Sunday, June 7, 2009

3 bulan kandungan istriku

Seakan baru kemarin “tespeck” menunjukkan positif. Seakan baru kemarin tampak print hitam-putih hasil USG 2 bulan. Posisi normal dengan panjang jabang bayi 2,4 cm.

Kini, tidak terasa sudah 3 bulan usia kehamilan istriku. Sejak pertengahan bulan kemarin memang sudah ada rencana ingin adakan syukuran “telon” (syukuran 3 bulan), di selasa, 9 Juni 2008, sederhana saja.

Hari senin, sms sudah ku sebarkan ke kawan-kawan dekat. Persiapan apa yang harus dibeli pun sudah tercatat rapi. Sementara hari beranjak dari pagi ke siang, lalu siang ke malam, ku putuskan untuk tidak tidur sekalian atau bahkan jangan tertidur.

Pagi buta, jam 4 dini hari, dengan sepeda motor, sendiri aku menyusuri jalan kota Malang menuju Pasar Besar. Kegiatan di pasar biasa saja, belum banyak aktifitas, tampak hanya tiga pickup yang bongkar muatan. Setelah parkir aku menuju basement, pusat pasar. Masih sepi!

“Mau cari apa nak?” tanya seorang ibu, bakul sayur.
Menj’es bu,” jawabku singkat.
“Ada, tapi nanti agak siang. Kalau anak mau, ke Kebalen saja, di sana sudah ramai,” lanjutnya.
“Matur sembah nuwun bu,” jawabku semangat.

Tanpa tunggu lama, kendaraan ku pacu menuju Kebalen! Dari jauh sudah tampak pasar itu ramai, macet dan semrawut, itu kesan yang kutangkap. Tapi yang pasti, ia lebih hidup dari Pasar Besar! B’edak-b’edak penjual apa saja sudah tertata, tapi pejalan kaki hanya diberi sedikit jalan karena kendaraan juga ikut memadati, sepeda motor dan becak menambah sempit jalan. Prek, aku jalan kaki!

Catatan kecil ku keluarkan dari kantong, kubuka, kubaca. Mataku melihat kiri-kanan, kalau seperti ini, bukan hanya menj’es (tempe jawa dari sisa tahu) tapi sekalian yang lain. Otak berpikir, apa yang harus aku beli dahulu? Satu persatu terbeli, masuk kantong plastik yang masih saja dibutuhkan banyak orang, apalagi untuk orang seperti aku yang tak menyangka akan sangat membutuhkannya. Selesai, tak sampai 15 menit!

Masuk rumah, istriku masih tertidur, sepertinya pulas. Tanpa mengganggu, mulai ku tata belanjaan tadi di atas meja. Menj’es kuiris tipis saja. Kacang panjang, kol dan selada ku potong dan cuci. Bumbu-bumbu dapur, cab’e rawit, tomat, bawang merah dan putih, kupersiapkan untuk di masak siang nanti. Tak sampai 1 jam, beres!

Saat mata mulai berat, di luar sudah terang, jam sudah menunjukkan hampir pukul 6 pagi. Kusandarkan kepala, kupejam mata, berharap sebentar saja untuk hilangkan letih…

…………………………………………………………

“Mas, bangun…… Ada tamu……,” suara istriku terdengar pelan, seperti dalam mimpi. Ada sedikit rasa kaget saat istriku membangunkan. Ahhh, sudah jam 9 rupanya, kataku dalam hati sambil merem-mel’ek. Ke kamar mandi, cuci muka, tujuan pertamaku. Ahh, meski badan masih agak letih ternyata segar juga.

“Pagi Mas…,” sapa salah satu kawan.
Pagi Indonesia,” jawabku pada dunia.
“Rencana acara mulai jam berapa Mas?” tanya kawan yang lain.
“Lho, kalian berdua ndak ada yang bilangin? Waduh, baru nanti malam, setelah Isya’,” jawabku.
“Oooo, ndak apa-apa Mas, sekalian apa yang bisa kita bantu?” kata mereka hampir bersamaan.
“Waduh, ya sungkan aku,” kataku sambil membakar rokok. Ahh, nikmat sekali…
“Gini, kalian santai saja. Mau istirahat dulu di kamar, monggo…Kan lumayan jauh dari Purwodadi,” kataku lagi sambil memasak air untuk segelas kopi.
“Oke Mas, nanti kalo ada apa-apa panggil saja ya…,” balas mereka yang lalu duduk di teras.
“Oke…,” jawabku singkat.

Ini, yang jarang terjadi. Masih terlalu pagi buat aku beraktifitas, walau ada suatu rencana. Tapi, tidak terlalu pagi untuk mereka yang rela memberikan sesuatu. Dalam hatiku ada sebuah kebanggaan punya kawan seperti mereka. Buatku, kawan atau teman, hanya sesaat, tapi kemudian akan selalu kuanggap mereka sebagai saudara. Walau pada nyatanya, tak sedikit “saudara”ku hilang, entah kemana? Dan, tak sedikit juga yang justru berkhianat, entah mengapa?

“Nduk, tolong siapkan takaran bumbu, supaya aku tinggal masak,” kataku pada istri. Maklum soal campuran bumbu aku tak pandai. Tapi, soal rasa, bolehlah dibilang aku lumayan.
Setelah bubur merah-putih siap, istriku mengeluarkan suara, “Ini Mas bumbu untuk tempe dan menj’es, tinggal goreng saja.” Lanjutnya, “ Aku langsung ke rumah Bu Lek ya? Bantu-bantu di sana, sekalian menghindari bau masakan.”
“Iya…Ndak usah capek-capek lho ya…,” jawabku singkat.

Hmm, aku tak ingin ia terlalu letih sebab pada awal tahun pernah keguguran. Ia punya riwayat kembar, begitupun aku. Waktu keguguran dulu, kami sempat USG, dan ternyata ada dua kantong yang sudah kosong. Sedih, terasa sekali mengiris hati. Apalagi tampak dua kantong kosong itu berjauhan, tak mungkin siam, manis sekali posisinya. Tapi, mungkin belum saatnya kami diberikan rejeki. Mungkin sekaranglah rejeki kami. Yang jadi masalah saat ini, tak tahan ia mencium aroma dapur saat memasak. Ada tukang nasi goreng pun kita hindari. Katanya, rasanya mual, sampai-sampai tak tahan ia muntah. Jadi, prek, sendiri pun aku bisa.

Jam 11 siang, aku dan istri sudah meluncur keliling Malang untuk membagikan nasi kotakan, bantuan Te Piet, sedikit saja, sebagai salah satu syarat syukuran. Pas, Dzuhur, kembali ke rumah, beres. Istriku kembali ke rumah Te Piet.

Nasi dari 5 kilo beras sudah siap, sayur-mayur untuk lalapan sudah masuk kulkas biar segar, sambal sip. Tinggal menggoreng tempe dan menj’es. Inilah waktunya untuk minta bantuan kawan. Tak terasa magrib hampir tiba, tak terasa semua sudah siap. Kursi-kursi dari dalam sudah tertata di luar. Mandi ahhh…

Tak lama setelah aku selesai mandi, istriku menyusul.

Dari luar sudah terdengar suara kawan-kawan. Tetapi masih cukup banyak yang belum kelihatan batang hidungnya. Sementara waktu hampir menunjukkan pukul 7 malam.

Ahh, tepat jam 7, acara dimulai saja…pembukaan sederhana, do’a-nya pun sederhana, apalagi makanannya, sangat sederhana. Pada saat makan, lalapan sederhana, satu yang jadi perhatian…sambal ludes, tempe ludes, menj’es ludes. Alhamdulillah… tenyata sangat nikmat menyantap hal sederhana dengan suasana yang bersahaja, kekeluargaan. Tapi, ternyata cukup banyak yang tidak kebagian karena telat datang. Untung mereka mengerti itu…

Rapat tentang organisasi kami mulai saat makanan di perut sudah mulai turun. Walau bibir masih hangat oleh sambal, suasana tambah guyub. Satu yang pasti jadi pokok pikiran, apabila memang tak ada, tak usah dipaksakan. Segala sesuatu perlu direncanakan tanpa membohongi diri sendiri bahwa kalau memang tak ada guna, untuk apa kita jalani.

Syukuran ditutup dengan do’a semoga apa yang kita mau dan rencanakan dapat berjalan sesuai harapan

“Nak…ini sesuatu yang dapat kami berikan. Hal kesederhanaan tapi penuh makna dan kekeluargaan. Semoga dapat kau ingat sampai kapanpun, mulai kau masih dalam rahim, saat lahir hingga nanti hidup di dunia nyata”

No comments: