Friday, June 5, 2009

Hidup di Malang

BEJO

Bejo, nama itu muncul sebagai panggilanku saat memulai hidup baru, hidup di Malang. Nama itu memiliki arti yang sangat dalam, sebagai rasa syukur sebab aku sangat “beruntung” dapat dengan selamat melewati kisah hidup seperti sebelumnya.

Walau sejak dulu telah bolak-balik, secara resmi aku menjadi penduduk kota Malang sekitar tahun 1993 akhir. Beralamat di Lawang, kabupaten Malang bagian utara, aku tinggal bersama nenek. Sebentar saja, aku lalu pindah bersama Tante, adik dari ibu, di Tidar, kotamadya Malang bagian barat.

Saat menunggu masa kuliah dimulai, aku mengikuti beberapa kursus komputer. Mulai dari dasar hingga tingkat menengah. Lumayan, jadi lebih mengerti, jadi punya sedikit kemampuan lebih dan yang pasti punya beberapa lembar sertifikat yang siapa tahu suatu saat dapat kugunakan mencari kerja.

Lalu saat kuliah datang, berbekal surat transfer dari Jakarta, aku diterima untuk meneruskan kuliah jurusan teknik arsitektur di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang.

Pada awalnya ada sedikit rendah hati, walau ibu seorang jawa asli, aku seperti terasing di antara orang banyak yang berbahasa jawa. Hampir setiap malam, kudengarkan lawakan berbahasa jawa dari radio, walau pada awalnya lebih banyak tak kumengerti. Untung hanya sebentar saja, aku temukan kawan-kawan yang tak pamrih ajari aku itu. Beberapa kali ku praktekkan, beberapa kali pula ku ditertawakan. Sial, ternyata “bahasa jorok” yang mereka ajarkan. Prek, setan alas, hantu belau!

Soal pendidikan, ternyata bekal dari Jakarta sangat membantu. Aku berada di atas rata-rata. Seperti di Jakarta, pada kuliah di Malang pun aku lebih konsentrasi pada konsep, perencanaan dan warna, selain perspektif yang tetap menjadi andalanku. Tak sedikit kawan yang membutuhkan pengetahuanku itu. Tak sedikit pula yang akhirnya memberikan sekedar “uang lelah”. Bukan hanya kawan setingkat, adik kelas dan bahkan kakak kelasku pun akhirnya menghubungiku. Pernah beberap kali kerja sampingan, disain sebuah bangunan pemerintahan dan pameran interior aku kerjakan. Aku sangat menikmati itu!

…………………………………………………………

SALAH PILIH LAGI!

Suatu waktu, saat lebaran tiba, aku kembali ke Jakarta. Entah bagaimana awalnya, Dian kembali dalam otakku. Beberapa kali kuhubungi, kami “jalan bareng” kembali. Saat harus balik hidup di Malang, walau jarak memisahkan, ia selalu jadi motivasiku. Hampir seluruh keluarga mengetahui itu. Hampir seluruh keluarga mengerti itu.

Tapi, entah kapan dan mengapa, ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Mungkin tak tahan dengan jauhnya jarak. Mungkin tak tahan dengan hasrat yang ingin selalu dekat. Prek, aku frustrasi!

Saat hati terus dirundung resah, saat tak ada kawan diajak bicara, saat tak ada pertimbangan yang bisa kuterima dan saat setan datang menggoda, aku membuat sebuah pilihan yang salah.

Kenapa aku tak memilih mencari penggantinya? Kenapa aku tak memilih mati saja? Kenapa aku harus memilih kembali ke jurang narkoba? Prek, kunikmati saja pilihan itu!

Awalnya, alkohol jadi pilihan, dengan sebuah pembenaran bahwa Malang kota yang dingin. Lalu ganja dan barang haram lain masuk ke setiap sudut pembuluh-pembuluh nadiku. Aku tahu itu salah. Prek, tetap saja kunikmati itu!

Saat beberapa kali ketahuan, bisa-bisanya ku buat “cerita” sebagai pembenaran-pembenarannya. Tak terasa berat badanku turun drastis, wajahku pucat dengan mata cekung menghitam. Walau sadar, seperti mayat hidup ragaku dan hatiku kosong tak berisi, “lembur tugas” tetap jadi andalan alasanku sebagai sebuah pembenaran.

Saat seorang kekasih datang, tak nampak ia “cantik”, tak perduli aku. Saat kemudian harus berakhir kisah “cinta” itu, datang lagi dan walau berakhir kembali, tetap saja aku tak perduli.

Saat, harus kembali ke Jakarta, walau hanya dalam waktu yang sempit, tetap kusempatkan untuk membawa “oleh-oleh” itu ke Malang. Saat tak dalam sadar yang penuh, di salah satu sudut timur Jakarta, jejakaku hilang! Prek, tak ada sesal, tetap saja kunikmati itu!

Buatku, yang penting masih ada “barang” yang bisa tentramkan hariku, malamku, kesendirianku. Tak ada yang tahu dan tak ada yang perlu tahu. Kembali pembenaran-pembenaran hasil ciptaanku sendiri berkuasa.

Prestasi belajarku menurun drastis! Semakin aku terpuruk! Semakin dalam aku memilih untuk tenggelamkan diri pada “barang-barang” bejat itu!

…………………………………………………………

KAWAN LAMA, APA KABARMU?

1995, aku bertemu kawan lama! Kawan-kawan yang sudah sekian tahun tak kuketahui kabarnya. Sahabat-sahabat yang sudah cukup lama kehilangan kabarku.

Slank! Para anak muda militan, “sléngéan”, yang selalu protes pada kenyataan. Para sahabat yang berani muncul dengan tampilan berbeda dengan generasi saat itu. Para sahabat yang menyuarakan isi hati apa adanya!

Mereka menggugah hatiku sejak duduk di akhir sekolah menengah atas. Dari awal yang cuma lewat dengan pacar, kemudian mampir, hingga saat kuliah di Jakarta yang akhirnya membuatku semakin dekat. Walau dalam hati kusimpan kesan mendalam, aku sadar diri, aku bukan siapa-siapa, hanya sekedar kawan biasa bagi mereka. Saat dulu putus cinta pun, Potlot tetap jadi tujuanku sekedar hilangkan penat di kepala.

Tak kusangka kini mereka di depan mata. Tak mereka sangka aku kini hidup di Malang. Rindu yang akhirnya terobati! Cerita apa saja, bercanda apa saja, curahkan apa saja.

Tapi, mereka bukan lagi mereka yang dulu. Mereka kini punya “sejuta umat”! Aku termenung saat sepintas menatap ke luar, ke orang banyak yang mungkin tak seberuntung aku, ke orang banyak yang mungkin lebih berhak daripadaku. Sangat disayangkan, tak semua dapat bertemu sahabat-sahabatku.

Lalu tercetus sebuah “ide”, begitu saja! Spontan saja! Untuk mewadahi mereka dalam sebuah organisasi yang sederhana sekalipun di kota Malang. Kami buat sebuah komit, lisan saja, untuk mulai mencoba bergerak!

Perlahan menikmati waktu, kucoba wujudkan komit itu. Sambil menikmati hari, perjalanan Malang-Jakarta atau sebaliknya, mulai saat itu jadi lebih punya arti. Aku jadi punya tanggung jawab moral! Aku jadi punya kesibukan baru yang perlahan membuatku mengurangi mengkonsumsi narkoba.

Jujur, kadang masih kusentuh ganja dan alkohol. Tapi paling tidak semua itu sudah jauh berkurang dan paling tidak tak ada lagi jarum suntik, pil dan “bubuk putih”.

Kesibukan baruku sangat membuatku bersemangat. Jadi lebih banyak kenal orang! Jadi lebih banyak punya teman! Jadi lebih banyak punya kawan! Jadi lebih banyak punya saudara baru!

9 Nopember 1997, secara resmi, Slank Fans Club Malang berdiri, eksis di Negara Kesatuan Republik Indonesia! Bersama, mencoba membuat sesuatu hal yang positif untuk pribadi dan negara. Bersama, mencoba membangun generasi muda.

God, please help me... Always try to make world better and green with love and peace... (Thank’s Mas Bim, to understand and make me still have that spirit)

…………………………………………………………

STOP NARKOBA!

Saat semakin banyak teman, kawan dan sahabat datang, saat cinta juga datang dan pergi, saat tanggung jawab di pundak semakin terasa, aku memilih untuk hidup sendiri. Dua rumah yang kemudian menjadi tanggung jawabku, menjadi saksi perjalanan hidup bahwa aku harus lebih dewasa dan bijaksana dalam memilih jalan hidup. Satu persatu, pelan-pelan saja kunikmati itu.

Sebagai awal, ku cari teman, kawan dan sahabat. Walau akhirnya tak sedikit yang hilang kembali atau bahkan berhianat, aku tak perduli. Aku masih tetap di sini dengan semangat yang semoga saja tak akan pernah hilang.

Saat cinta datang, kuterima walau sesederhana dan serumit apapun latarbelakangnya. Satu niatku, bila itu dapat membuatku lebih berarti dan lebih baik, aku tak perduli alasan darinya mengapa ia datang.

Saat pendidikanku tak juga selesai walau hanya sejengkal lagi, walau telah beribu kulakukan, aku tetap saja berusaha walau dengan sedikit sisa motivasi.

Saat kemudian orang banyak bilang kita masuk sebuah tahun melenium, saat tubuh dan jiwa ini sudah letih akan pengaruh napza, tepat menjelang detik-detik akhir tahun 1999 aku membuat sebuah pilihan.

Masuk 2000, aku memilih untuk berhenti menggunakan narkoba! Tak ada yang memaksa, tak ada yang mempengaruhi. Tak ada yang kemudian akan berkata bahwa mereka yang membuat itu terjadi padaku. Karena ku yakin bahwa orang terdekat dan tersayang sekalipun tak akan perduli itu.

Hidup adalah pilihan, maka itu pilihanku sendiri! Sederhana saja! Itu saja! Thank’s God...

…………………………………………………………

CINTA?

Sekitar tahun 1998 aku mengenalnya. Awalnya berjalan saja seperti kawan biasa pada umumnya. Walau akhirnya aku berpisah dengan kekasihku sebelumnya, pada dasarnya ia tahu aku sudah ada yang punya. Tanpa komit seperti pada umumnya sebuah hubungan, satu kalimat awal yang tetap akan jadi ingatanku, “dia jual, gue beli”, membuka cerita perjalanan hidupku tentang cinta yang cukup lama kujalani.

Dengan orang tua yang jauh di ujung barat Tanah Jawa dan dengan segala kebebasan penuh yang aku genggam saat itu, “American style” lalu jadi pilihan hidupku dengannya. Semua terjadi begitu saja, dari yang dapat dibayangkan hingga yang tak terbayangkan sekalipun. Gila, sangat naif diriku!

Seiring semakin kukenal banyak orang, seiring itu pula orang banyak kenal dia. Itu hal yang sangat biasa, menurutku. Tapi saat di belakangku, akhirnya cukup banyak cerita “miring” yang kudengar, dari orang banyak itu pula, tentangnya. Prek, aku tak perduli kata orang! Gila, sangat naif diriku!

Yang penting bagiku, aku masih tetap berdiri di sini dan tetap lebih memegang teguh komitku pada Generasiku! Tak salah bila pilihanku itu sering menjadi masalah buatnya. Beberapa kali pisah walau akhirnya ia kembali, lalu jadi masalah lagi. Aku tak perduli, sampai kapanpun, tak mungkin ku lepas dan lupa komit pada Generasiku itu!

Saat sudah terlalu jauh ia “menggganggu”, dengan emosional, tanpa memikirkan akibatnya untuk Generasiku, ia menciptakan “cerita”. Sekali ku tanya “apa itu cinta”, ia tak mengakui. Dua kali kutanya “apa itu cinta”, tak juga ia mengakui. Lalu saat datang bukti, tak bisa ia berkata-kata! Prek, aku akhiri saja cerita tentang dia!

Saat di kemudian hari pula terdengar kalimat bahwa sekian lama aku hanya “manfaatkan tubuhnya”. Apa itu cinta? Wajarkah bila kutanya balik, “Bila demikian halnya, bukankah berarti tubuh ini juga sekian lama hanya ia manfaatkan?”

Ah, prek! Sudah berulang aku hadapi hal seperti itu! Sudah terlalu letih raga dan jiwaku! Biarlah semua yang lain kupendam sendiri. Biarlah nurani mencari jawabnya sendiri. Sebab ku yakin, walau tak lagi ku punya materi, aku masih punya “cinta” sebenarnya, aku masih punya nurani!

…………………………………………………………

DI MANA ARTI SAHABAT? SAUDARA?

Masih kuingat saat seorang teman menjadi kawan. Lalu seorang kawan menjadi sahabat. Kemudian seorang sahabat kuanggap saudara. Saat keluarganya terasa begitu dekat, teringat aku dulu pernah seperti tak punya saudara dan tak pernah diberikan kesempatan. Saat tak lagi hanya tangan dan kaki yang bisa aku berikan, bahkan kepala ini tak berat aku korbankan.

Saat walau hanya terucap lisan, komit untuk maju bersama, tempat ini tempatmu juga! Saat ada kesempatan untuk mencoba merubah sesuatu menjadi lebih baik, rumah ini rumahmu juga!

Saat cerita dari hati ke hati hanya menjadi “rahasia” berdua, tak akan terucap untuk sahabatmu, saudara kandungmu, bahkan keluargamu sendiri, selalu teguh kusimpan dalam-dalam. Saat lapar datang dan tak juga kita bisa makan dari piring yang sama. Saat dahaga datang dan tak juga ada setetes air untuk dapat kita minum dari gelas yang sama. Saat tangis dan tawa hadir menghias hari, waktuku ini untukmu! Jiwaku ini untukmu!

Lalu, entah apa sebabnya...
Kenapa kamu langgar janji untuk menjaga “rahasia” kita itu? Kenapa kamu mengambil semua itu untukmu sendiri? Kenapa tak kau ijinkan lagi aku berjuang bersamamu lagi? Kenapa kamu selalu berteriak, kalau bukan karenamu tak ada semua keberhasilan itu? Kenapa kamu selalu berkoar, semua keberhasilan itu hanya karena dirimu semata?

Apa salahku?
Sungguh, sakit rasanya seorang sahabat “berkhianat” seperti itu! Menusukku bertubi-tubi dari belakang! Tak ingatkah tangismu dulu? Tahukah kamu, walau hanya sebagian kecil saja, tetap ada ada “hak” dari generasimu yang lain di situ? Kenapa bicara tak lagi punya arti? Apakah itu arti seorang “sahabat” yang sudah ku anggap “saudara”? Di mana nuranimu?

Aku tahu, aku tak punya materi. Walau sementara prinsipku “yang penting masih survive”, terus semangati aku untuk berusaha tetap bertahan hidup. Walau kembali aku harus merangkak dari dasar, tak malu aku lakukan itu! Walau tubuh dan hati ini penuh luka karena berkali kau injak harga diriku, yang pasti aku selalu punya keyakinan, benar adalah benar!

Ah, prek! Sudah terlalu letih raga dan jiwaku! Biarlah semua yang lain kupendam sendiri. Biarlah nurani mencari jawabnya sendiri. Sebab ku yakin, walau tak lagi ku punya materi, aku tetap masih punya nurani!

God, please help me... Always try to make world better and green with love and peace... (Thank’s Mas Bim, Slank, Bunda, to understand and make me still have that spirit)
…………………………………………………………

AKHIRNYA KUTEMUKAN DIA!

Pertama ia datang waktu hari sudah gelap, mengantarkan sahabatnya mencari alamat fans club. Aku bertemu dengannya di rumah, setelah hadiri sebuah acara, sudah hampir pukul 12 malam. Pertama ia ku kenal, biasa saja.

Saat suatu malam, waktu dia temani aku bekerja untuk generasiku, percakapan kecil terjadi. Saat kemudian cerita saling berjawab, tak sadar semua terungkap dengan jujur, tak ditutupi.

Aku jujur tentang hidupku. Tentang perjalananku, suka duka yang telah kualami dan kulewati. Tentang kisah cintaku. Tentang mimpi-mimpiku. Tentang prinsipku. Tentang pengabdianku. Tentang Generasiku. Pada dasarnya, aku adalah “produk pilihan hidupku”!

Ia juga bercerita tentang suka duka hidupnya. Tentang lingkungan, tanggung jawab dan pengabdian profesi pendidikannya. Tentang orang tua dan keluarga besar yang tak lagi perduli. Tentang latar belakang kisah cintanya. Tentang mimpinya. Tentang protesnya. Tentang prinsipnya. Ia bukan “dari tong sampah” seperti kata orang. Pada dasarnya, ia masih survive walau di besarkan dan dibentuk oleh kenyataan yang pahit akan hidup!

Aku tak tahu kenapa aku jadi punya keyakinan, ada hasrat, ada “feeling”. Aku jadi berani untuk ungkapkan, “...aku bukan lagi mencari pacar, tapi aku mencari seorang istri. Bersediakah kamu?”

07 Juli 2007, seperti gayung bersambut, kami mulai berjalan bergandengan tangan.

Tak ada hal romantis yang dipaksakan. Tak ada janji manis terucapkan. Berdasar saling jujur, itu saja, singkat saja!

…………………………………………………………

MENATA HIDUP!

Aku jadi punya motivasi kembali. Aku merasa semangat untuk hidup kembali. Dalam kesendirian, aku berfikir tentang apa yang harus aku lakukan. Rencana hidup yang harus diwujudkan...


AB!

Hanya dengan beberapa foto lama, aku kabarkan ini pada keluarga, tentang seorang yang hadir dan menjadi api semangat hidupku lagi. Apapun dia, siapapun dia! Tak ketinggalan, ku kabarkan juga pada sahabat-sahabatku di Potlot. Ku ungkap juga niat untuk selesaikan pendidikanku. Tenyata, sudah sekian lama mereka berharap dan menunggu kabar seperti ini. Tak ku sangka, ternyata begitu cepat mereka merespon positif.

Aku harus selesaikan pendidikanku yang tinggal sejengkal lagi. Ku urus sendiri semua syarat administrasi untuk pindah kembali. Walau terbayang wajah para dosen yang sentimen pribadinya sangat mengganggu dan menghalangi jalanku, terbayang pula wajah para dosen yang sudah lama sangat membantu, mendukung dan memberiku semangat.

Ku buka kembali berkas-berkas lama yang tak tersentuh, di bawah tumpukan-tumpukan berdebu yang terlupakan. Tugas akhirku yang merana, rindu untuk kubelai, akhirnya kembali kuajukan. Walau draft awal sudah selesai, tetap saja kembali kulalui perkuliahan. Kulewati asistensi, coret sana, coret sini. Ganti sana, ganti sini. Prek, kunikmati saja, mencari file-file yang dulu hanya setengah jalan, kususun kembali, kutata kembali, kurangkai kembali!

Dia selalu setia menemaniku, merawatku, mengerti dan mendukung jalan yang kupilih untuk kulalui itu. Saat letih datang dan tertidur dalam dudukku, dia datang menyelimutiku. Saat dingin datang, tak kan lupa ia suguhkan secangkir kopi pahit kegemaranku. Tak ku minta, sepiring nasi hangat dan tempe bersambal pedas sudah ada di sampingku.

Masih kuingat, suatu saat, waktu semua hasil kerjaku, semua usaha dari pagi, siang, malamku dan pagi lagi, hilang entah mengapa. Masih kuingat saat emosi dan marahku tak terbendung. Saat sumpah serapah dan makian lepas begitu saja padanya. Dia hanya menarik nafas dalam, sabar menerima, lalu tersenyum sambil menyodorkan kopi panas buatannya padaku. Dia membuat hatiku tentram kembali.

Akhirnya, setelah sekian tahun terbuang percuma waktuku, setelah sekian lama perjuanganku, masih ku ingat perjalanan menuju waktu persidanganku. Di suatu saat, waktu hujan deras datang mengganggu dan tak tampak lagi jalan di depanku. Saat akhirnya terduduk sebentar berbasah air hujan, menunggu detik-detik giliranku digelar. Walau segala macam do’a sudah kupanjatkan dan segala restu ku mohonkan, tetap saja gelisah akhirnya datang. Ia hanya mengusap wajah kuyupku, lalu semua resah yang timbul dan tenggelam itu hilang begitu saja.

Dia mencium dalam-dalam tangaku yang dingin sekedar memberi hangat dan semangat, saat aku kemudian berjalan setelah sebentar memejamkan mata dan menarik nafas panjang. Ruang terasa begitu sempit, berbatas gelisah yang terdengar keluar dari degub jantungku. Walau gerakku terbatas, perlahan mulutku terbuka, lembar demi lembar kujabarkan dan sesekali pula keringat kuseka.

Terasa begitu lama waktu berlalu, walau akhirnya aku harus melangkah keluar. Ragu menyelimuti otakku, pikiran buruk datang penuhi perasaannku. Dia tetap setia menemaniku, menatapku dengan penuh kehangatan. Menyodorkan secangkir kopi panas yang dia bawa dari rumah. Ahh, sungguh sangat tentramkan aku.

17 Desember 2007, 16:00, saat kemudian namaku terdengar disebut, semakin kencang jantungku berdebar. Saat kemudian sebuah lembar terakhir kusingkap, tertulis......AB! Aku LULUS!

Kupanjatkan do’a berulang kali, do’a-do’a apa saja pada Sang Pencipta! Lemas rasanya raga ini, tak kusangka ragu hilang begitu saja. Kucium keningnya, kupeluk erat tubuhnya! Kukabarkan pada dunia! Kukabarkan pada keluarga! Ku kabarkan pada sahabat! Ku buka pakaianku, bertelanjang dada, sebagai pelaksanaan nadzarku, rasa syukurku! Tak perduli hujan yang tak kunjung reda, tak perduli jalan macet yang tak berkesudahan! Kunikmati itu semua, detik demi detik!

Beberapa hari kemudian, rasa suka itu seperti hilang. Saat datang sepi, sendiri, pikiran datang mengganggu, ...semua usaha dan keberhasilan itu tak ada artinya bila tak ada “pembuktian”. Dan, “pembuktian” itu sangat membutuhkan biaya.

Setelah merenung, aku akhirnya harus merelakan, melepas pergi “drum” kesayanganku! Drum itu hasil kerja kerasku sebelumnya, hasil memeras keringat setelah sekian lama, perwujudan obsesiku yang ingin rasanya selalu ada di tiap hariku. Pernah pula ia kubawa ke Jakarta, selain selalu temani aku berkeliling dari café ke café di seluruh pelosok Malang Raya. Dengan menahan air mata harga diri sebagai laki-laki, kusembunyikan sedih itu dalam-dalam. Ahh, maafkan aku sayang! Prek, semoga suatu saat nanti datang rejeki, bisa ku peluk kembali kamu!

30 Desember 2007, akhirnya “pembuktian” itu dapat kujalani, tentu saja orang tua, keluarga dan kekasihku pun menghadiri acara tersebut. Walau tampak letih di wajah mereka setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tapi akhirnya rasa bangga melihat aku di depan sana, menggunakan toga! Sebuah gelar Sarjana Teknik Arsitektur dalam genggamanku!




Cincin Di Jari Manis Kiri

31 Desember 2007, aku melangkahkan kaki bersama keluarga menuju keluarga besar kekasihku di Tulungagung. Kami diterima dalam suasana yang sederhana saja, apa adanya.

Setelah beristirahat sebentar, basa-basi kata pembukaan, Bapak dan Ibuku akhirnya mengutarakan niat kedatangan kami, pihak keluarga kekasihku pun menerima dengan lapang dada. Lalu, sebentar saja, dua cincin sederhana sudah mendarat di masing-masing jari manis kiri kami.

Ahh, lega rasanya kembali ke Malang. Tahun itu akhirnya dapat ditutup dengan sebuah “perubahan”. Tapi, Bapak dan ibu, serta adik dan keponakanku tak lama di Malang, mereka harus kembali ke Jakarta. Suasana itu begitu mengharukan, tapi hidupku pun menjadi terasa lebih berarti.


Penuh Cobaan

Aku dan kekasih membuat rencana dan melakukan perubahan yang bermula dari lingkungan tempat tinggal kami sendiri. Tapi, niat baik itu ternyata penuh cobaan!

Walau telah kubicarakan sebelumnya, duduk bersama berbagi cerita dan bertukar pendapat, seakan percuma. Teman, kawan bahkan sahabat yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri seperti tak menerima itu. Bahkan sempat terungkap, mereka inginkan aku kembali seperti dulu, tetap seperti jaman “nakal” dulu. Mereka tetap salahkan aku, salahkan kekasihku! Mereka menikam dari depan, samping bahkan belakang! Bertubi-tubi!

Usahaku hancur lebur! Produktiffitasku mandeg!
Belum lagi “kekasih lama” yang ikut memperkeruh suasana! Hidup kami menjadi sangat memprihatinkan. Walau begitu tetap saja, tak bosan mereka menikam dari depan, samping bahkan belakang! Bertubi-tubi!

Apa salahku?
Apakah salah, kami memilih untuk hidup pada jalan yang lebih baik, jalan yang benar?
Di mana arti sahabat? Saudara?

Hidupku seperti “mati suri”! Terbaring di dalam kamar, hari-hari jadi penuh dengan menyalahkan diri sendiri! Menyalahkan keadaan! Menyalahkan kenyataan! Banyak pertanyaan di kepala yang tak mendapatkan jawabannya. Hampir tiga bulan aku mengalami tekanan berat itu!

Saat kemudian kekasih memberikan sebuah pilihan jalan, aku terhentak! Semangat darinya membuat aku perlahan berani merangkak dari bawah lagi. Mencoba untuk membangun rasa percaya diri kembali atau sekedar membuat aku memiliki kesibukan. Sesekali terbesit, mungkin ini “karma” yang harus aku tanggung akibat kesalahan-kesalahan masa laluku! Prek, dengan sisa asa, kucoba bangkit kembali!

Lingkungan yang masih “kotor” perlahan kami bersihkan. Walau tetap didahului dengan duduk bersama, walau perlahan, tak ada lagi kata ragu untuk singkirkan yang tak mau berubah menjadi lebih baik!

Aku ingin hidup “bersih”! Aku ingin hidup normal! Jangan halangi aku!


Sah!

Tak terasa hampir setahun berlalu, saat muncul niat lebih. Dalam sebuah keprihatinan, terungkap niat untuk “menikah” sebab semoga dengan itu perjalanan hidup menjadi lebih baik. Waktu beberapa kali bergeser, tanggal beberapa kali berganti, walau akhirnya ditetapkan.

Dengan sisa asa, kukumpulkan semangat hari demi hari. Pagi, siang, malam dan pagi lagi, kulalui dengan kerja. Akhirnya semua syarat terpenuhi. Walau tak mampu kusebarkan selembar “undangan”, tetap kumohonkan restu dari semua teman, kawan dan sahabat.

25 Desember 2008, 20:15, Desa Karangsuko, Kabupaten Trenggalek jadi saksi, akhirnya terucap dari mulutku yang bergetar...“Saya terima nikahnya...”. Sah!

Alhamdulillah.........seakan semua beban terlepas! Terimakasih untuk semua teman, kawan dan sahabat yang sudah kuanggap saudaraku sendiri! Mohon maaf atas semua kesederhanaan, sebab hanya itu yang bisa kami berikan...

Mulai Dari Awal Lagi?

Jauh hari sebelum ada niat menikah, saat pertama kukenalkan kekasih secara langsung bertatap muka, Bunda sempat mengeluarkan isi hati, “Alhamdulillah, akhirnya kamu dapat pilihan yang baik Jo. Sebenarnya sudah lama Bunda pernah bilang, kenapa Jo, apakah tak ada wanita lain?” Ternyata perasaan itu walau telah lama, masih ia ingat dan pendam (maafkan aku Bunda, mungkin baru sekarang kudapat jodohku). Ia juga berpesan, “Bila menikah, kalau bisa jangan bersamaan dengan kegiatan kami ya Jo”. Sungguh, tak pernah kumimpi lebih, selain do’a restu Bunda dan Slank.

Sebagai rasa syukur, beberapa anggota BP (Bidadari Penyelamat) Malang aku kumpulkan. Acara syukuran kecil atas pernikahanku, sederhana saja. Sempat dibahas pula kemungkinan bila rombongan dari Jakarta mampir, sebab kebetulan bersamaan dengan waktu itu, posisi mereka ada di Malang.

27 Desember 2009, 11:30, Slank dan rombongan akhirnya benar-benar mendatangi kediamanku, mampir di Slank Fans Club Malang. Walau rata-rata baru pertama kali bertugas, walau pada malam hari sekitar pukul 21:00, baru bertugas secara resmi, BP Malang bekerja sangat profesional. Sungguh, sangat bangga aku pada mereka!

Moment itu adalah momentum kebangkitan kembali diriku! Semangatku kian bertambah besar sebab format BP Malang saat itu adalah sebuah langkah awal yang sangat berarti. Walau tanpa materi yang berarti, walau hanya dengan asa dan semangat yang tersisa, tak perduli bila mulai membangun dari awal lagi!

Walau itu akhir waktu dari sebuah tahun, tapi merupakan awal kebangkitan...
Semoga itu adalah awal yang baik bagi kami semua, termasuk bagi Slank Fans Club Malang!

God, please help me... Always try to make world better and green with love and peace... (Thank’s Mas Bim, Slank, Bunda and BP Malang to understand and make me still have that spirit)
…………………………………………………………

AWAL TAHUN KELABU

Pebruari akhir, hasil tespek mantan kekasihku positif! Istriku hamil! Alangkah bahagianya aku! Ingin rasanya cepat-cepat sembilan bulan untuk lalu dapat kutimang si bocah! Kawan aku kabarkan! Sahabat Aku kabarkan! Dunia aku kabarkan!

Hampir bersamaan kabar gembira dariku itu, adik terkecilku memberi kabar akan melangsungkan pernikahannya pada akhir bulan maret dan tak boleh bila istriku tak ikut ke Jakarta. Setelah sebelumnya sempat istriku terjatuh di kamar kecil, cemas selimuti kepala ini, saat teringat pula kata-kata Bunda, “Hati-hati Jo, satu hingga tiga bulan, waktu yang kritis untuk usia kehamilan muda”. Tapi, dengan menggunakan bis malam, kami harus tetap berangkat.

Perjalanan itu sepertinya memakan waktu yang lebih panjang dari biasanya. Beberapa kali istriku mengeluh, perutnya yang mulai membesar itu terasa sangat sakit. Kucoba tenangkan hatinya, walau sebenarnya khawatirku melebihi khawatirnya, kusimpan dalam-dalam.

24 Maret 2009, setelah dua hari di Jakarta, perasaan khawatirku terjadi, istriku keguguran! Satu lagi yang membuat aku terpukul, saat kulihat layar USG, dua kantong sudah tampak kosong! Hanya dua pilihan pada kami, kuret atau obat? Masing-masing punya kekurangan dan kelebihan, obat pilihanku! Ah, lemas ragaku, tak jadi aku punya keturunan, kembar lagi!

Hingga akhirnya kembali ke Malang, tak berani aku temui Bunda! Hanya berani temui Mas Bim dan yang lainnya!

Maafkan aku Bunda, tak berani aku jumpai engkau karena tak turuti nasehatmu... Tapi bila tak kuajak serta, tak mungkin istri kutinggal, selain terpaksa mengajaknya, tak ada pilihan lain bagiku...
…………………………………………………………

THANK’S TAN, THANK’S PINK

Kucoba tetap tegarkan hati walau ujian hidup terus saja datang berganti. Ada saja, ada-ada saja! Prek, kucoba buang segala perasaan khawatir berlebihan yang membatasi ruang gerakku! Saat sudah sedikit tenang, dengan niat dalam hati, kupanjatkan do’a pada-Nya, coba kembali kutanam benih di rahim istriku.

April, saat satu terasa belum cukup untuk yakinkan diri ini, saat akhirnya berlembar-lembar tespek tertata di depan mata, saat kami saling pandang, saat kemudian senyum menghiasi peraduan, istriku hamil lagi! Sungguh, terasa tak sia-sia “gerilya”-ku pada hampir setiap malam sebelumnya!

Pinky dan Te Piet orang pertama yang mengetahui hal itu. Mereka orang yang sangat mengerti keadaan serta alasan kenapa kami untuk sementara tak memberi kabar pada dunia. Perkembangan jabang bayi kami pun selalu mereka ikuti.

Suatu waktu di Mei, tak tahu kenapa Te Piet menahan kami, aku dan istriku, begitu lama malam itu. “Tak boleh pulang dulu ke rumah, tunggulah sebentar lagi,” katanya. Ternyata, tak sadar aku, sangat tak ingat aku, lupa aku, di depan istriku pula, Te Piet kemudian berikan sebuah “hadiah” yang sangat istimewa padaku.

Thank’s Tan! Thank's Pink! Thank’s God and please help me... Aku tak tahu harus bilang apa? Yang kutahu kata-kataku tak akan cukup untuk ungkapkan terimakasih itu!

1 comment:

Alim Blogger said...

sip ceritane mas bro. PLUR