kecil, kami sudah mengerti arti “kompak”. Jangan kaget kalau pulang sekolah tampak goresan bekas rotan di paha-paha kami, biasa.

Disiplin mungkin memang jadi pilihan masuk di sekolah ini. Tapi, terbukti bahwa jebolan sekolah ini sangat bersaing dibanding yang lain. Rata-rata peringkatku pun tak lebih dari 3 besar. Dulu, matematika dan bahasa jadi favoritku. Sepak bola jadi pilihan olah ragaku.

…………………………………………………………

Ayahku seorang tentara sedang ibuku seorang ibu rumah tangga yang otomatis ikut sibuk di lingkungan ibu-ibu tentara, persit. Rumah kami barak, satu diantara 10 petak yang masing-masing terdiri dari lima unit. Kalau ingin ke tetangga sebelah, tak perlu aku lewat pintu depan. Biasanya aku hanya melompat dari ruang tamu kami. Kalau malam tak bisa tidur atau sedang marah kepada orang tuaku, itu juga yang ku lakukan. Saat tersadar besok pagi, aku sudah di sebelah.

Saat bermain tak ada yang namanya sandal japit. Bila tak ada acara "formal" dengan keluarga, hanya kaki tanpa alas yang menemaniku ke mana-mana. Hingga pernah suatu saat aku berjalan bersama empat kawan sekitar tiga kilometer untuk rasa ingin tahu yang namanya mencari ikan. Karang Panjang, tujuan kami, daerah dataran tinggi tempat berdirinya patung Christina Martha Tiahahu, yang kata orang, banyak ikannya. Dapat, masing-masing satu ekor.

Waktu kembali ke rumah, bapak sudah menunggu dengan “kopel” dan rotan di tangannya. Tak perduli ikan yang dengan susah payah ku dapat, tak perduli juga kopel dan rotan mendarat di tubuh. Kuingat selanjutnya, sudah di dalam kamar mandi yang dikunci dari luar, basah kuyub!

Kerasnya pendidikan di keluarga bukan hanya aku yang rasakan, adikku perempuan juga, rata-rata semua anak tentara juga pernah. Kopel, sepatu lars dan rotan jadi biasa. Prek, biasa saja bagiku!

…………………………………………………………

Aku dan adik-adik sering diajak ke acara bersama para tentara. Kami sering juga mengisi, mulai acara lomba permainan, menyanyi hingga menari. Ibuku pun tak mau kalah. Fashion show dan menyanyi jadi pilihannya. Hadiah-hadiah, walau sederhana, membuat hati kami sangat senang.

Satu yang aku ambil hikmahnya, mulai dari kecil kami sudah dibiasakan punya kemampuan banyak. Bapak selalu membuat sesuatu dengan kemampuannya sendiri. Mulai dari lemari hingga kursi. Melukis dan seni musik, bapak turunkan buat aku. Tak bosan ia memberikan pengetahuan cara menggambar dan bermain gitar, walau si gitar masih dari pinjaman tetangga. Sedang ibu membuat aku lebih mengerti arti “rasa” dalam seni dan pergaulan.



…………………………………………………………

Selain bermain di sungai air tawar bersama morea di daerah Waitatiri dan naik feri dari Galala ke Poka, laut merupakan salah satu unsur dalam hidup yang tidak akan pernah aku lupakan. Natsepa, pantai yang selalu membuat hati rindu. Pantai landai dengan pasirnya yang putih. Air laut yang bersih jernih dengan warna gradasi biru walau kadang pula hijau.

Para penjual rujak sangat tradisional bersatu dengan lingkungan yang asli, asri. Sampai di tanah Jawa sekalipun, rasanya tak ada duanya. Dengan kebaya asli Maluku, merah kombinasi putih. Rambut “pata mayang”.

Hampir mati aku waktu belum bisa berenang. Terbawa ombak ke tengah, tak ada yang menolong. Memaksa aku untuk menggerakkan tangan dan kaki, timbul tenggelam. Namun, tak berapa lama, gaya “katak” jadi juru selamatku. Aku bisa…Natsepa jadi saksi!

Menyelam tanpa kacamata lalu jadi hobiku. Bermain dengan ubur-ubur, bercanda dengan ular laut dan teripang. Membawa pulang bintang laut selalu jadi oleh-olehku. Ku jemur diatas atap seng, walau akhirnya harus dibuang karena membusuk. Kadang ikan laut hias juga jadi buah tangan, tapi tak lama bertahan. Maklum tak cocok dengan air garam buatanku...
…………………………………………………………

Barak, tak ada pagar pembatas khusus dengan kampung sekitar. Tak ada pos jaga yang harus dilapori untuk masuk wilayah hunian kami. Tetangga barak dan kampung sudah seperti keluarga, walau datang berganti. Aku jadi banyak kenal orang, semoga orang banyak juga kenal aku.

Suasana kekeluargaan itu bertambah saat datangnya hari besar, hari raya. Saat Idul Fitri, saat kami selesai tunaikan sholat dan beranjak pulang, para penganut agama lain yang kami kenal sudah menyambut di depan rumah, mereka sepanjang jalan. Natal, tak beda, kami menunggu di depan pintu. Bersalam-salaman, berpelukan hingga menangis.

Melihat kenyataan sekarang, hatiku miris, aku ingin menangis. Seperti apa makam adikku? Seperti apa Ambon sekarang? Bagaimana Natsepa? Karang Panjang?