Sunday, June 7, 2009

3 bulan kandungan istriku

Seakan baru kemarin “tespeck” menunjukkan positif. Seakan baru kemarin tampak print hitam-putih hasil USG 2 bulan. Posisi normal dengan panjang jabang bayi 2,4 cm.

Kini, tidak terasa sudah 3 bulan usia kehamilan istriku. Sejak pertengahan bulan kemarin memang sudah ada rencana ingin adakan syukuran “telon” (syukuran 3 bulan), di selasa, 9 Juni 2008, sederhana saja.

Hari senin, sms sudah ku sebarkan ke kawan-kawan dekat. Persiapan apa yang harus dibeli pun sudah tercatat rapi. Sementara hari beranjak dari pagi ke siang, lalu siang ke malam, ku putuskan untuk tidak tidur sekalian atau bahkan jangan tertidur.

Pagi buta, jam 4 dini hari, dengan sepeda motor, sendiri aku menyusuri jalan kota Malang menuju Pasar Besar. Kegiatan di pasar biasa saja, belum banyak aktifitas, tampak hanya tiga pickup yang bongkar muatan. Setelah parkir aku menuju basement, pusat pasar. Masih sepi!

“Mau cari apa nak?” tanya seorang ibu, bakul sayur.
Menj’es bu,” jawabku singkat.
“Ada, tapi nanti agak siang. Kalau anak mau, ke Kebalen saja, di sana sudah ramai,” lanjutnya.
“Matur sembah nuwun bu,” jawabku semangat.

Tanpa tunggu lama, kendaraan ku pacu menuju Kebalen! Dari jauh sudah tampak pasar itu ramai, macet dan semrawut, itu kesan yang kutangkap. Tapi yang pasti, ia lebih hidup dari Pasar Besar! B’edak-b’edak penjual apa saja sudah tertata, tapi pejalan kaki hanya diberi sedikit jalan karena kendaraan juga ikut memadati, sepeda motor dan becak menambah sempit jalan. Prek, aku jalan kaki!

Catatan kecil ku keluarkan dari kantong, kubuka, kubaca. Mataku melihat kiri-kanan, kalau seperti ini, bukan hanya menj’es (tempe jawa dari sisa tahu) tapi sekalian yang lain. Otak berpikir, apa yang harus aku beli dahulu? Satu persatu terbeli, masuk kantong plastik yang masih saja dibutuhkan banyak orang, apalagi untuk orang seperti aku yang tak menyangka akan sangat membutuhkannya. Selesai, tak sampai 15 menit!

Masuk rumah, istriku masih tertidur, sepertinya pulas. Tanpa mengganggu, mulai ku tata belanjaan tadi di atas meja. Menj’es kuiris tipis saja. Kacang panjang, kol dan selada ku potong dan cuci. Bumbu-bumbu dapur, cab’e rawit, tomat, bawang merah dan putih, kupersiapkan untuk di masak siang nanti. Tak sampai 1 jam, beres!

Saat mata mulai berat, di luar sudah terang, jam sudah menunjukkan hampir pukul 6 pagi. Kusandarkan kepala, kupejam mata, berharap sebentar saja untuk hilangkan letih…

…………………………………………………………

“Mas, bangun…… Ada tamu……,” suara istriku terdengar pelan, seperti dalam mimpi. Ada sedikit rasa kaget saat istriku membangunkan. Ahhh, sudah jam 9 rupanya, kataku dalam hati sambil merem-mel’ek. Ke kamar mandi, cuci muka, tujuan pertamaku. Ahh, meski badan masih agak letih ternyata segar juga.

“Pagi Mas…,” sapa salah satu kawan.
Pagi Indonesia,” jawabku pada dunia.
“Rencana acara mulai jam berapa Mas?” tanya kawan yang lain.
“Lho, kalian berdua ndak ada yang bilangin? Waduh, baru nanti malam, setelah Isya’,” jawabku.
“Oooo, ndak apa-apa Mas, sekalian apa yang bisa kita bantu?” kata mereka hampir bersamaan.
“Waduh, ya sungkan aku,” kataku sambil membakar rokok. Ahh, nikmat sekali…
“Gini, kalian santai saja. Mau istirahat dulu di kamar, monggo…Kan lumayan jauh dari Purwodadi,” kataku lagi sambil memasak air untuk segelas kopi.
“Oke Mas, nanti kalo ada apa-apa panggil saja ya…,” balas mereka yang lalu duduk di teras.
“Oke…,” jawabku singkat.

Ini, yang jarang terjadi. Masih terlalu pagi buat aku beraktifitas, walau ada suatu rencana. Tapi, tidak terlalu pagi untuk mereka yang rela memberikan sesuatu. Dalam hatiku ada sebuah kebanggaan punya kawan seperti mereka. Buatku, kawan atau teman, hanya sesaat, tapi kemudian akan selalu kuanggap mereka sebagai saudara. Walau pada nyatanya, tak sedikit “saudara”ku hilang, entah kemana? Dan, tak sedikit juga yang justru berkhianat, entah mengapa?

“Nduk, tolong siapkan takaran bumbu, supaya aku tinggal masak,” kataku pada istri. Maklum soal campuran bumbu aku tak pandai. Tapi, soal rasa, bolehlah dibilang aku lumayan.
Setelah bubur merah-putih siap, istriku mengeluarkan suara, “Ini Mas bumbu untuk tempe dan menj’es, tinggal goreng saja.” Lanjutnya, “ Aku langsung ke rumah Bu Lek ya? Bantu-bantu di sana, sekalian menghindari bau masakan.”
“Iya…Ndak usah capek-capek lho ya…,” jawabku singkat.

Hmm, aku tak ingin ia terlalu letih sebab pada awal tahun pernah keguguran. Ia punya riwayat kembar, begitupun aku. Waktu keguguran dulu, kami sempat USG, dan ternyata ada dua kantong yang sudah kosong. Sedih, terasa sekali mengiris hati. Apalagi tampak dua kantong kosong itu berjauhan, tak mungkin siam, manis sekali posisinya. Tapi, mungkin belum saatnya kami diberikan rejeki. Mungkin sekaranglah rejeki kami. Yang jadi masalah saat ini, tak tahan ia mencium aroma dapur saat memasak. Ada tukang nasi goreng pun kita hindari. Katanya, rasanya mual, sampai-sampai tak tahan ia muntah. Jadi, prek, sendiri pun aku bisa.

Jam 11 siang, aku dan istri sudah meluncur keliling Malang untuk membagikan nasi kotakan, bantuan Te Piet, sedikit saja, sebagai salah satu syarat syukuran. Pas, Dzuhur, kembali ke rumah, beres. Istriku kembali ke rumah Te Piet.

Nasi dari 5 kilo beras sudah siap, sayur-mayur untuk lalapan sudah masuk kulkas biar segar, sambal sip. Tinggal menggoreng tempe dan menj’es. Inilah waktunya untuk minta bantuan kawan. Tak terasa magrib hampir tiba, tak terasa semua sudah siap. Kursi-kursi dari dalam sudah tertata di luar. Mandi ahhh…

Tak lama setelah aku selesai mandi, istriku menyusul.

Dari luar sudah terdengar suara kawan-kawan. Tetapi masih cukup banyak yang belum kelihatan batang hidungnya. Sementara waktu hampir menunjukkan pukul 7 malam.

Ahh, tepat jam 7, acara dimulai saja…pembukaan sederhana, do’a-nya pun sederhana, apalagi makanannya, sangat sederhana. Pada saat makan, lalapan sederhana, satu yang jadi perhatian…sambal ludes, tempe ludes, menj’es ludes. Alhamdulillah… tenyata sangat nikmat menyantap hal sederhana dengan suasana yang bersahaja, kekeluargaan. Tapi, ternyata cukup banyak yang tidak kebagian karena telat datang. Untung mereka mengerti itu…

Rapat tentang organisasi kami mulai saat makanan di perut sudah mulai turun. Walau bibir masih hangat oleh sambal, suasana tambah guyub. Satu yang pasti jadi pokok pikiran, apabila memang tak ada, tak usah dipaksakan. Segala sesuatu perlu direncanakan tanpa membohongi diri sendiri bahwa kalau memang tak ada guna, untuk apa kita jalani.

Syukuran ditutup dengan do’a semoga apa yang kita mau dan rencanakan dapat berjalan sesuai harapan

“Nak…ini sesuatu yang dapat kami berikan. Hal kesederhanaan tapi penuh makna dan kekeluargaan. Semoga dapat kau ingat sampai kapanpun, mulai kau masih dalam rahim, saat lahir hingga nanti hidup di dunia nyata”

Saturday, June 6, 2009

Aku masih tetap ada di sini!

Aku tak lagi mempunyai materi, tak lagi ada alat-alat produksi seperti dulu. Pengkhianatan teman, kawan dan sahabat yang bahkan sudah kuanggap seperti saudara sendiri, masih membekas, membuat hati terluka!

Sementara yang tertinggal hanya sebuah
kompresor dan mesin jahitwarisan” tua. Saat ada biaya, produksi tas karung dan kaos airbrush mungkin sesekali dapat aku jalankan kembali. Selain itu, tak lagi ada yang bisa aku kerjakan, produktifitasku macet!

Waktu kemudian kudapat pinjaman komputer dari adik iparku, dengan semangat yang tersisa, perlahan kutata kembali semua file yang juga tersisa. Semangat itu mulai tumbuh kembali. Harapku, tak ada lagi hama yang akan hancurkan benih itu!

Aku dan istriku pada suatu waktu duduk berdua saja, sambil ia mengelus perutnya yang semakin membesar, membuat sebuah keputusan untuk bersama. Akan ku bangun sebuah kamar lagi di depan, di sisa tanah yang tak seberapa, agar kerjaku tak akan mengganggu perkembangan sang anak.

Kamar itu rencananya sebagai ruang kerjaku dan sahabat Slank Fans Club Malang. Kamar akan dibangun semi permanen, selain agar ramah lingkungan, yang pasti akan sangat menekan biaya. Lantai paving, diding bata tak tinggi, kusen biasa saja dengan atap fiber atau asbes.

Pembangunan itu kumulai sekitar awal april. Walau ada rasa ingin untuk dapat selesaikan semua itu pada pertengahan Mei, dari awal sudah kuyakinkan diri dan selalu ku jadikan penenang diri bahwa pembangunan itu akan kukerjakan sendiri dan tergantung pula pada biaya yang ku punya.

Pelan-pelan saja, tak diburu waktu. Jadi tak akan lagi aku kaget dan heran, atau bahkan berpikir dengan keras, bila hingga detik ini belum juga selesai pembangunan itu. Prek, kunikmati saja! Kulakukan semua dengan sabar saja!

Pada setiap sore menjelang magrib datang, saat perkakas mulai aku bereskan kembali, saat segelas kopi panas istriku disuguhkan, terduduk kami berdua melihat perkembangan demi perkembangan. Lalu sesekali cerita terucap dan tak jarang mimpi terangkat.

Aku masih tetap ada di sini untuk dia, untuk calon anakku, untuk generasiku!
Letih dan keringatku ini untuk mereka semua!

God, please help me... Semoga mereka mengerti hal itu...

…………………………………………………………

Pada suatu waktu, saat sore menjelang, saat tak lagi ada adik keponakanku dan suaminya, istriku terlihat sibuk terduduk di depan komputer, tak tahu hal sibuk apa yang ia lakukan. Setelah kuamati baik-baik ternyata ia sibuk dengan internet! Wah, bisa juga pesawat hp yang ia gunakan jadi modem! Sip, satu point baru kudapat!

Tak mau kalah, aku semakin bersemangat! Kucoba pesawatku, tak bisa! Sial! Apa yang kurang? Kucoba dan kucoba lagi, berhasil! Sip, satu point baru lagi kudapat!

Malam saat aku sendiri, saat pikiran melayang-layang, masa lalu datang...

Terlalu banyak peristiwa penting yang tak kupunya buktinya. Sangat terlalu banyak moment yang terlewat untuk diabadikan. Walau ada seperangkat tustel keluaran lama, tak munafik, butuh biaya cukup besar untuk sekedar dapat kusaksikan hasilnya. Belum lagi dengan kekurangannya, tak jarang malah hanya “hitam” yang ada!

Masih melekat juga di ingatanku, waktu aku terdiam sejenak di depan sebuah warnet. Lalu membuka dompet dan mulai menghitung, mulutku kemudian “komat-kamit”, bicara pada diri sendiri sambil memandang kosong. “Untuk mendapatkan beberapa data, berapa biaya parkirnya? Berapa biaya perjam? Berapa harga kopi segelas? Berapa rokok yang ku bakar?” itu yang kupikirkan. Tak lama kemudian, aku balik badan pulang ke rumah. Ahh, sial! Tak ada cukup biaya, tak jadi aku!

Terlalu banyak perasaan yang aku pendam sendiri, mungkin kawan yang lain juga! Terlalu banyak cerita yang tak tersampaikan, pasti kawan yang lain tak beda! Tercetus sebuah niat, dengan fasilitas sesederhana yang kini ku punya, untuk berbagi cerita dan kabarkan pada Indonesia bahkan pada dunia!

Dengan memohon pada istriku, dengan sedikit pengetahuan dan kekurangan biaya, sebuah buku aku beli. Membuka dan membaca lembar demi lembar. Merangkak dari “nol” dengan sedikit keberanian, tak malu kulalui itu! Pelan-pelan, aku bangun “sesuatuuntukku, lingkunganku, generasiku dan Indonesiaku!

Temanku, kawanku, sahabatku, saudaraku, aku masih tetap ada disini! Aku masih hidup! Aku masih survive! Dan, selama aku masih bisa bernafas, walau dengan berkekurangan, aku tak ingin kalian alami hal yang sama! Aku ingin kita kembali membangun bersama! Maju bersama!

Slank Fans Club Malang masih ada!
Sungguh, Slank Fans Club Malang masih ada!

God please hel me... Thank’s Pinky and Candra...to wake’s me up! And spesial for you both, My wife and Te Piet...to understand me still!

Friday, June 5, 2009

Hidup di Malang

BEJO

Bejo, nama itu muncul sebagai panggilanku saat memulai hidup baru, hidup di Malang. Nama itu memiliki arti yang sangat dalam, sebagai rasa syukur sebab aku sangat “beruntung” dapat dengan selamat melewati kisah hidup seperti sebelumnya.

Walau sejak dulu telah bolak-balik, secara resmi aku menjadi penduduk kota Malang sekitar tahun 1993 akhir. Beralamat di Lawang, kabupaten Malang bagian utara, aku tinggal bersama nenek. Sebentar saja, aku lalu pindah bersama Tante, adik dari ibu, di Tidar, kotamadya Malang bagian barat.

Saat menunggu masa kuliah dimulai, aku mengikuti beberapa kursus komputer. Mulai dari dasar hingga tingkat menengah. Lumayan, jadi lebih mengerti, jadi punya sedikit kemampuan lebih dan yang pasti punya beberapa lembar sertifikat yang siapa tahu suatu saat dapat kugunakan mencari kerja.

Lalu saat kuliah datang, berbekal surat transfer dari Jakarta, aku diterima untuk meneruskan kuliah jurusan teknik arsitektur di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang.

Pada awalnya ada sedikit rendah hati, walau ibu seorang jawa asli, aku seperti terasing di antara orang banyak yang berbahasa jawa. Hampir setiap malam, kudengarkan lawakan berbahasa jawa dari radio, walau pada awalnya lebih banyak tak kumengerti. Untung hanya sebentar saja, aku temukan kawan-kawan yang tak pamrih ajari aku itu. Beberapa kali ku praktekkan, beberapa kali pula ku ditertawakan. Sial, ternyata “bahasa jorok” yang mereka ajarkan. Prek, setan alas, hantu belau!

Soal pendidikan, ternyata bekal dari Jakarta sangat membantu. Aku berada di atas rata-rata. Seperti di Jakarta, pada kuliah di Malang pun aku lebih konsentrasi pada konsep, perencanaan dan warna, selain perspektif yang tetap menjadi andalanku. Tak sedikit kawan yang membutuhkan pengetahuanku itu. Tak sedikit pula yang akhirnya memberikan sekedar “uang lelah”. Bukan hanya kawan setingkat, adik kelas dan bahkan kakak kelasku pun akhirnya menghubungiku. Pernah beberap kali kerja sampingan, disain sebuah bangunan pemerintahan dan pameran interior aku kerjakan. Aku sangat menikmati itu!

…………………………………………………………

SALAH PILIH LAGI!

Suatu waktu, saat lebaran tiba, aku kembali ke Jakarta. Entah bagaimana awalnya, Dian kembali dalam otakku. Beberapa kali kuhubungi, kami “jalan bareng” kembali. Saat harus balik hidup di Malang, walau jarak memisahkan, ia selalu jadi motivasiku. Hampir seluruh keluarga mengetahui itu. Hampir seluruh keluarga mengerti itu.

Tapi, entah kapan dan mengapa, ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Mungkin tak tahan dengan jauhnya jarak. Mungkin tak tahan dengan hasrat yang ingin selalu dekat. Prek, aku frustrasi!

Saat hati terus dirundung resah, saat tak ada kawan diajak bicara, saat tak ada pertimbangan yang bisa kuterima dan saat setan datang menggoda, aku membuat sebuah pilihan yang salah.

Kenapa aku tak memilih mencari penggantinya? Kenapa aku tak memilih mati saja? Kenapa aku harus memilih kembali ke jurang narkoba? Prek, kunikmati saja pilihan itu!

Awalnya, alkohol jadi pilihan, dengan sebuah pembenaran bahwa Malang kota yang dingin. Lalu ganja dan barang haram lain masuk ke setiap sudut pembuluh-pembuluh nadiku. Aku tahu itu salah. Prek, tetap saja kunikmati itu!

Saat beberapa kali ketahuan, bisa-bisanya ku buat “cerita” sebagai pembenaran-pembenarannya. Tak terasa berat badanku turun drastis, wajahku pucat dengan mata cekung menghitam. Walau sadar, seperti mayat hidup ragaku dan hatiku kosong tak berisi, “lembur tugas” tetap jadi andalan alasanku sebagai sebuah pembenaran.

Saat seorang kekasih datang, tak nampak ia “cantik”, tak perduli aku. Saat kemudian harus berakhir kisah “cinta” itu, datang lagi dan walau berakhir kembali, tetap saja aku tak perduli.

Saat, harus kembali ke Jakarta, walau hanya dalam waktu yang sempit, tetap kusempatkan untuk membawa “oleh-oleh” itu ke Malang. Saat tak dalam sadar yang penuh, di salah satu sudut timur Jakarta, jejakaku hilang! Prek, tak ada sesal, tetap saja kunikmati itu!

Buatku, yang penting masih ada “barang” yang bisa tentramkan hariku, malamku, kesendirianku. Tak ada yang tahu dan tak ada yang perlu tahu. Kembali pembenaran-pembenaran hasil ciptaanku sendiri berkuasa.

Prestasi belajarku menurun drastis! Semakin aku terpuruk! Semakin dalam aku memilih untuk tenggelamkan diri pada “barang-barang” bejat itu!

…………………………………………………………

KAWAN LAMA, APA KABARMU?

1995, aku bertemu kawan lama! Kawan-kawan yang sudah sekian tahun tak kuketahui kabarnya. Sahabat-sahabat yang sudah cukup lama kehilangan kabarku.

Slank! Para anak muda militan, “sléngéan”, yang selalu protes pada kenyataan. Para sahabat yang berani muncul dengan tampilan berbeda dengan generasi saat itu. Para sahabat yang menyuarakan isi hati apa adanya!

Mereka menggugah hatiku sejak duduk di akhir sekolah menengah atas. Dari awal yang cuma lewat dengan pacar, kemudian mampir, hingga saat kuliah di Jakarta yang akhirnya membuatku semakin dekat. Walau dalam hati kusimpan kesan mendalam, aku sadar diri, aku bukan siapa-siapa, hanya sekedar kawan biasa bagi mereka. Saat dulu putus cinta pun, Potlot tetap jadi tujuanku sekedar hilangkan penat di kepala.

Tak kusangka kini mereka di depan mata. Tak mereka sangka aku kini hidup di Malang. Rindu yang akhirnya terobati! Cerita apa saja, bercanda apa saja, curahkan apa saja.

Tapi, mereka bukan lagi mereka yang dulu. Mereka kini punya “sejuta umat”! Aku termenung saat sepintas menatap ke luar, ke orang banyak yang mungkin tak seberuntung aku, ke orang banyak yang mungkin lebih berhak daripadaku. Sangat disayangkan, tak semua dapat bertemu sahabat-sahabatku.

Lalu tercetus sebuah “ide”, begitu saja! Spontan saja! Untuk mewadahi mereka dalam sebuah organisasi yang sederhana sekalipun di kota Malang. Kami buat sebuah komit, lisan saja, untuk mulai mencoba bergerak!

Perlahan menikmati waktu, kucoba wujudkan komit itu. Sambil menikmati hari, perjalanan Malang-Jakarta atau sebaliknya, mulai saat itu jadi lebih punya arti. Aku jadi punya tanggung jawab moral! Aku jadi punya kesibukan baru yang perlahan membuatku mengurangi mengkonsumsi narkoba.

Jujur, kadang masih kusentuh ganja dan alkohol. Tapi paling tidak semua itu sudah jauh berkurang dan paling tidak tak ada lagi jarum suntik, pil dan “bubuk putih”.

Kesibukan baruku sangat membuatku bersemangat. Jadi lebih banyak kenal orang! Jadi lebih banyak punya teman! Jadi lebih banyak punya kawan! Jadi lebih banyak punya saudara baru!

9 Nopember 1997, secara resmi, Slank Fans Club Malang berdiri, eksis di Negara Kesatuan Republik Indonesia! Bersama, mencoba membuat sesuatu hal yang positif untuk pribadi dan negara. Bersama, mencoba membangun generasi muda.

God, please help me... Always try to make world better and green with love and peace... (Thank’s Mas Bim, to understand and make me still have that spirit)

…………………………………………………………

STOP NARKOBA!

Saat semakin banyak teman, kawan dan sahabat datang, saat cinta juga datang dan pergi, saat tanggung jawab di pundak semakin terasa, aku memilih untuk hidup sendiri. Dua rumah yang kemudian menjadi tanggung jawabku, menjadi saksi perjalanan hidup bahwa aku harus lebih dewasa dan bijaksana dalam memilih jalan hidup. Satu persatu, pelan-pelan saja kunikmati itu.

Sebagai awal, ku cari teman, kawan dan sahabat. Walau akhirnya tak sedikit yang hilang kembali atau bahkan berhianat, aku tak perduli. Aku masih tetap di sini dengan semangat yang semoga saja tak akan pernah hilang.

Saat cinta datang, kuterima walau sesederhana dan serumit apapun latarbelakangnya. Satu niatku, bila itu dapat membuatku lebih berarti dan lebih baik, aku tak perduli alasan darinya mengapa ia datang.

Saat pendidikanku tak juga selesai walau hanya sejengkal lagi, walau telah beribu kulakukan, aku tetap saja berusaha walau dengan sedikit sisa motivasi.

Saat kemudian orang banyak bilang kita masuk sebuah tahun melenium, saat tubuh dan jiwa ini sudah letih akan pengaruh napza, tepat menjelang detik-detik akhir tahun 1999 aku membuat sebuah pilihan.

Masuk 2000, aku memilih untuk berhenti menggunakan narkoba! Tak ada yang memaksa, tak ada yang mempengaruhi. Tak ada yang kemudian akan berkata bahwa mereka yang membuat itu terjadi padaku. Karena ku yakin bahwa orang terdekat dan tersayang sekalipun tak akan perduli itu.

Hidup adalah pilihan, maka itu pilihanku sendiri! Sederhana saja! Itu saja! Thank’s God...

…………………………………………………………

CINTA?

Sekitar tahun 1998 aku mengenalnya. Awalnya berjalan saja seperti kawan biasa pada umumnya. Walau akhirnya aku berpisah dengan kekasihku sebelumnya, pada dasarnya ia tahu aku sudah ada yang punya. Tanpa komit seperti pada umumnya sebuah hubungan, satu kalimat awal yang tetap akan jadi ingatanku, “dia jual, gue beli”, membuka cerita perjalanan hidupku tentang cinta yang cukup lama kujalani.

Dengan orang tua yang jauh di ujung barat Tanah Jawa dan dengan segala kebebasan penuh yang aku genggam saat itu, “American style” lalu jadi pilihan hidupku dengannya. Semua terjadi begitu saja, dari yang dapat dibayangkan hingga yang tak terbayangkan sekalipun. Gila, sangat naif diriku!

Seiring semakin kukenal banyak orang, seiring itu pula orang banyak kenal dia. Itu hal yang sangat biasa, menurutku. Tapi saat di belakangku, akhirnya cukup banyak cerita “miring” yang kudengar, dari orang banyak itu pula, tentangnya. Prek, aku tak perduli kata orang! Gila, sangat naif diriku!

Yang penting bagiku, aku masih tetap berdiri di sini dan tetap lebih memegang teguh komitku pada Generasiku! Tak salah bila pilihanku itu sering menjadi masalah buatnya. Beberapa kali pisah walau akhirnya ia kembali, lalu jadi masalah lagi. Aku tak perduli, sampai kapanpun, tak mungkin ku lepas dan lupa komit pada Generasiku itu!

Saat sudah terlalu jauh ia “menggganggu”, dengan emosional, tanpa memikirkan akibatnya untuk Generasiku, ia menciptakan “cerita”. Sekali ku tanya “apa itu cinta”, ia tak mengakui. Dua kali kutanya “apa itu cinta”, tak juga ia mengakui. Lalu saat datang bukti, tak bisa ia berkata-kata! Prek, aku akhiri saja cerita tentang dia!

Saat di kemudian hari pula terdengar kalimat bahwa sekian lama aku hanya “manfaatkan tubuhnya”. Apa itu cinta? Wajarkah bila kutanya balik, “Bila demikian halnya, bukankah berarti tubuh ini juga sekian lama hanya ia manfaatkan?”

Ah, prek! Sudah berulang aku hadapi hal seperti itu! Sudah terlalu letih raga dan jiwaku! Biarlah semua yang lain kupendam sendiri. Biarlah nurani mencari jawabnya sendiri. Sebab ku yakin, walau tak lagi ku punya materi, aku masih punya “cinta” sebenarnya, aku masih punya nurani!

…………………………………………………………

DI MANA ARTI SAHABAT? SAUDARA?

Masih kuingat saat seorang teman menjadi kawan. Lalu seorang kawan menjadi sahabat. Kemudian seorang sahabat kuanggap saudara. Saat keluarganya terasa begitu dekat, teringat aku dulu pernah seperti tak punya saudara dan tak pernah diberikan kesempatan. Saat tak lagi hanya tangan dan kaki yang bisa aku berikan, bahkan kepala ini tak berat aku korbankan.

Saat walau hanya terucap lisan, komit untuk maju bersama, tempat ini tempatmu juga! Saat ada kesempatan untuk mencoba merubah sesuatu menjadi lebih baik, rumah ini rumahmu juga!

Saat cerita dari hati ke hati hanya menjadi “rahasia” berdua, tak akan terucap untuk sahabatmu, saudara kandungmu, bahkan keluargamu sendiri, selalu teguh kusimpan dalam-dalam. Saat lapar datang dan tak juga kita bisa makan dari piring yang sama. Saat dahaga datang dan tak juga ada setetes air untuk dapat kita minum dari gelas yang sama. Saat tangis dan tawa hadir menghias hari, waktuku ini untukmu! Jiwaku ini untukmu!

Lalu, entah apa sebabnya...
Kenapa kamu langgar janji untuk menjaga “rahasia” kita itu? Kenapa kamu mengambil semua itu untukmu sendiri? Kenapa tak kau ijinkan lagi aku berjuang bersamamu lagi? Kenapa kamu selalu berteriak, kalau bukan karenamu tak ada semua keberhasilan itu? Kenapa kamu selalu berkoar, semua keberhasilan itu hanya karena dirimu semata?

Apa salahku?
Sungguh, sakit rasanya seorang sahabat “berkhianat” seperti itu! Menusukku bertubi-tubi dari belakang! Tak ingatkah tangismu dulu? Tahukah kamu, walau hanya sebagian kecil saja, tetap ada ada “hak” dari generasimu yang lain di situ? Kenapa bicara tak lagi punya arti? Apakah itu arti seorang “sahabat” yang sudah ku anggap “saudara”? Di mana nuranimu?

Aku tahu, aku tak punya materi. Walau sementara prinsipku “yang penting masih survive”, terus semangati aku untuk berusaha tetap bertahan hidup. Walau kembali aku harus merangkak dari dasar, tak malu aku lakukan itu! Walau tubuh dan hati ini penuh luka karena berkali kau injak harga diriku, yang pasti aku selalu punya keyakinan, benar adalah benar!

Ah, prek! Sudah terlalu letih raga dan jiwaku! Biarlah semua yang lain kupendam sendiri. Biarlah nurani mencari jawabnya sendiri. Sebab ku yakin, walau tak lagi ku punya materi, aku tetap masih punya nurani!

God, please help me... Always try to make world better and green with love and peace... (Thank’s Mas Bim, Slank, Bunda, to understand and make me still have that spirit)
…………………………………………………………

AKHIRNYA KUTEMUKAN DIA!

Pertama ia datang waktu hari sudah gelap, mengantarkan sahabatnya mencari alamat fans club. Aku bertemu dengannya di rumah, setelah hadiri sebuah acara, sudah hampir pukul 12 malam. Pertama ia ku kenal, biasa saja.

Saat suatu malam, waktu dia temani aku bekerja untuk generasiku, percakapan kecil terjadi. Saat kemudian cerita saling berjawab, tak sadar semua terungkap dengan jujur, tak ditutupi.

Aku jujur tentang hidupku. Tentang perjalananku, suka duka yang telah kualami dan kulewati. Tentang kisah cintaku. Tentang mimpi-mimpiku. Tentang prinsipku. Tentang pengabdianku. Tentang Generasiku. Pada dasarnya, aku adalah “produk pilihan hidupku”!

Ia juga bercerita tentang suka duka hidupnya. Tentang lingkungan, tanggung jawab dan pengabdian profesi pendidikannya. Tentang orang tua dan keluarga besar yang tak lagi perduli. Tentang latar belakang kisah cintanya. Tentang mimpinya. Tentang protesnya. Tentang prinsipnya. Ia bukan “dari tong sampah” seperti kata orang. Pada dasarnya, ia masih survive walau di besarkan dan dibentuk oleh kenyataan yang pahit akan hidup!

Aku tak tahu kenapa aku jadi punya keyakinan, ada hasrat, ada “feeling”. Aku jadi berani untuk ungkapkan, “...aku bukan lagi mencari pacar, tapi aku mencari seorang istri. Bersediakah kamu?”

07 Juli 2007, seperti gayung bersambut, kami mulai berjalan bergandengan tangan.

Tak ada hal romantis yang dipaksakan. Tak ada janji manis terucapkan. Berdasar saling jujur, itu saja, singkat saja!

…………………………………………………………

MENATA HIDUP!

Aku jadi punya motivasi kembali. Aku merasa semangat untuk hidup kembali. Dalam kesendirian, aku berfikir tentang apa yang harus aku lakukan. Rencana hidup yang harus diwujudkan...


AB!

Hanya dengan beberapa foto lama, aku kabarkan ini pada keluarga, tentang seorang yang hadir dan menjadi api semangat hidupku lagi. Apapun dia, siapapun dia! Tak ketinggalan, ku kabarkan juga pada sahabat-sahabatku di Potlot. Ku ungkap juga niat untuk selesaikan pendidikanku. Tenyata, sudah sekian lama mereka berharap dan menunggu kabar seperti ini. Tak ku sangka, ternyata begitu cepat mereka merespon positif.

Aku harus selesaikan pendidikanku yang tinggal sejengkal lagi. Ku urus sendiri semua syarat administrasi untuk pindah kembali. Walau terbayang wajah para dosen yang sentimen pribadinya sangat mengganggu dan menghalangi jalanku, terbayang pula wajah para dosen yang sudah lama sangat membantu, mendukung dan memberiku semangat.

Ku buka kembali berkas-berkas lama yang tak tersentuh, di bawah tumpukan-tumpukan berdebu yang terlupakan. Tugas akhirku yang merana, rindu untuk kubelai, akhirnya kembali kuajukan. Walau draft awal sudah selesai, tetap saja kembali kulalui perkuliahan. Kulewati asistensi, coret sana, coret sini. Ganti sana, ganti sini. Prek, kunikmati saja, mencari file-file yang dulu hanya setengah jalan, kususun kembali, kutata kembali, kurangkai kembali!

Dia selalu setia menemaniku, merawatku, mengerti dan mendukung jalan yang kupilih untuk kulalui itu. Saat letih datang dan tertidur dalam dudukku, dia datang menyelimutiku. Saat dingin datang, tak kan lupa ia suguhkan secangkir kopi pahit kegemaranku. Tak ku minta, sepiring nasi hangat dan tempe bersambal pedas sudah ada di sampingku.

Masih kuingat, suatu saat, waktu semua hasil kerjaku, semua usaha dari pagi, siang, malamku dan pagi lagi, hilang entah mengapa. Masih kuingat saat emosi dan marahku tak terbendung. Saat sumpah serapah dan makian lepas begitu saja padanya. Dia hanya menarik nafas dalam, sabar menerima, lalu tersenyum sambil menyodorkan kopi panas buatannya padaku. Dia membuat hatiku tentram kembali.

Akhirnya, setelah sekian tahun terbuang percuma waktuku, setelah sekian lama perjuanganku, masih ku ingat perjalanan menuju waktu persidanganku. Di suatu saat, waktu hujan deras datang mengganggu dan tak tampak lagi jalan di depanku. Saat akhirnya terduduk sebentar berbasah air hujan, menunggu detik-detik giliranku digelar. Walau segala macam do’a sudah kupanjatkan dan segala restu ku mohonkan, tetap saja gelisah akhirnya datang. Ia hanya mengusap wajah kuyupku, lalu semua resah yang timbul dan tenggelam itu hilang begitu saja.

Dia mencium dalam-dalam tangaku yang dingin sekedar memberi hangat dan semangat, saat aku kemudian berjalan setelah sebentar memejamkan mata dan menarik nafas panjang. Ruang terasa begitu sempit, berbatas gelisah yang terdengar keluar dari degub jantungku. Walau gerakku terbatas, perlahan mulutku terbuka, lembar demi lembar kujabarkan dan sesekali pula keringat kuseka.

Terasa begitu lama waktu berlalu, walau akhirnya aku harus melangkah keluar. Ragu menyelimuti otakku, pikiran buruk datang penuhi perasaannku. Dia tetap setia menemaniku, menatapku dengan penuh kehangatan. Menyodorkan secangkir kopi panas yang dia bawa dari rumah. Ahh, sungguh sangat tentramkan aku.

17 Desember 2007, 16:00, saat kemudian namaku terdengar disebut, semakin kencang jantungku berdebar. Saat kemudian sebuah lembar terakhir kusingkap, tertulis......AB! Aku LULUS!

Kupanjatkan do’a berulang kali, do’a-do’a apa saja pada Sang Pencipta! Lemas rasanya raga ini, tak kusangka ragu hilang begitu saja. Kucium keningnya, kupeluk erat tubuhnya! Kukabarkan pada dunia! Kukabarkan pada keluarga! Ku kabarkan pada sahabat! Ku buka pakaianku, bertelanjang dada, sebagai pelaksanaan nadzarku, rasa syukurku! Tak perduli hujan yang tak kunjung reda, tak perduli jalan macet yang tak berkesudahan! Kunikmati itu semua, detik demi detik!

Beberapa hari kemudian, rasa suka itu seperti hilang. Saat datang sepi, sendiri, pikiran datang mengganggu, ...semua usaha dan keberhasilan itu tak ada artinya bila tak ada “pembuktian”. Dan, “pembuktian” itu sangat membutuhkan biaya.

Setelah merenung, aku akhirnya harus merelakan, melepas pergi “drum” kesayanganku! Drum itu hasil kerja kerasku sebelumnya, hasil memeras keringat setelah sekian lama, perwujudan obsesiku yang ingin rasanya selalu ada di tiap hariku. Pernah pula ia kubawa ke Jakarta, selain selalu temani aku berkeliling dari café ke café di seluruh pelosok Malang Raya. Dengan menahan air mata harga diri sebagai laki-laki, kusembunyikan sedih itu dalam-dalam. Ahh, maafkan aku sayang! Prek, semoga suatu saat nanti datang rejeki, bisa ku peluk kembali kamu!

30 Desember 2007, akhirnya “pembuktian” itu dapat kujalani, tentu saja orang tua, keluarga dan kekasihku pun menghadiri acara tersebut. Walau tampak letih di wajah mereka setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tapi akhirnya rasa bangga melihat aku di depan sana, menggunakan toga! Sebuah gelar Sarjana Teknik Arsitektur dalam genggamanku!




Cincin Di Jari Manis Kiri

31 Desember 2007, aku melangkahkan kaki bersama keluarga menuju keluarga besar kekasihku di Tulungagung. Kami diterima dalam suasana yang sederhana saja, apa adanya.

Setelah beristirahat sebentar, basa-basi kata pembukaan, Bapak dan Ibuku akhirnya mengutarakan niat kedatangan kami, pihak keluarga kekasihku pun menerima dengan lapang dada. Lalu, sebentar saja, dua cincin sederhana sudah mendarat di masing-masing jari manis kiri kami.

Ahh, lega rasanya kembali ke Malang. Tahun itu akhirnya dapat ditutup dengan sebuah “perubahan”. Tapi, Bapak dan ibu, serta adik dan keponakanku tak lama di Malang, mereka harus kembali ke Jakarta. Suasana itu begitu mengharukan, tapi hidupku pun menjadi terasa lebih berarti.


Penuh Cobaan

Aku dan kekasih membuat rencana dan melakukan perubahan yang bermula dari lingkungan tempat tinggal kami sendiri. Tapi, niat baik itu ternyata penuh cobaan!

Walau telah kubicarakan sebelumnya, duduk bersama berbagi cerita dan bertukar pendapat, seakan percuma. Teman, kawan bahkan sahabat yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri seperti tak menerima itu. Bahkan sempat terungkap, mereka inginkan aku kembali seperti dulu, tetap seperti jaman “nakal” dulu. Mereka tetap salahkan aku, salahkan kekasihku! Mereka menikam dari depan, samping bahkan belakang! Bertubi-tubi!

Usahaku hancur lebur! Produktiffitasku mandeg!
Belum lagi “kekasih lama” yang ikut memperkeruh suasana! Hidup kami menjadi sangat memprihatinkan. Walau begitu tetap saja, tak bosan mereka menikam dari depan, samping bahkan belakang! Bertubi-tubi!

Apa salahku?
Apakah salah, kami memilih untuk hidup pada jalan yang lebih baik, jalan yang benar?
Di mana arti sahabat? Saudara?

Hidupku seperti “mati suri”! Terbaring di dalam kamar, hari-hari jadi penuh dengan menyalahkan diri sendiri! Menyalahkan keadaan! Menyalahkan kenyataan! Banyak pertanyaan di kepala yang tak mendapatkan jawabannya. Hampir tiga bulan aku mengalami tekanan berat itu!

Saat kemudian kekasih memberikan sebuah pilihan jalan, aku terhentak! Semangat darinya membuat aku perlahan berani merangkak dari bawah lagi. Mencoba untuk membangun rasa percaya diri kembali atau sekedar membuat aku memiliki kesibukan. Sesekali terbesit, mungkin ini “karma” yang harus aku tanggung akibat kesalahan-kesalahan masa laluku! Prek, dengan sisa asa, kucoba bangkit kembali!

Lingkungan yang masih “kotor” perlahan kami bersihkan. Walau tetap didahului dengan duduk bersama, walau perlahan, tak ada lagi kata ragu untuk singkirkan yang tak mau berubah menjadi lebih baik!

Aku ingin hidup “bersih”! Aku ingin hidup normal! Jangan halangi aku!


Sah!

Tak terasa hampir setahun berlalu, saat muncul niat lebih. Dalam sebuah keprihatinan, terungkap niat untuk “menikah” sebab semoga dengan itu perjalanan hidup menjadi lebih baik. Waktu beberapa kali bergeser, tanggal beberapa kali berganti, walau akhirnya ditetapkan.

Dengan sisa asa, kukumpulkan semangat hari demi hari. Pagi, siang, malam dan pagi lagi, kulalui dengan kerja. Akhirnya semua syarat terpenuhi. Walau tak mampu kusebarkan selembar “undangan”, tetap kumohonkan restu dari semua teman, kawan dan sahabat.

25 Desember 2008, 20:15, Desa Karangsuko, Kabupaten Trenggalek jadi saksi, akhirnya terucap dari mulutku yang bergetar...“Saya terima nikahnya...”. Sah!

Alhamdulillah.........seakan semua beban terlepas! Terimakasih untuk semua teman, kawan dan sahabat yang sudah kuanggap saudaraku sendiri! Mohon maaf atas semua kesederhanaan, sebab hanya itu yang bisa kami berikan...

Mulai Dari Awal Lagi?

Jauh hari sebelum ada niat menikah, saat pertama kukenalkan kekasih secara langsung bertatap muka, Bunda sempat mengeluarkan isi hati, “Alhamdulillah, akhirnya kamu dapat pilihan yang baik Jo. Sebenarnya sudah lama Bunda pernah bilang, kenapa Jo, apakah tak ada wanita lain?” Ternyata perasaan itu walau telah lama, masih ia ingat dan pendam (maafkan aku Bunda, mungkin baru sekarang kudapat jodohku). Ia juga berpesan, “Bila menikah, kalau bisa jangan bersamaan dengan kegiatan kami ya Jo”. Sungguh, tak pernah kumimpi lebih, selain do’a restu Bunda dan Slank.

Sebagai rasa syukur, beberapa anggota BP (Bidadari Penyelamat) Malang aku kumpulkan. Acara syukuran kecil atas pernikahanku, sederhana saja. Sempat dibahas pula kemungkinan bila rombongan dari Jakarta mampir, sebab kebetulan bersamaan dengan waktu itu, posisi mereka ada di Malang.

27 Desember 2009, 11:30, Slank dan rombongan akhirnya benar-benar mendatangi kediamanku, mampir di Slank Fans Club Malang. Walau rata-rata baru pertama kali bertugas, walau pada malam hari sekitar pukul 21:00, baru bertugas secara resmi, BP Malang bekerja sangat profesional. Sungguh, sangat bangga aku pada mereka!

Moment itu adalah momentum kebangkitan kembali diriku! Semangatku kian bertambah besar sebab format BP Malang saat itu adalah sebuah langkah awal yang sangat berarti. Walau tanpa materi yang berarti, walau hanya dengan asa dan semangat yang tersisa, tak perduli bila mulai membangun dari awal lagi!

Walau itu akhir waktu dari sebuah tahun, tapi merupakan awal kebangkitan...
Semoga itu adalah awal yang baik bagi kami semua, termasuk bagi Slank Fans Club Malang!

God, please help me... Always try to make world better and green with love and peace... (Thank’s Mas Bim, Slank, Bunda and BP Malang to understand and make me still have that spirit)
…………………………………………………………

AWAL TAHUN KELABU

Pebruari akhir, hasil tespek mantan kekasihku positif! Istriku hamil! Alangkah bahagianya aku! Ingin rasanya cepat-cepat sembilan bulan untuk lalu dapat kutimang si bocah! Kawan aku kabarkan! Sahabat Aku kabarkan! Dunia aku kabarkan!

Hampir bersamaan kabar gembira dariku itu, adik terkecilku memberi kabar akan melangsungkan pernikahannya pada akhir bulan maret dan tak boleh bila istriku tak ikut ke Jakarta. Setelah sebelumnya sempat istriku terjatuh di kamar kecil, cemas selimuti kepala ini, saat teringat pula kata-kata Bunda, “Hati-hati Jo, satu hingga tiga bulan, waktu yang kritis untuk usia kehamilan muda”. Tapi, dengan menggunakan bis malam, kami harus tetap berangkat.

Perjalanan itu sepertinya memakan waktu yang lebih panjang dari biasanya. Beberapa kali istriku mengeluh, perutnya yang mulai membesar itu terasa sangat sakit. Kucoba tenangkan hatinya, walau sebenarnya khawatirku melebihi khawatirnya, kusimpan dalam-dalam.

24 Maret 2009, setelah dua hari di Jakarta, perasaan khawatirku terjadi, istriku keguguran! Satu lagi yang membuat aku terpukul, saat kulihat layar USG, dua kantong sudah tampak kosong! Hanya dua pilihan pada kami, kuret atau obat? Masing-masing punya kekurangan dan kelebihan, obat pilihanku! Ah, lemas ragaku, tak jadi aku punya keturunan, kembar lagi!

Hingga akhirnya kembali ke Malang, tak berani aku temui Bunda! Hanya berani temui Mas Bim dan yang lainnya!

Maafkan aku Bunda, tak berani aku jumpai engkau karena tak turuti nasehatmu... Tapi bila tak kuajak serta, tak mungkin istri kutinggal, selain terpaksa mengajaknya, tak ada pilihan lain bagiku...
…………………………………………………………

THANK’S TAN, THANK’S PINK

Kucoba tetap tegarkan hati walau ujian hidup terus saja datang berganti. Ada saja, ada-ada saja! Prek, kucoba buang segala perasaan khawatir berlebihan yang membatasi ruang gerakku! Saat sudah sedikit tenang, dengan niat dalam hati, kupanjatkan do’a pada-Nya, coba kembali kutanam benih di rahim istriku.

April, saat satu terasa belum cukup untuk yakinkan diri ini, saat akhirnya berlembar-lembar tespek tertata di depan mata, saat kami saling pandang, saat kemudian senyum menghiasi peraduan, istriku hamil lagi! Sungguh, terasa tak sia-sia “gerilya”-ku pada hampir setiap malam sebelumnya!

Pinky dan Te Piet orang pertama yang mengetahui hal itu. Mereka orang yang sangat mengerti keadaan serta alasan kenapa kami untuk sementara tak memberi kabar pada dunia. Perkembangan jabang bayi kami pun selalu mereka ikuti.

Suatu waktu di Mei, tak tahu kenapa Te Piet menahan kami, aku dan istriku, begitu lama malam itu. “Tak boleh pulang dulu ke rumah, tunggulah sebentar lagi,” katanya. Ternyata, tak sadar aku, sangat tak ingat aku, lupa aku, di depan istriku pula, Te Piet kemudian berikan sebuah “hadiah” yang sangat istimewa padaku.

Thank’s Tan! Thank's Pink! Thank’s God and please help me... Aku tak tahu harus bilang apa? Yang kutahu kata-kataku tak akan cukup untuk ungkapkan terimakasih itu!

Thursday, June 4, 2009

Masa kembali ke keluarga

Entah kapan...
Malam hari, aku sudah berada dalam Matarmaja, kereta menuju Malang. Sebentar saja kulihat dari balik jendela, Herto dan Yuni melambaikan tangan saat kereta mulai perlahan bergerak ke arah timur pulau jawa. Tak ku dapat tiket bernomor tempat duduk, cukup padat pula penumpangnya, kuputuskan menyendiri di sambungan gerbong. Sebentar saja pikiranku melayang, entah seperti apa kota Malang, lalu datang kantuk menyerang. Tertidur, sendiri saja.

Sekitar jam tujuh pagi, kereta masuk Blitar. Aku sudah berdiri di pintu. Beberapa penumpang di belakangku cukup banyak, sepertinya Blitar tujuan akhir mereka, sementara tujuanku pecèl sebagai sarapan pagi itu. Yang aku dengar, sepertinya terlambat kereta masuk Blitar, pada akhirnya hanya sebentar ia mampir. Tak lama, sebentar saja, makanan itu sudah lahap aku habiskan saat kereta mulai merayap kembali.

Terowongan pertama di Karangkates baru saja ku lewati. Belum lagi habis untuk berpikir, terowongan kedua menyambut. Sementara asap dari lokomotif penarik gerbong-gerbong memenuhi hampir seluruh sudut kereta. Terdengar ocehan-ocehan beberapa anak kecil, sepertinya gembira menikmati suasana gelapnya terowongan. Tak lama kemudian, tampak juga PLTA Karangkates, berdiri megah di tengah bukit-bukit tandus. Sesekali, sungai di bawah tampak malu-malu menggoda.

Waktu kuputuskan untuk menyusuri gerbong, mencari kesempatan mendapatkan kursi, tampak sawah luas terbentang. Hijaunya membuat aku bangga menjadi seorang penghuni negeri ini, Indonesia. Itu dia, ada beberapa kursi tampak kosong, seakan merayuku untuk duduk disana.

“Permisi Mas, Mbak...boleh saya duduk di sini?” tanyaku pada sepasang anak muda.
“Silahkan Mas, kosong kok,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Darimana? Mau kemana?” tanyaku basa-basi sambil meletakkan tas di tempat barang, di atas kepala.
“Kami dari Semarang, mau ke Malang, “ jawab si laki-laki.
“Mas?” tanya si perempuan.
“Saya naik dari Yogya, juga mau ke Malang, tepatnya ke Lawang,” jawabku sambil menyalakan rokok.
“Oo, kami ke Klojen,” jawab si laki-laki.

Tak lama, percakapan kami seperti tak ada habisnya, apalagi beberapa anak yang sepertinya mahasiswa yang kuliah di malang, dari bangku belakang, ikut bergabung. Mulai dari basa-basi perkenalan, keadaan Indonesia, politik sosial dan budaya, hingga pergerakan mahasiswa. Walau tanpa menyebut nama, tanpa bertukar alamat, akrab sekali.

Matarmaja, kereta kelas ekonomi ini memang jadi idolaku dari dahulu. Tak perduli apa latar belakangmu, tak perduli pakaianmu, tak perduli pangkat dan jabatanmu. Penjual segala macam jenis makanan dan minuman ada di sana. Walau kadang ada beberapa pengamen memaksa, tapi rata-rata suasana itu yang aku suka.

Uhh, jantungku tiba-tiba berdegub kencang, tak terasa saat jembatan Kali Brantas tampak melintas di sisi kereta. Stasiun Kota Malang akhirnya sampai juga. Setelah basa-basi, kami berpisah. Di luar, beberapa tukang becak dan makelar carteran mobil tampak menyambut.
Mataku terpejam, kepalaku menengadah ke atas, tangan kurentang. Aku menarik nafas panjang, mengikhlaskan udara yang terasa segar menyusuri paru-paruku. Matahari hangat bersinar, mampir di seluruh wajahku, menembus jaket, memberi semangat padaku. Berkata aku dalam hati, “Ini, aku datang kota Malang”.

…………………………………………………………

Sambil mengikat rambutku yang tak terasa sudah panjang, aku masuk di TMP Lawang, tempat kakek beristirahat. Lalu terucap do’a, apa saja.

Tak terasa, tak lama kemudian aku sudah berdiri di depan pintu rumah nenekku. Tak berani aku mengetuk pintu, hanya terdiam! Tampak dari dalam, bayangan seorang perempuan bergerak menuju pintu dan lalu membukanya. Tepat di depanku, ia lalu bertanya, “Anak mencari siapa?”

Tak kenal lagi dia padaku! Aku hanya bisa terdiam, memandang dalam tepat pada balik kacamatanya yang tebal, lalu dari atas kepala hingga bawah kakinya. Tak percaya, ini nenekku! Tak sanggup aku menahan hasrat, aku terduduk, berlutut, mencium kakinya! Menangis! Sambil bersuara pelan, “Aku cucu Eyang!”

Tak lama kemudian, aku sudah berada dalam erat pelukannya, sepertinya tak akan ia lepaskan. Ia pun ikut menangis, sambil membawaku masuk. Mendudukkanku di balè kesukaanku dari kecil. Mencium pipiku bolak-balik, memandangku sesaat, lalu kembali memelukku erat. “Sebentar ya, jangan kemana-mana,” katanya sambil mengusap air mata. Ia kembali dengan segelas kopi panas yang tanpa kubiarkan lama, sudah kuteguk setengah.

Aku lalu menjelaskan semua tanpa dia minta sebelumnya, mulai dari awal hingga akhirnya kami bertemu ini. Tatapannya yang hangat membuat hatiku tentram. Tidak pernah sekalipun ia berpaling muka dariku...

Tak lama, aku sudah berada di meja makan, tahu penyèt dengan sambal petis dan kacang sudah ia sediakan. Kumakan lahap sambil meneruskan bercerita, kuhabiskan, tambah lagi. Berhenti sebentar, menatapnya, ia tersenyum. Kuhabiskan lagi, tambah lagi. Sambil menatapku dari balik kacamata, bertopang dagu, tidak pernah sekalipun ia berpaling muka dariku...

Selesai, aku mencium pipinya, kiri-kanan, dalam-dalam. Memeluknya erat-erat. Ahh, tentram hatiku...

…………………………………………………………

Beberapa hari kemudian...
Setelah sempat menjenguk satu tanteku yang ternyata kecelakaan, bapak dan ibu datang, dua tanteku juga hadir, membicarakan tentang aku, tentang alasanku, rencanaku ke depan dan akhirnya tentang apa saja. Pada awalnya ada suasana tegang dan kaku, tapi akhirnya mencair setelah nenek mengutarakan rencananya yang tak aku sebelumnya. Sebuah keputusan, aku akan menetap di Malang.

Beberapa hari kemudian...
Pada percakapanku dengan bapak dan ibu, suasana menjadi berbeda. Aku jadi seperti sahabat mereka, lebih akrab dan hangat. Itu yang aku harapkan, bukan hanya padaku, tapi kalau bisa, aku berharap suasana itu juga berlaku untuk adik-adikku.

Terungkap niatku untuk kembali ke Yogya, sebentar saja. Sekedar mengambil barang dan pamit pada “saudara baru” yang sudah seperti saudara kandung sendiri. Mereka menerima dengan baik.

Ahh, tenang hatiku...

…………………………………………………………

Stasiun Tugu malam itu tampak sepi, waktu kakiku menginjak kembali Yogyakarta. Tujuanku jelas, menuju alun-alun.

Walau hampir satu bulan aku pergi meninggalkan, Malioboro masih menyambutku dengan suasana yang ramah. Sesekali aku berhenti, menyapa kawan di sela-sela orang banyak lalu-lalang. Seni Sono juga masih ramai.

“Mbak..” sapaku kepada Mbak Sum yang kaget. Tanyaku kemudian, “Mas Pur?’
“Wan...gimana kabarmu?” tanyanya balik sambil memelukku, tak perduli mata pembeli menatap.
“Baik Mbak, saya dari Malang,” jawabku.
“Iya, Mbak tahu... Mas ndak ikut, di rumah, agak meriang dia. Herto dan Yuni juga di sana,” jelasnya.
“Kalau gitu, saya langsung pulang ya Mbak,” kataku.
“Iya, wes sana pulang saja..,” katanya kemudian sambil merangkul dan menepuk bahuku berulang-ulang.

Gang menuju kontrakkan gelap dan sepi. Tak lama, sudah terlihat sumur yang diterangi lampu 5 watt menyambutku dari jauh. Pintu belakang rumah ku buka, tampak pintu kamarku juga terbuka.

“Tai laso!” kata pertama dari Herto keluar yang lalu memelukku.
“Yun...,” sapaku sambil juga memeluk Yuni.
“Wan...,” balas Yuni.
“Wan...,” sapa Mas Pur yang tiba-tiba hadir dan juga memelukku. Badannya hangat, tapi sepertinya sudah lebih baik keadaannya.
“Sakit Mas?” tanyaku.
“Iya. Tapi tadi sudah dapat jamu dari Koh Hari, ini sudah jauh lebih baik,” jawab Mas Pur sambil bersemangat menggerakkan kedua tangannya..
“Gimana kabarmu?” Herto tak tahan bertanya.
“Ahh, nanti saja ceritaku. Sekarang, bisa kita semua ke alun-alun? Kasihan Mbak Sum, sepertinya tadi cuma sendirian. Mas Pur sudah kuat?” tanyaku.
“Sudah...sudah... betul ini sudah sehat,” jawabnya bersemangat.

Waktu mulai duduk di lesehan, Mbak Sum juga ikut bergabung. Masih belum ada pembeli, masih sepi. Saat Yuni kembali dengan dua gelas kopi dan tiga teh, aku lalu mulai bercerita tentang semua yang terjadi. Herto kadang mengangguk, Mas Pur juga, sedang Yuni dan Mbak Sum lebih banyak menatap dengan tak sekalipun melepaskan pandangannya. Aku juga mengungkapkan rencanaku untuk menetap di Malang dan meneruskan pendidikanku. Hampir bersamaan, mereka manggut-manggut mengerti. Cukup lama aku berbicara dengan suasana serius.

Saat tak ada lagi penjelasan dariku, aku dan Herto memisahkan diri, kami saling berbisik. Aku kembali duduk, Herto hilang sebentar tapi tak lama balik dengan beberapa tas plastik berisi makanan. Malam itu walau sederhana, kami “makan besar”, merayakan hadirku di tengah mereka dan berkumpulnya kembali kami.

Saling bergantian kami bercerita, tak berhenti bersahutan. Terlepas tawa, kami saling merangkul, lalu makan lagi. Entah sudah kali keberapa Mbak Sum dan Yuni membuat teh dan kopi.

Dalam beberapa kesempatan yang kucuri, sambil menatap mereka satu persatu, dalam hati aku berkata,
“...akan sangat kurindukan suasana ini. Entah kapan dan di mana lagi akan kutemukan suasana seperti ini. Mereka orang-orang sederhana, apa adanya, saling melindungi dan tak sadar bahwa secara tidak langsung membentuk pribadiku. Terimakasihku yang tak terucap dan tak ternilai, atas semua yang telah mereka berikan padaku...semoga Tuhan mendengar...”

Wednesday, June 3, 2009

Masa Gila!

Suatu saat, entah hari dan bulan apa, keluarga kami dilanda masalah. Masa lalu menyerang bapak, rembug keluarga tak ada solusi bijak. Prek, aku protes, bukan karena pendapatku tak didengar!

Ku putuskan pergi meninggalkan keluarga. Hanya adik laki-lakiku sebagai saksi, dengan tatapannya yang penuh tanda tanya, tak terucap satu katapun darinya, melihat aku membawa gitar dan satu tas saja.

Tak ada bayangan wajah Dian, tak ada apa-apa di kepala. Entah akan ke mana, kosong saja, berjalan, mengalir saja. Entah bagaimana ceritanya, aku ada di Masjid Agung, Bandung. Tak lama, sebentar saja. Perjalanan lalu mengarah ke timur, Cirebon, Semarang, Solo, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Bali, kembali ke Semarang, ke Tarakan (Kalimantan Timur).

Saat kembali ke tanah Jawa, di kereta Semarang menuju Yogya, aku melihat kawan lama yang saat itu masih jadi “kurir”. Sebenarnya ada komit, tak boleh ada percakapan diantara kami, tapi akhirnya ia berucap sedang mengantar “stok” untuk Surabaya. Sebenarnya tak boleh ada “pemakaian” di jalan, tapi itu dia lakukan.

Tidak heran bila tak lama kemudian dia “tinggi” dan mulai terasa mengganggu penumpang lain. Tak pikir panjang, setelah menyelamatkan “stok”, kepalan tanganku mendarat beberapa kali di wajahnya. Polisi kereta datang melerai. Setelah ku jelaskan hal yang sebenarnya dan didukung oleh penumpang lain, sang kawan terpaksa harus diturunkan di stasiun kecil untuk diproses. “Stok” aman di tanganku. Prek, rejekiku!

…………………………………………………………

Masuk Stasiun Tugu, Yogyakarta, hari masih gelap, sekitar jam sebelas malam. Barang yang kurasa “berat” kutitipkan di locker stasiun kemudian berjalan santai mencari secangkir kopi hangat.

“Bu, kopi hitam satu…,” pintaku pada si penjual.
“Iya, sebentar ya nak…,” sahutnya sambil meracik.

Tak lama secangkir kopi panas sudah dalam genggamanku. Seruput-an pertama sangat nikmat, melegakan tenggorokan ku. Di sebelah kananku, terduduk juga seorang tukang becak yang kelihatannya diserang kantuk. Padahal kopi di depannya terlihat baru sepertiga di minum. Kedua tangannya terlipat bersilang diatas meja warung, sementara kepalanya naik turun dengan mata tertutup. Tak lama itu, sang kepala akhirnya mendarat juga, berbantal tangannya.

“Kasihan bu…,” kataku basa-basi melirik ibu warung dan tukang becak.
“Iya nak, kecapèan barangkali. Kelihatannya mulai siang tadi penumpangnya tak ada habisnya,” si ibu bicara datar bertopang dagu.
“Anak darimana? Mau kemana?” lanjutnya bertanya.
“Saya dari Jakarta bu dan ingin mengadu nasib di sini. Sebelah ini jalan apa to bu?,” aku balik bertanya.
“Namanya derah Sarkem, Pasar Kembang,” singkat jawabnya saat ada pembeli lain datang.
“Kelihatannya kok ramai, sepertinya banyak penginapannya ya?” tanyaku sambil membakar rokok. “Kira-kira menginap di sana berapa bu?” lanjutku. Si ibu langsung menghentikan adukkan kopinya.
“Hus jangan ke sana, jangan sampai menginap di sana. Anak di sini saja, temani ibu ya?!” suaranya sedikit lebih tinggi dan matanya sedikit melotot. Setelah itu ia melanjutkan meracik kopi.
“Kamu baru pertama kali ini ke Yogya ya?” tanya seorang laki-laki yang baru datang pesan kopi tadi.
“Iya Pak...” jawabku. “Bapak asli sini?” tanyaku balik.
“”Ndak nak, saya dari Wates. Saya tukang becak,” balasnya yang lalu ikut membakar rokok.
“Nak, sekali lagi, kamu di sini saja. Nanti kalo kopinya habis, ibu tambah lagi, gratis. Ya?!” sepertinya nada meminta.
“Kenapa to bu? Ada apa sebenarnya?” aku penasaran.
“Itu tempat ndak baik nak, tempat begituan..,” sela si tukang becak dengan sedikit pelan sambil melahap pisang goreng.
“Oala….saya mengerti bu, pak. Terimakasih sudah mengingatkan. Tapi, ndak apa-apa saya di sini” tanyaku.
“Ya ndak apa-apa nak. Ibu malah terimakasih ada yang nemanin,” jawabnya.

Aku tak tahu berapa lama tertidur. Yang ku tahu, ibu warung kopi itu perlahan membangunkan aku. Karena hari sudah mulai terang, ia harus menutup warung dan pulang mengurus cucu. Tak tampak lagi dua tukang becak tadi malam. Setelah membantu membereskan dagangan, ku cium tangannya dan tak lupa mengucapkan terimakasih.

Rokok sudah menyala, berjalan menyusuri trotoar, otakku berpikir...
”Ternyata masih ada orang-orang seperti mereka. Tak pernah kenal sebelumnya, tak juga tahu nama pada akhirnya, tapi sudah seperti keluarga sendiri yang harus dijaga.”

…………………………………………………………

Ujung jalan Malioboro menyambutku dengan sikap dingin. Sepi, tak banyak yang lalu lalang. Mungkin karena hari masih pagi, sedang toko-toko pun tak ada satu pun yang buka.
Saat menikmati rokok yang tinggal sebatang, terdengar samar gaduh suara musik. Sepertinya di depan sana, di tempat berkumpulnya banyak orang berseragam olah raga. Oh ya, hampir aku lupa hari, saat itu minggu, dengar dari si penyapu jalan, biasanya tiap hari itu ada senam pagi, bahkan tidak jarang sampai tengah jalan Malioboro.

Malioboro berakhir di sebuah perempatan. Seni Sono, sanggar seni dengan sebuah gazebo besar terbuka yang kemudian kujadikan tempat istirahat. Terlihat beberapa anak setengah baya yang masih tertidur pulas di atas lantai kayu gazebo. Sepertinya mereka asli yogya, maaf, sepertinya anak jalanan. Kira-kira mereka berusia antara 12 hingga 16 tahun.

“Mas, pendatang?” tanya seorang laki-laki setengah baya sambil menawarkan rokok.
“Iya, saya dari Jakarta. Ingin mengadu nasib di sini,” jawabku sambil menyambar rokok darinya. “Mas sendiri asli sini?” tanyaku balik.
“Iya, bantaran Kali Code,” jawabnya yang langsung menyalakan rokokku.

Hampir satu jam kami berbincang, tentang suasana pagi sampai kehidupan malam di Yogya. Sedang matahari jam enam mulai terik, akhirnya ku tahu namanya, Herto. Aku sendiri mengaku sebagai Wawan, karena kebetulan aku suka Iwan Fals.

Jalan depan Seni Sono mulai ramai dan kehidupan Malioboro pun semakin terasa. Satu per setu toko mulai dibuka. Para penjual di teras toko mulai terbangun dan menata dagangannya. Walau santai tapi semakin padat. “Ayo ke gubukku, Wan,” ajaknya pada ku sambil bergerak berjalan santai.

Rumah itu, rumah almarhum nenek Herto. Rumah berukuran 5 x 5, terdiri dari ruang tamu dan satu kamar tidur, sedang kamar mandinya adalah milik bersama warga sekitar yang letaknya di halaman depan. Kakeknya sudah lama mendahului sang nenek, entah dimana orang tuanya. Prek, tak sanggup aku bertanya jauh.

Bertemu sang istri, ternyata kelahiran Cijantung, Jakarta. Satu anak laki-laki berusia dua bulan yang sampai saat itu belum bernama. “Silahkan masuk Mas,” katanya.
“Iya Mbak, trimakasih,” jawabku.
“Mandi saja dulu, kamar mandinya itu di depan,” kata Herto sambil jarinya menunjuk ruangan 2 x 2, berdinding “gedèk”.
Tanpa lama, aku langsung mandi. Ahh, segarnya! Pertama kali aku mencicipi air sesegar ini di Yogya. Ternyata saat aku mandi, Herto dan istrinya menyiapkan sarapan, dua gelas kopi dan sepiring pisang goreng. Sambil menunggu Herto mandi, aku bercanda dengan si kecil. Bayi laki-laki itu sehat, putih bersih, kata sang istri untung tak seperti bapaknya yang hitam. Matanya tajam, tapi tak berat untuk tersenyum dan tertawa padaku.

Tak lama, kopi sudah membasahi tenggorokan sementara pisang goreng pun sudah dua yang masuk dalam perut kami.

“Sementara ini rencana kamu apa?” tanya Herto sambil meneguk kopi.
“Gini Mas…,”
“Waduh ndak usah formal, kita se-umur. Biasa saja, panggil saja namaku, Wan” potong Herto.
“Seperti yang tadi aku jelaskan, aku ingin mengadu nasib di Yogya. Untuk itu, aku harus mencari tempat tinggal, kontrakkan,” jawabku serius tapi tetap menggendong si keci yang sepertinya suka jenggotku.
“Gini, hari ini aku bantu mencari kontrakkan. Tapi, kalau belum dapat, sementara untuk dua-tiga hari, tinggal saja dulu di sini,” sambut Herto.
“Waduh, sebelumnya terimakasih. Tapi terus terang aku sungkan sekali,” balasku. “Aku bukan siapa-siapa, kenalpun kita baru.”
“Ndak apa-apa, ya toh bu?” potong Herto sambil melirik istrinya.
“Iya, iya…ndak apa-apa. Kelihatannya, si kecil juga suka sama sampean,” jawab sang istri sedikit kaget.
“Baiklah, sekali lagi, saya menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya,” balasku.
…………………………………………………………

Keluar lingkungan Kali Code, kami mampir sebentar di pangkalan bis sebelah Arma 11. Setelah menyapa beberapa kawan Herto dan membeli rokok, kaki ini menapak menuju alun-alun. Pos polisi kecil, sebelah Kantor Pos dan Gerbang Alun-alun menyambutku. Tampak sedikit di pojok, Masjid Agung Yogya. Kami menuju salah satu dari warung lesehan malam hari di alun-alun yang sedang dibereskan.

“Mbak, Mas, kenalkan, ini saudaraku dari Jakarta,” kata Herto pada seorang perempuan dan laki-laki setengah baya yang sedang membereskan dagangan.
“Wawan…,” kataku sambil menjabat tangan mereka.
“Saya Pur, ini istri saya Sum,” sambut laki-laki berbadan gemuk sambil melipat beberapa tikar.
“Ada apa To? Tumben pagi-pagi sudah nyambangi aku, kangen ya?!” tanya Mbak Sum.
“Gini lho Mas, Mbak…Wawan ini mau cari kontrakkan, bisa bantu?” tanya Herto.
“Lho, memangnya di rumah mu kenapa?” tanya Mas Pur.
“Saya sungkan Mas…,” sela ku sambil ikut membantu membereskan terpal atap warung mereka.
“Mau di rumah kami?” tanya Mas Pur. Aku dan Herto saling pandang, ada sedikit kaget dan senang. Aku kaget karena tak menyangka secepat ini, tapi sangat senang karena ada pilihan cepat. Sementara Mas Pur duduk santai dan sambil membakar rokok kretek. “Rumah saya agak jauh, kamarnya pun sederhana saja. Gimana?” tanyanya kembali.
“Kapan bisa saya lihat Mas?” tanyaku semangat.
“Ya, setelah ini…sesudah di sini beres, kamu bisa ikut kami pulang. Tapi karena kami naik sepeda pancal, kamu dan Herto naik bis,” Mbak Sum ikut bicara.
“Baik Mbak…,” balasku tambah semangat.

…………………………………………………………

Aku dan Herto turun di sekitar jalan Wates, menuju sebuah kampung di ujung gang. Beberapa hari kemudian yang kudengar ternyata kampung itu terkenal sebagai daerah “adu ayam”.

Mas Pur dan Mbak Sum sudah terlihat menunggu waktu kami sampai. Mereka menyambut kami dengan kendi air putih. Tak perlu lama, Mas Pur mengajak melihat kamar yang diusulkannya. Sementara Herto terlihat berbincang santai dengan Mbak Sum dan anak perempuannya. Rumah mereka yang membelakangi jalan raya itu walau cukup besar dan sudah modern tapi sangat sederhana. Belum semua bidang rumah terkena olesan kapur. Kaca dan kusennya biasa saja. Pada rumah utama terdapat ruang tamu dan tiga kamar tidur. Di belakangnya terdapat dua lagi kamar tidur dengan gedèk sebagai pembatasnya. Di antara dua rumah itu terdapat lorong yang menghubungkan dapur, halaman rumah bagian depan dan kamar mandi yang terletak di luar belakang rumah. Kamar mandi yang hanya terdiri dari satu bilik berdinding seng itu, ternyata juga digunakan oleh para tetangga, maklum ada satu sumur besar di sampingnya.

“Kalau kamu berminat, ini kamarnya,” kata Mas Pur sambil membuka pintu kamar.
Kira-kira kamar yang memanjang itu berukuran 4 x 9. Hmm, otakku berpikir, bisa dibagi menjadi tiga ruang; satu kamar tidur, satu tempat barang-barang dan satu ruang tamu. “Berapa Mas?” tanyaku langsung.
“Karena sebenarnya kamar ini tak kami pakai…ya…tiga puluh saja per bulannya. Gimana?” tanyanya balik.
“Tiga puluh ribu? Bener nih Mas?” tanyaku sedikit menggoda.
“Iya. Kenapa? Mahal ya? Hmm...” sejenak Mas Pur terdiam. Lanjutnya, “Gini, karena pintu masuk ke kamar ini dari belakang rumah...dekat sumur...Ya sudah, dua puluh lima saja. Pas lho!”
“Oke, jadi Mas,” jawabku sambil menjabat tangannya. Dompet ku buka, mengambil lima lembar uang dua puluh ribuan, “Ini Mas, saya bayar langsung untuk empat bulan.”
“Lho..kenapa langsung? Kamu yakin? Saya ndak mengharapkan seperti ini, biasa saja, perbulan saja ndak apa-apa. Nanti kalau kamu butuh?” tangannya sedikit menolak.
“Ndak apa-apa Mas, saya masih punya tabungan,” jawabku.
“Sebelumnya, terimakasih ya, Wan. Sudah, ayo kita makan! Sum!” Mas Pur berteriak pada istrinya.

Di tengah suasana makan, aku bercerita sedikit tentang latar belakangku. Pada awalnya kening Herto sedikit meninggi, mungkin karena merasa tak dipercaya sebab tak terucap dariku sebelumnya, kepadanya. Tapi akhirnya tatapan matanya seperti dapat menerima kisahku. Bagi Mas Pur dan Mbak Sum, itu biasa saja, mereka bisa mengerti.

Aku pun mengungkapkan rencanaku, bahwa untuk hari ini aku masih menumpang dulu di rumah Herto. Baru besok barang-barang akan kubawa. Lusa aku ke Jakarta, tiga empat hari kemudian baru bisa menempati kamar. Dan , untuk sementara waktu itu, biarlah Herto yang memegang kunci. Mas Pur dan Mbak Sum bisa mengerti itu juga.

…………………………………………………………

Hari sudah menjelang pukul dua siang, saat aku dan Herto jalan kaki, berniat kembali ke Malioboro. Makian Herto membuatku kaget.

Tai Laso! Sialan kamu Wan, maunya ku cerita bohong bahwa kamu itu saudara dari istriku yang di Jakarta, eh…sudah lebar ceritamu pada mereka,” maki Herto sambil menyikutku.
“Ndak gitu To, mereka itu orang baik. Kamu kan juga sudah kenal mereka lama, pasti mereka juga sudah mengenal kamu. Nah, dari pada nanti aku yang malu karena tinggal bersama mereka, lebih baik aku cerita saja sekalian. Kamu gak tahu malu kan?” tanya ku canda.
“Tai Laso! Iya sih….,” sambut Herto sambil merangkulku. Kami saling pandang sebentar lalu tertawa terbahak menyusuri Malioboro.

Para pedagang Malioboro sudah mulai merapikan barang mereka. Baju batik, tas, ikat pinggang kulit, kalung dan bermacam jenis lain yang menjadi incaran turis lokal dan luar negeri. Kalau ku perhatikan, barang dagangan seperti itu sebenarnya di Jakarta atau daerah lain juga ada. Mungkin suasananya yang tak dimiliki daerah lain. Itu yang tak bisa diukur dengan uang!

Stasiun Tugu di ujung Malioboro mulai ramai saat kami datang. Setelah mengambil barang di penitipan, kami berencana kembali ke Kali Code. Tak lupa aku menyapa ibu penjual kopi yang memberikan “tempat” padaku pagi buta tadi.

“Sudah mau mulai jualan lagi bu?” tanyaku mengagetkannya.
“Eh, kamu. Darimana Nak?” tanyanya kembali.
“Mengambil barang yang saya titipkan bu,“ jawabku. “Kopi dua ya bu..,” pintaku.
“Iya nak. Lho, kamu kenal Herto ini nak?” tanya sang ibu sambil meracik kopi.
“Aku..gitu loh…,” Herto menyela sambil kepalanya manggut-manggut dan mencaplok tempe goreng.
“Iya bu, Herto ini yang nolong saya,” jawabku sambil mencicipi pisang goreng. “…saya dapat kamar kontrak di jalan Wates, di tempat Mas Pur dan Mbak Sum, pedagang lesehan alun-alun..”
“Oalah…ya syukur nak, mereka orang baik-baik kok. Kecuali yang satu ini…ndablek..,” katanya sambil melirik Herto yang tak putus menyantap gorengan.
“Sebenarnya saya baik lho mbok…,” sela Herto terkekeh.

Hampir satu jam kami berlabuh di warung itu. Tak terasa adzan magrib bergema waktu aku menyapa istri Herto. Sementara si kecil sudah terlelap dalam dekapan sang ibu, Herto memasukkan barang-barangku ke kamar.

…………………………………………………………

Aku terbaring di balè bambu depan rumah, tangan kiri kulipat menjadi alas kepala. Rokok ku hisap dalam-dalam, menarik nafas panjang, mencoba bersyukur dalam hati…

“…betapa beruntungnya aku, bertemu dengan orang-orang yang walau tak pernah ku kenal sebelumnya, tapi dalam waktu yang sangat singkat sudah seperti keluarga dekat…”

…………………………………………………………

Mataku terbuka saat hari sudah gelap. Sambil duduk, masih di balè bambu, kupandang ke kiri dan ke kanan. Lingkungan Kali Code agak sepi. Herto dan istrinya pun tak tampak. Prek, ku putuskan untuk mandi saja.

Tak lama, muncul Herto menggendong si kecil dan istrinya membawa tas plastik berisi sesuatu. Makan malam ternyata! Kali ini si kecil sedikit rewel, tak mau ia padaku, ternyata minta susu ibunya, ASI, minta “jatah” makan malam juga dia. Setelah membereskan makanan sang istri sudah menempelkan si kecil di dadanya, terdiam si kecil. Herto dan aku menyantap makanan dengan lauk tempe bersayur asem, sederhana saja. Prek, nikmat sekali!

Malam ini Herto rencana mengajakku kembali ke alun-alun. Sebelum keluar aku mengambil “sesuatu” dari kamar, lalu kemudian berlari kecil menyusulnya. Tak lupa aku pamit pada istrinya, sementara si kecil sudah tertidur pulas.

Kami jalan sedikit memutar, melewati Sarkem. Ramai, tambah malam tambah ramai. Hampir di sepanjang jalan depan Sarkem, tak sedikit perempuan berdandan minim tampak mempertunjukkan diri. Entah sekedar bercengkrama, basa-basi bicara, atau mungkin bahkan “transaksi”. Satu dua orang dari mereka menyapa Herto. Jujur aku sedikit gemetar waktu ia memperkenalkanku. Untung saja tak lama, sambil lalu saja. Prek, tai laso!

Kami juga sesekali berhenti di sepanjang Malioboro, sekedar menyapa kawan Herto, pedagang kaki lima, sekaligus juga mengenalkanku. Malam hari, ada “nilai tambahan” di Malioboro, mulai penjual makanan lesehan dan gerobak serta pengamen, membuat suasana semakin hidup. Hingga lalu lalang kendaraan bermotor, dokar, becak dan pejalan kaki tak juga mau kalah ikut meramaikan. Prek. makin sumpek!

Malam hari di Seni Sono pun tak kalah ramai. Pedagang makanan kaki lima mulai sore membuka tenda-tenda dan gazebo jadi tempat makan selain sebagai tempat “transit istirahat” antara Malioboro dan alun-alun. Anjal-anjal tak kalah ramai di situ. Sementara pintu utama ke galeri seni sudah tertutup rapat.

Di sebelah kantor pos, sudah menunggu sekitar sepuluh kawan Harto. Dua diantaranya adalah perempuan, maaf, lontè. Dua perempuan itu tampak mesra padanya. Setelah, entah dari mana, Herto memberikan padaku sebungkus rokok dan sebungkus lagi dia masukkan ke kantong celananya, ia mengajak dua perempuan itu ke belakang kantor pos, tanpa komentar. Tak mau bingung, aku berbasa-basi dengan yang lain. Prek, SKSD saja!

Hampir setengah jam kemudian mereka kembali bergabung. Aku tak tahu, spontan saja aku keluarkan “sesuatu” dari dalam tas, ku berikan pada Herto yang lalu membagikannya sembunyi-sembunyi pada yang lain. Saat kami menuju alun-alun, yang lain tak ikut. Tapi, "ucapan terimakasih" sempat mampir di pipiku dari salah satu perempuan tadi. Herto tersenyum padaku. Prek, aku nikmati saja!

…………………………………………………………

“Dapat dari mana Wan. “koplo” tadi?” pertanyaan pertama dari Herto saat kami tidur-tiduran di lesehan Mas Pur dan Mbak Sum.
“Mbak aku minta kopi ya.. Kamu apa To?” tanyaku tak menanggapi pertanyaannya.
“Dapat dari mana Wan?” tanya pertama yang diulang meluncur lagi.
“Waduh, ada turis lokal nih,” sapa Mbak Sum.
“Ah, Mbak ini bisa saja..,” balasku sambil mengambil kopi di belakang.
“Masih banyak?” pertanyaan ke dua terucap dari Herto. Aku diam saja sambil menumpahkan kopi yang masih panas ke tenggorokan.
“Tai laso!!!” nada Herto tinggi sambil memitingku. Aku tertawa terbahak melihat “dapur” Herto memerah menahan marah, padahal hitam kulit di wajahnya.
“Emang enak di-cuek-in?” ucapku. Lalu lannjutku, “Kamu di kantor pos ngapain saja tadi? Kayak ndak ada orang lain.”
“Tai laso! Balas ya kamu Wan? Ya maaf, aku ndak kuat “nahan”, sudah di jidat nih,” katanya sambil beberapa kali memukul jidatnya sendiri.
“Lha, istrimu?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi.
“Yang di rumah ya biar di rumah, di luar aku cari lagi,” katanya dengan tertawa.
“Ya gitu itu Herto…,” Mas Pur yang baru muncul ikut menanggapi lalu ikut duduk bersama kami.
“Sampean ikut-ikut saja Mas...” balas Herto tampak sedikit malu.

Aku lalu menceritakan hal yang beberapa hari lalu terjadi di kereta. Mas Pur tak lama bergabung sebab kelihatannya Mbak Sum kewalahan, disibukkan oleh pembeli yang mulai banyak mampir. Aku dan Herto memutuskan duduk sedikit ke belakang, pas di pinggir di trotoar.

Satu “hal” yang akhirnya terucap dan aku mohon Herto bisa mengerti, tentang mengapa beberapa hari kedepan aku harus ke Jakarta. Aku harus laporan kepada “bos besar” apa yang terjadi pada kawanku kemarin di kereta. Yang jadi masalah, sepertinya aku harus menggantikannya, untuk jalur Jakarta-Yogya.

Tak sering itu kulakukan itu, paling satu kali dalam dua bulan. Yang pasti lagi, aku tetap akan kembali ke Yogya. Aku mohon untuk satu hal itu ia tak ikut-ikutan, anggap saja ia tak tahu. Ia bisa mengerti itu, bahkan sambil tertawa ia mengingatkanku apabila ada lebih, jangan lupa “bonus”nya. Kuberikan satu “papan” padanya, sembunyi-sembunyi tentunya. Prek, sialan, tai laso!

…………………………………………………………

Waktu Mas Pur sudah lebih santai, ia kembali bergabung. Sementara itu Herto permisi entah kemana. Tanpa bercerita lebih, ku ungkapkan padanya bahwa sepertinya mungkin besok aku ke Jakarta. Hari senin jadi pilihanku sebab biasanya kereta lebih sepi. Biarlah Herto yang membawa barang-barangku ke kontakkan. Mas Pur menerima, santai saja. Mbak Sum kembali sedikit kewalahan, dari pada diam, aku memutuskan membantu mereka. Entah mencuci piring, gelas dan sendok atau mengantarkannya pada pembeli.

Hmm, di sela-sela itu, saat tak ada pesanan pembeli yang menyibukkan, saat rokok bisa kuhisap dalam-dalam, aku sangat menikmatinya. Ternyata seperti ini suasana malam di lesehan alun-alun Yogya. Sepanjang trotoar, jalan melingkar seberang alun-alun, terdapat warung-warung lesehan, beberapa WC, tempat penitipan sepeda motor dan sepeda pancal atau ontèl. Warung beratap terpal, remang-remang tanpa listrik. Jenis dagangannya pun hampir sama, seperti jagung atau roti bakar, teh, kopi, susu, kopi susu hingga wèdang jahe. Tak ada suara musik berlebihan, tak ada rasa persaingan. Sementara itu dua pohon beringin tetap berdiri tegar di tengah senyap alun-alun yang gelap tak berlampu. Semua menikmati waktu. Mungkin karena itu malam terasa sangat panjang. Semua berjalan perlahan saja, tak ada yang diburu waktu, tak seperti Jakarta. Prek, I fall in love with this city...

…………………………………………………………

Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang perjalanan dan keadaan, “jalur” Jakarta-Yogyakarta. Paling sekedar cerita, laporan ke “bos besar” di Jakarta, bawa dengan jalur kereta, diletakkan di gerbong A, menyingkir ke gerbong lain, sampai, drop “stok” di satu “hotspot” di Yogya, laporan ke Jakarta via telepon, selesai! Seperti itu saja, selama enam bulan berbeda dalam setahun. Prek, yang penting aman-aman saja. Beres!

Kalau “Koes Plus” menciptakan “Ke Jakarta aku kan kembali”, maka aku juga punya fersi sendiri “Ke Yogyakarta aku kan kembali”.
…………………………………………………………

Hidup sehari-hari di Yogya sangat kunikmati. Pagi hari bersama Herto, pagi-pagi sekali, saat jam berangkat kerja atau sekolah dimulai, kami sudah berada di dalam bis. Gitar bolong hitam dan kaos oblong tipis, selalu menemani, jadi saksi berpuluh lagu keluar berirama dari mulut ini. Ku akui lebih banyak “Iwan Fals”-nya. Ngamèn, way not?

Pangkalan bis bayangan di sebelah Arma 11 jadi tempat awal dan kembali menjadi akhir tujuan. Di pangkalan rasanya sudah lengkap tersedia kebutuhanku, mulai penjual rokok sampai gerobak makanan untuk sarapan dan makan siang. Tak jarang, ku akui juga, tak sedikit kali kami berhutang. Ahh, tentunya tetap pasti kami lunasi.

Aku sampai punya “langganan”, mulai dari “tante-tante”, anak sekolahan, mahasiswa hingga pembantu rumah tangga dan tak jarang mereka mengajakku “kencan”. Yang pasti, tak mau mereka membayar ke Herto. Dan, kalau sudah begitu, cuma dua kata yang keluar dari mulut Herto “Tai Lasso!”.

Tak bisa kami bunyikan gitar dan keluarkan suara mengharap imbalan di Malioboro, ada sebuah “etika” bersama, tak boleh dilanggar. Begitu pula sebaliknya. Bila sekedar saling mengunjungi atau bergitar bersama di pinggir jalan, biasanya di pojok bagian luar pagar benteng, teriak-teriak tanpa imbalan, tak ada yang larang.

Tapi kalau sudah begini, alkohol pasti selalu ada disamping. Tapi kalau sudah begini, jangan kaget saat sedang “tinggi”, kalau tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat di depan dengan beberapa pria berjaket hitam yang lalu turun sambil mengokang senjata. "Cakupan", selalu menghantui! Prek, tak akan mudah aku terkena razia, sebab minimal aku masih punya KTP!

…………………………………………………………

Tak jarang, saat malas pulang ke kontrakkan, kami tidur di lesehan Mas Pur dan Mak Sum. Atau tak jarang pula tidur di Seni Sono.

Suatu saat...
Pagi sudah datang, saat sinar matahari menyilaukan mataku. Aku terbangun di suasana pagi Seni Sono. Herto terlihat masih tertidur pulas di samping beberapa anjal dan terlihat juga ada beberapa dari mereka yang sudah terbangun. Sementara badanku mulai gatal, mandi di Seni Sono keputusanku. Hanya dengan seratus rupiah, waktu itu, air segar sudah bisa menghilangkan penat.

“Mas, mau mandi?” tanya seorang perempuan.
“Iya, kenapa?” tanyaku balik.
“Boleh saya ikut?” tanyanya kembali.
“Tapi..,” mulutku tak bisa bicara lain.
“Ndak apa-apa, di sini sudah biasa kok. Ndak usah malu, ayo! Tapi, Mas yang bayar ya?” katanya sambil mengambil tas dan sedikit menarik tanganku.

Selesai mandi, yang membuat aku tambah kaget setengah mati dengan mulut yang masing melongo dan tatapan tak percaya, perempuan kecil tadi memakai baju seragam biru-putih, SMP!

Gila, hanya dengan seratus rupiah, ada kesempatan mandi bersama! Prek! Gila!

…………………………………………………………

Dengan sedikit kemampuan “speaking english”, kami menjadi "guide". Ada “etika”-nya juga, tak seperti guide amatir lain yang berlari mengejar dan berusaha meng-“gaet” turis, kami tak akan mengejar para bulè, biar mereka yang mendatangi. Biasanya akan terasa sangat tak nyaman kalau si turis sampai berkata dengan nada tinggi “...keep your own business...”, tanpa “...no thanks...”.

Kami duduk santai, biasanya di Seni Sono. Saat bulè mengajak bicara, kami pura-pura tak minat, basa-basi, acuh tak acuh saja. Tapi begitu mereka mulai bertanya tentang bagaimana dan dimana mendapatkan suatu souvenir, itu kesempatan kami! Herto sebagai orang asli Yogya akan menuntun ke galeri mana kami pergi, begitu sudah dekat, ia akan mendahuli, mengambil “kartu”, sedangkan aku akan terus mengajak si turis bicara. Setelah selesai, Herto juga yang akan mengambil “persen” dengan kartu tadi.

Tak jarang kami juga memberikan masukan pada si bulè, misalnya bagaimana cara membawa uang tunai dengan aman. Pernah suatu saat, Andrew, bulè dari Kanada, kami berikan masukan itu dan ia tanpa ragu melakukannya! Memang aman, tapi setelah itu aku dan Herto tak kuat menahan tawa. Bagaimana tidak? Setelah ke money changer, Andrew membawa “cash money”, tiga juta rupiah, dalam tas plastik hitam bercampur dengan pisang goreng! ha...ha...ha...ha... Kasihan si petugas kasir galery, “...maaf ya Mbak...” ha...ha...ha...ha...

Sesekali, becak milik kawan, kadang iseng sering kujadikan penghasil tambahan, tujuan yang dekat-dekat saja tentunya. Walau akhirnya, tetap harus minta pijat ke Mas Pur.

Rata-rata, setelah kami bagi berdua hasil sehari dan kusisihkan biaya hidup harian, rutin setiap bulan satu kali, aku tabung ke bank pemerintah di pojok jalan.

…………………………………………………………

Penghasilan kami sangat terasa lumayan saat ada “sekatènnan”, acara rutin tahunan dari Keraton Yogyakarta, saat mencuci dan meng-kirab puska-pusaka menjelang “satu suro”. Selama satu minggu alun-alun akan sangat padat oleh berbagai macam acara dan penjual. Otomatis, pengunjungnya pun tak sedikit, dari warga asli, turis lokal bahkan mancanegara. Tapi, justru pada saat itu pula hal-hal “negatif”, kriminal, biasanya sering terjadi.



Suatu hari, entah kapan...
Pernah, aku bersama anak-anak Kauman bergabung dalam “Joksin”, Jogja Sinting atau Joko Sinting. Bekas tato “Kepala Garuda”-nya pun sampai saat ini tak bisa hilang dari tanganku. Untuk bisa diterima, setiap anggota wajib menjalankan “tradisi”, cari korban dan membawa hasil. Sekatènan adalah kesempatan yang paling baik bagi kami. “Tiga Dimensi” (ganja, pil dan alkohol) ku jalankan sebelum kulakukan tradisi itu. Yang kutahu, waktu tersadar...seseorang terkapar di jalan di hadapanku, depan pos polisi kecil seberang kantor pos. Aku lari menembus kerumunan orang, menyusuri malam, menuju kontrakan. Ku kunci pintu dan matikan lampu. Entah sudah berapa batang rokok yang ku habiskan. Masih terbayang terus, entah berapa butir koplo yang aku habiskan, membuat degub jantung tak karuan. Dalam kepulan asap ganja dan bau alkohol terbesit asa, semoga tak ada yang mati. Masih sempat terucap do’a, semoga aku diampuni!

Entah jam berapa aku tersadar setelah tertidur, dalam gelap ruang dan malam, hampir subuh mungkin. Kuputuskan untuk mandi agar membuatku semakin sadar. Bermaksud ke sumur belakang rumah, saat pintu ku buka... seorang perempuan setengah baya, tetangga belakang rumah...berdiri menatapku sambil menyeka rambut panjangnya dengan keadaan...maaf, “telanjang bulat”... Masih teringat, sempat terlontar walau dengan suara pelan, tawarannya untuk mandi bersama. Setan! Entah kenapa godaan seperti ini datang? Prek, tanpa berkata, aku masuk dan mengunci pintu luar serta kamar!

Entah jam berapa lagi aku terbangun, kelihatannya sudah sore. Suara Herto terdengar memanggil. Perlahan, dengan setengah merangkak, aku membuka pintu. Ia dan seorang perempuan masuk dengan cepat lalu langsung mengunci pintu kembali.

“Kamu ndak apa-apa Wan?” tanya Herto.
“Aku bikinkan kopi ya?” tawar si perempuan sambil mengusap rambutku yang lalu beranjak pergi.
“Tai laso!” kalimat pertama yang keluar dari mulutku. “Semalam kemana saja kamu To?” tanyaku lanjut.
“Dengan si itu tadi, Yuni,” jawab Herto. “Santai saja, dia bisa dipercaya kok,” lanjut Herto sambil menyambut dan meletakkan dua gelas kopi dari si perempuan.
“Aku Wawan..,” kataku saat mataku bertatapan dengan si perempuan.
“Aku Yuni..,” balasnya saat aku mencoba duduk bersila.
“Yuni bisa kita percaya Wan,” tegas Herto kembali.
“Matamu To!” nadaku tinggi. Tanyaku kemudian, ”Bukan itu masalahnya! Kalau aku tertangkap tadi malam gimana? Cah-cah, ndak terlihat satu pun! Setan!”
“Sebentar, aku mau menjelaskan. Kamu ndak usah kaget dan jangan marah ya, Wan,” jelas Herto sambil minum. “Tadi malam, waktu tinggi, ndak tahu gimana, saat sadar aku ada di tempat Yuni...”
“Iya Wan, muntah-muntah Herto, malu aku sama ibu kost ku,” potong Yuni.
“Yang aku dengar, waktu kamu lari, cah-cah lari juga, memisahkan diri. Tetap ada beberapa yang mengejar kamu, tapi ndak ada yang bisa ngejar. Gimana bisa? La wong, kamu lari kayak setan!,” jelas Herto lagi.
“Apa lagi mereka mabuk ya?! Mungkin malah nyasar? Atau...” potong Yuni. Belum sempat ucapannya selesai, tiba-tiba kepala kutegakkan, mataku memandang tajam ke Herto dan Yuni. Mereka berdua sedikit menarik badan ke belakang.
“Ha...ha...ha...ha...,” aku tertawa terbahak-bahak. “Apa ada yang nyasar ke kantor polisi?” pertanyaan konyol ku itu membuat mereka malah ikut tertawa, terbahak-bahak juga. Kutambah lagi ceritaku soal tetangga perempuan belakang rumah yang kukira setan, tambah terbahak kami...

Mas Pur dan Mbak Sum sepertinya mengetahui kisahku, mereka santai saja, sikap mereka seakan tak terjadi apa-apa. Satu kalimat yang keluar dari Mbak Sum, “Saya bisa ngerti kok Wan.” Pendek, penuh misteri tapi menentramkan hati. Sesekali Mas Pur datang, sembunyi-sembunyi, membawakan aku alkohol. Sesekali juga, sembunyi-sembunyi, ku berikan “buah tangan” dari sisa “stok”-ku. Yuni dan Herto setiap hari pasti mampir, walau tak jarang hanya sebentar, mereka membawakan makanan atau beras dan lauk pauk untuk dimasak. Sial, hampir satu bulan aku tak keluar kamar kecuali untuk mandi! Prek, kupaksakan diri untuk santai saja.

…………………………………………………………

Dalam keterasinganku...di suatu hari, entah kapan...di tengah malam, entah pukul berapa...
Aku tersadar dari mimpi! Yang teringat jelas adalah bayangan wajah nenekku dan Dian! Dalam kesempatan itu, saat nyawa belum lagi lengkap terkumpul, aku bertanya dalam hati, selain wajah nenek, kenapa harus wajah Dian?

Terlihat jelas senyum manis nenek, waktu ku datang untuk makan walau hanya tahu penyèt dengan sambal petis dan kacang. Juga tergambar jelas, senyum manis Dian, saat memakaikanku jaket. Elusan tangan nenek di kepala ku, saat bersama mendengar ucapan salamku padanya di radio transistor, hangat masih terasa. Genggaman tangan mungil Dian waktu berjalan bergandengan menyeberang jalan depan sekolah. Seakan baru kemarin semua itu terjadi.

Keningku berlipat-lipat mencoba mencari jawab, namun tak ku temukan! Berharap, pada asap rokok “campuran” yang bergelantungan, tak juga ku temukan jawabnya. Mencoba mencari jawab pada bergelas-gelas sloke alkohol dan pil-pil setan, tak juga berguna, percuma! Hingga saat sinar matahari menembus sela-sela atap genteng yang berlubang entah berapa ratus, masih tak kudapat juga.

Prek, ada apa ini? Pertanda apa ini? Maksudnya apa? Ada panas bergetar di dada, bergemuruh ramai sekali! Entah kenapa tiba-tiba ada rindu? Lalu, kenapa berubah jadi tiba-tiba cemas? Sedang keringat dan air mata mengalir deras tak bisa kubendung? Mengapa badanku lemas tak bertenaga, tanganku tak kuat lagi menggenggam? Apa sebab mata tak lagi bisa kubuka, sementara saat terpejam bayang mereka silih berganti menampar ingatanku, semakin lama semakin jelas? Dan entah berapa rangkai lagi pertanyaan yang seakan seperti kawat berduri, menjejali kepala. Tak juga kutemukan jawabnya...

Dan, waktu tak kuat lagi ku bendung suara-suara bayangan batin itu dan memikul beban tak berbentuk, setiap sendi-sendi di seluruh tubuh seperti terlepas, tubuhku melayang, jatuh terjerembab. Prek, tak sadar diri ini...

…………………………………………………………

Entah sudah berapa lama Herto dan Yuni berada di sampingku. Saat mataku yang berat mulai terbuka, tak terlalu jelas sosok mereka, blur. Hanya suara mereka yang terdengar, juga masih samar, sepertinya tenggelam jauh sekali di dasar. Sepertinya aku tertidur kembali. Prek, kutahu itu mereka!

Entah berapa lama kemudian, terasa sesuatu yang hangat mampir di jidatku. Waktu mata sudah sanggup kubuka, ternyata Yuni membasuhku dengan air hangat sedang Herto menghisap rokok sambil sibuk mengutak-atik walkman bututku.

“Sedang apa kalian di sini?” tanyaku dengan suara serak.
“Kamu tahu, kamu kenapa?” Herto malah bertanya. Yuni tersenyum saja padaku, lalu menanggapi, “Kalau tahu, tak mungkin Wawan bertanya To!”
“Kamu OD! Over Dosis! Tiga hari kamu tak sadar diri! Untung masih hidup kamu!” mata Herto tajam.
“Hah..???” hanya satu kata yang keluar dari mulutku.
“Maaf, Mas Pur terpaksa mendobrak pintu kamar,” kata Yuni sambil berjalan menghilang ke luar. Suasan hening sebentar, tak ada yang bicara, tak ada kata terucap. Yuni kembali membawa satu piring yang ternyata berisi bubur.
“Ayo Wan, pelan-pelan saja. Minum the ini dulu baru makan bubur,” pintanya.

Ku coba perlahan bangun dari tidur, mencicipi teh hangat lalu kemudian menghabiskan bubur dari piring kaleng. Aku malu pada Yuni, aku makan sendiri saja, sementara mereka berdua terlihat serius bercakap.

“Wan, ini ada jamu tradisional, bukan obat dari dokter tapi dari Koh Hari. Semoga kamu mengerti,” kata Herto memberikan tas plastik kecil.
“Sebenarnya kami agak ragu, tapi ini pemberian Koh Hari, cina pemilik toko alat musik. Pada awalnya ia bertanya mengapa beberapa hari lalu kamu tak tampak ngamen dan ia sangat respect saat kami menceritakan keadaannmu,” Yuni menjelaskan.
“Koh Hari titip pesan, semoga kamu cepat sembuh. Dan, bisa meneruskan cicilan gitar yang kamu mau...” jelas Herto sambil tersenyum.

Teringat pada suatu saat sebelumnya, wajah Koh Hari, pemilik salah satu toko di Kauman. Toko alat musik yang berukuran 4 x 5 itu, biasa saja, sederhana. Memang, pada suatu kesempatan, saat aku berjalan, aku mampir te toko itu.

“Cari apa?” tanya seorang laki-laki berumur sekitar 40 tahun yang akhirnya kutahu bernama Hari, pemilik toko.
“Cuma liat-liat Om,” jawabku singkat sambil memandang sekitar.
“Oo, lihat-lihat...ndak apa-apa,” lanjutnya.
“Koh...kalau aku berminat, kalau Koh mengizinkan, boleh saya cicil gitar ini?” tanyaku sambil menunjukkan sebuah gitar akustik biasa. “Tiap hari, atau kalau ada uang lebih, akan saya cicil. Ndak akan saya ambil sebelum lunas Koh, gimana? tanyaku kembali.
“Saya suka kamu walau baru kali ini kita bicara. Saya sering lihat kamu dengan gitar hitam itu. Ya bisa saja, bisa di atur,” katanya sambil menepuk bahuku.
“Trimakasih Koh...,” jawabku dan langsung ku gapai tangannya, ku cium dalam-dalam sebagai ungkapan terimakasihku.

“Ayo sudah, ndak usah mikir yang macam-macam, ini diminum jamu dari Koh Hari,” Herto membuyarkan lamunanku. Sementara Yuni menyodorkan segelas air putih.

Yuni...
Perempuan dengan status mahasisiwi sebuah perguruan tinggi swasta di Yogya ini berumur sekitar 20 tahun. Aku tak tahu dimana dan bagaimana Herto mengenalnya. Yang kutahu, Yuni selalu protes pada pemilik kost yang bersikap over feodal. Ia semakin dekat dengan kami saat tak malu ikut ngamen, suaranya juga lumayan bagus. Ia pun akhirnya sering nginap di tempatku.

“Wan..,” Herto kembali membuyarkan lamunanku.
“Ada apa To?” tanyaku balik lalu mencoba berdiri, berjalan mondar-mandir, sekedar mencoba kembalinya kekuatanku. Sementara Yuni terduduk bersilah, bersandar pada dinding, di samping Herto.
“Ada yang mau kami bicarakan..” lanjut Herto.
“Gini Wan...,” Yuni memotong. “Sebenarnya kemarin aku dikeluarkan dari kost, boleh aku nunut sementara di sini?” lanjutnya.
“Maksudku, sekalian Yuni merawatmu...” tambah Herto sementara aku masih mencoba menggerakkan tangan dan kepala yang terasa sudah lebih baik, lebih bertenaga.
“Yang pasti aku menerima dan sebenarnya malah aku yang berterimakasih pada kalian...” kataku sembari duduk. Lanjutku, “Aku juga yakin tak kan ada nilai yang bisa mengukur pengorbanan kalian.”

Tak lama, kami kemudian terlibat percakapan serius tentang keadaan di kota, seputar Malioboro hingga alun-alun. Keadaan masih “panas” setelah peristiwa Sekatènan, kata Herto. Mereka juga menganjurkan agar sementara aku “menghilang” dulu. Yuni yang selain merawat juga akan menemaniku, sedang Herto dan anak-anak lain tetap ngamen sekaligus memantau keadaan. Menurutnya, Mas Pur dan Mak Sum juga sudah tahu dan mengerti keadaanku, bahkan ikut mengawasi. Tak tahu bagaimana, kami kemudian saling merangkul...

Sungguh, tak ada nilai yang bisa mengukur persahabatan ini. Mereka semua bukan orang-orang yang memiliki materi lebih. Mereka semua sangat sederhana, apa adanya. Tapi, mereka semua sangat mengerti arti dari “nilai persaudaraan”.

…………………………………………………………

Saat dalam perawatan, saat aku tersadar...
Yuni menjelaskan bahwa dalam terpejamnya mataku, sering kupanggil nenek dan Dian. Ahh, aku hanya terdiam sambil menarik nafas panjang. Kembali dua nama itu mengusik pikiranku, selalu penuhi otak saat aku termenung.

Entah kapan terucap...
“Yun, sepertinya aku sudah sehat. Daripada hanya dalam kamar ini, sepertinya aku akan ke luar kota beberapa hari. Gimana?” tanyaku.
“Waduh, saya ndak bisa komentar apa-apa Wan. Coba nanti kita bicara dengan Herto,” balas Yuni.
“Aku malah bingung karena ndak bisa berbuat apa-apa, Yun. Bosan dengan keadaan seperti ini, sumpek!” kataku.
“Kalau untuk kesehatan, ya sebaiknya jalani seperti itu. Istirahat saja dulu, Wan,” balas Yuni lagi sambil menyodorkan kopi dan pisang goreng.
“Aku sudah sehat, Yun. Sekali lagi sudah sehat...,” jelasku saat pisang goreng hangat mendarat di mulut. “Jujur, apa kamu ndak bosan dengan keadaan ini? Tiap hari ndak bosan merawat aku? Kuliahmu? Ndak ingin ketemu kawan?” tanyaku tak habis.
“Maaf, bukan ingin menyinggung perasaanmu, tapi aku tentu tidak pernah akan bosan, sebab aku selalu bersyukur atas apa yang aku dapat,” jawabnya.
“Aku orangnya tak pernah mau diam, mungkin workcoholic! Aku inngin beraktifitas!” jelasku kembali.
“Ya, kalau menurutmu ke luar kota bisa menyelesaikankan masalahmu itu, aku bisa bilang apa?” kata Yuni datar.
“Gini, selain aku bisa beraktifitas, ada keinginan untuk mampir melihat nenek di Malang, Yun. Pikiranku akhir-akhir ini, entah kenapa, selalu teringat padanya,” jelasku.
“Oo, kalau begitu lain lagi ceritanya. Aku sih, setuju saja. Apa perlu ku temani?” tanya Yuni.
“Ndak Yun, sendiri saja...,” jawabku singkat sambil kembali termenung.