Thursday, June 4, 2009

Masa kembali ke keluarga

Entah kapan...
Malam hari, aku sudah berada dalam Matarmaja, kereta menuju Malang. Sebentar saja kulihat dari balik jendela, Herto dan Yuni melambaikan tangan saat kereta mulai perlahan bergerak ke arah timur pulau jawa. Tak ku dapat tiket bernomor tempat duduk, cukup padat pula penumpangnya, kuputuskan menyendiri di sambungan gerbong. Sebentar saja pikiranku melayang, entah seperti apa kota Malang, lalu datang kantuk menyerang. Tertidur, sendiri saja.

Sekitar jam tujuh pagi, kereta masuk Blitar. Aku sudah berdiri di pintu. Beberapa penumpang di belakangku cukup banyak, sepertinya Blitar tujuan akhir mereka, sementara tujuanku pecèl sebagai sarapan pagi itu. Yang aku dengar, sepertinya terlambat kereta masuk Blitar, pada akhirnya hanya sebentar ia mampir. Tak lama, sebentar saja, makanan itu sudah lahap aku habiskan saat kereta mulai merayap kembali.

Terowongan pertama di Karangkates baru saja ku lewati. Belum lagi habis untuk berpikir, terowongan kedua menyambut. Sementara asap dari lokomotif penarik gerbong-gerbong memenuhi hampir seluruh sudut kereta. Terdengar ocehan-ocehan beberapa anak kecil, sepertinya gembira menikmati suasana gelapnya terowongan. Tak lama kemudian, tampak juga PLTA Karangkates, berdiri megah di tengah bukit-bukit tandus. Sesekali, sungai di bawah tampak malu-malu menggoda.

Waktu kuputuskan untuk menyusuri gerbong, mencari kesempatan mendapatkan kursi, tampak sawah luas terbentang. Hijaunya membuat aku bangga menjadi seorang penghuni negeri ini, Indonesia. Itu dia, ada beberapa kursi tampak kosong, seakan merayuku untuk duduk disana.

“Permisi Mas, Mbak...boleh saya duduk di sini?” tanyaku pada sepasang anak muda.
“Silahkan Mas, kosong kok,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Darimana? Mau kemana?” tanyaku basa-basi sambil meletakkan tas di tempat barang, di atas kepala.
“Kami dari Semarang, mau ke Malang, “ jawab si laki-laki.
“Mas?” tanya si perempuan.
“Saya naik dari Yogya, juga mau ke Malang, tepatnya ke Lawang,” jawabku sambil menyalakan rokok.
“Oo, kami ke Klojen,” jawab si laki-laki.

Tak lama, percakapan kami seperti tak ada habisnya, apalagi beberapa anak yang sepertinya mahasiswa yang kuliah di malang, dari bangku belakang, ikut bergabung. Mulai dari basa-basi perkenalan, keadaan Indonesia, politik sosial dan budaya, hingga pergerakan mahasiswa. Walau tanpa menyebut nama, tanpa bertukar alamat, akrab sekali.

Matarmaja, kereta kelas ekonomi ini memang jadi idolaku dari dahulu. Tak perduli apa latar belakangmu, tak perduli pakaianmu, tak perduli pangkat dan jabatanmu. Penjual segala macam jenis makanan dan minuman ada di sana. Walau kadang ada beberapa pengamen memaksa, tapi rata-rata suasana itu yang aku suka.

Uhh, jantungku tiba-tiba berdegub kencang, tak terasa saat jembatan Kali Brantas tampak melintas di sisi kereta. Stasiun Kota Malang akhirnya sampai juga. Setelah basa-basi, kami berpisah. Di luar, beberapa tukang becak dan makelar carteran mobil tampak menyambut.
Mataku terpejam, kepalaku menengadah ke atas, tangan kurentang. Aku menarik nafas panjang, mengikhlaskan udara yang terasa segar menyusuri paru-paruku. Matahari hangat bersinar, mampir di seluruh wajahku, menembus jaket, memberi semangat padaku. Berkata aku dalam hati, “Ini, aku datang kota Malang”.

…………………………………………………………

Sambil mengikat rambutku yang tak terasa sudah panjang, aku masuk di TMP Lawang, tempat kakek beristirahat. Lalu terucap do’a, apa saja.

Tak terasa, tak lama kemudian aku sudah berdiri di depan pintu rumah nenekku. Tak berani aku mengetuk pintu, hanya terdiam! Tampak dari dalam, bayangan seorang perempuan bergerak menuju pintu dan lalu membukanya. Tepat di depanku, ia lalu bertanya, “Anak mencari siapa?”

Tak kenal lagi dia padaku! Aku hanya bisa terdiam, memandang dalam tepat pada balik kacamatanya yang tebal, lalu dari atas kepala hingga bawah kakinya. Tak percaya, ini nenekku! Tak sanggup aku menahan hasrat, aku terduduk, berlutut, mencium kakinya! Menangis! Sambil bersuara pelan, “Aku cucu Eyang!”

Tak lama kemudian, aku sudah berada dalam erat pelukannya, sepertinya tak akan ia lepaskan. Ia pun ikut menangis, sambil membawaku masuk. Mendudukkanku di balè kesukaanku dari kecil. Mencium pipiku bolak-balik, memandangku sesaat, lalu kembali memelukku erat. “Sebentar ya, jangan kemana-mana,” katanya sambil mengusap air mata. Ia kembali dengan segelas kopi panas yang tanpa kubiarkan lama, sudah kuteguk setengah.

Aku lalu menjelaskan semua tanpa dia minta sebelumnya, mulai dari awal hingga akhirnya kami bertemu ini. Tatapannya yang hangat membuat hatiku tentram. Tidak pernah sekalipun ia berpaling muka dariku...

Tak lama, aku sudah berada di meja makan, tahu penyèt dengan sambal petis dan kacang sudah ia sediakan. Kumakan lahap sambil meneruskan bercerita, kuhabiskan, tambah lagi. Berhenti sebentar, menatapnya, ia tersenyum. Kuhabiskan lagi, tambah lagi. Sambil menatapku dari balik kacamata, bertopang dagu, tidak pernah sekalipun ia berpaling muka dariku...

Selesai, aku mencium pipinya, kiri-kanan, dalam-dalam. Memeluknya erat-erat. Ahh, tentram hatiku...

…………………………………………………………

Beberapa hari kemudian...
Setelah sempat menjenguk satu tanteku yang ternyata kecelakaan, bapak dan ibu datang, dua tanteku juga hadir, membicarakan tentang aku, tentang alasanku, rencanaku ke depan dan akhirnya tentang apa saja. Pada awalnya ada suasana tegang dan kaku, tapi akhirnya mencair setelah nenek mengutarakan rencananya yang tak aku sebelumnya. Sebuah keputusan, aku akan menetap di Malang.

Beberapa hari kemudian...
Pada percakapanku dengan bapak dan ibu, suasana menjadi berbeda. Aku jadi seperti sahabat mereka, lebih akrab dan hangat. Itu yang aku harapkan, bukan hanya padaku, tapi kalau bisa, aku berharap suasana itu juga berlaku untuk adik-adikku.

Terungkap niatku untuk kembali ke Yogya, sebentar saja. Sekedar mengambil barang dan pamit pada “saudara baru” yang sudah seperti saudara kandung sendiri. Mereka menerima dengan baik.

Ahh, tenang hatiku...

…………………………………………………………

Stasiun Tugu malam itu tampak sepi, waktu kakiku menginjak kembali Yogyakarta. Tujuanku jelas, menuju alun-alun.

Walau hampir satu bulan aku pergi meninggalkan, Malioboro masih menyambutku dengan suasana yang ramah. Sesekali aku berhenti, menyapa kawan di sela-sela orang banyak lalu-lalang. Seni Sono juga masih ramai.

“Mbak..” sapaku kepada Mbak Sum yang kaget. Tanyaku kemudian, “Mas Pur?’
“Wan...gimana kabarmu?” tanyanya balik sambil memelukku, tak perduli mata pembeli menatap.
“Baik Mbak, saya dari Malang,” jawabku.
“Iya, Mbak tahu... Mas ndak ikut, di rumah, agak meriang dia. Herto dan Yuni juga di sana,” jelasnya.
“Kalau gitu, saya langsung pulang ya Mbak,” kataku.
“Iya, wes sana pulang saja..,” katanya kemudian sambil merangkul dan menepuk bahuku berulang-ulang.

Gang menuju kontrakkan gelap dan sepi. Tak lama, sudah terlihat sumur yang diterangi lampu 5 watt menyambutku dari jauh. Pintu belakang rumah ku buka, tampak pintu kamarku juga terbuka.

“Tai laso!” kata pertama dari Herto keluar yang lalu memelukku.
“Yun...,” sapaku sambil juga memeluk Yuni.
“Wan...,” balas Yuni.
“Wan...,” sapa Mas Pur yang tiba-tiba hadir dan juga memelukku. Badannya hangat, tapi sepertinya sudah lebih baik keadaannya.
“Sakit Mas?” tanyaku.
“Iya. Tapi tadi sudah dapat jamu dari Koh Hari, ini sudah jauh lebih baik,” jawab Mas Pur sambil bersemangat menggerakkan kedua tangannya..
“Gimana kabarmu?” Herto tak tahan bertanya.
“Ahh, nanti saja ceritaku. Sekarang, bisa kita semua ke alun-alun? Kasihan Mbak Sum, sepertinya tadi cuma sendirian. Mas Pur sudah kuat?” tanyaku.
“Sudah...sudah... betul ini sudah sehat,” jawabnya bersemangat.

Waktu mulai duduk di lesehan, Mbak Sum juga ikut bergabung. Masih belum ada pembeli, masih sepi. Saat Yuni kembali dengan dua gelas kopi dan tiga teh, aku lalu mulai bercerita tentang semua yang terjadi. Herto kadang mengangguk, Mas Pur juga, sedang Yuni dan Mbak Sum lebih banyak menatap dengan tak sekalipun melepaskan pandangannya. Aku juga mengungkapkan rencanaku untuk menetap di Malang dan meneruskan pendidikanku. Hampir bersamaan, mereka manggut-manggut mengerti. Cukup lama aku berbicara dengan suasana serius.

Saat tak ada lagi penjelasan dariku, aku dan Herto memisahkan diri, kami saling berbisik. Aku kembali duduk, Herto hilang sebentar tapi tak lama balik dengan beberapa tas plastik berisi makanan. Malam itu walau sederhana, kami “makan besar”, merayakan hadirku di tengah mereka dan berkumpulnya kembali kami.

Saling bergantian kami bercerita, tak berhenti bersahutan. Terlepas tawa, kami saling merangkul, lalu makan lagi. Entah sudah kali keberapa Mbak Sum dan Yuni membuat teh dan kopi.

Dalam beberapa kesempatan yang kucuri, sambil menatap mereka satu persatu, dalam hati aku berkata,
“...akan sangat kurindukan suasana ini. Entah kapan dan di mana lagi akan kutemukan suasana seperti ini. Mereka orang-orang sederhana, apa adanya, saling melindungi dan tak sadar bahwa secara tidak langsung membentuk pribadiku. Terimakasihku yang tak terucap dan tak ternilai, atas semua yang telah mereka berikan padaku...semoga Tuhan mendengar...”

No comments: