Showing posts with label Jejak Langkah. Show all posts
Showing posts with label Jejak Langkah. Show all posts

Monday, July 6, 2009

4 bulan kandungan istriku, Bali kami bawa kamu!

Nak, saat kami memutuskan untuk pergi ke Bali, ada ketakutan dan ragu yang menghantui... "Januari awal tahun 2009, tak jadi engkau memiliki dua kakak. Perjalanan jauh membuat mereka tak dapat bertahan?".

Satu hari sebelum berangkat, kami sepakat untuk melihat keadaanmu, siapkah kamu menempuh perjalanan menyeberang pulau Jawa ke arah timur Indonesia. Tanggal 1 Juli 2009, pagi hari, Dokter Bambang, memberikan pertimbangan yang cukup melegakan hati. Apalagi saat tampak dirimu dengan panjang 78,7 mm di dalam perut ibumu, sesekali bergerak dan terlihat tenang-tenang saja dalam 4 bulan umurmu.

Sebenarnya jauh dalam hati bapakmu ini, masih ada cemas, namum kusembunyikan dalam-dalam...

.........................................
RABU, 1 JULI 2009
.........................................

Perjalanan kami mulai sekitar jam 07:00 malam. Kupacu kendaraan dengan kecepatan biasa saja, tak lebih dari 80 km/jam. Aku berusaha membuat perjalanan menjadi nyaman untuk semua penumpang, khususnya untuk anakku dan istriku.


PAITON

Tak terasa, sekitar jam 11:00 malam, kelap-kelip lampu Paiton sudah menyambut di depan mata. Diputuskan untuk sejenak saja merenggangkan tubuh yang letih, tentu membuat istriku tampak begitu gembira. Senyumnya seakan tak pernah habis, tetap saja tampak di wajahnya yang bulat. Segelas mie instan pun ia habiskan. Semoga sedikit membuat hati anakku tenang dan obati laparnya juga malam itu.

Setelah menyantap habis satu piring nasi campur, sambil mencicipi kopi hangat bawaan dari rumah, sebatang rokok kubakar sebagai penghilang penat. Sesekali kuelus perut istriku yang semakin membesar karena hadirnya anakku. Sambil bercanda menepis cemas, sesekali pula kuabadikan moment itu. Tetap dalam hati ku panjatkan do'a, semoga anakku baik-baik saja di dalam sana. Uhh, perjalanan harus dilanjutkan, tujuan masih sangat jauh.

Satu per satu tikungan setelah Paiton dilalui. Gelap dan rusaknya jalan di alas Baluran membuat mata harus lebih awas. Tepat di salah satu tikungan tajam menanjak, sudah tampak dari jauh, sebuah truk gandeng besar tertidur, terguling mencium aspal.


.........................................
KAMIS, 2 JULI 2009
.........................................

KETAPANG - GILIMANUK

Sebentar saja, Pelabuhan Ketapang pun sudah tampak menyambut kami. Sekitar 04:30 pagi, hari masih gelap saat kami harus menunggu giliran untuk naik ke feri. Tak bisa juga kupejamkan mata ini walau hampir seharian tak tidur dan mulut selalu menguap. Kupilih turun, berjalan, menikmati suasana hilangkan letih.

Para penjual minuman hangat masih setia membuka lapak sambil sesekali menawarkan. Beberapa petugas pelabuhan sibuk mengatur antrian. Walau sempat juga tampak sebuah kendaraan roda empat, bermerk, berjalan mundur dari jembatan. Sepertinya ada salah hitung muatan untuk masuk feri, lucu juga! Tapi terjadi! Sementara di sudut lain cukup banyak truk-truk pengangkut sayur atau kebutuhan pokok berjajar menunggu giliran. Sesekali angin dari laut datang membawa aroma air garam, menerpa badan cukup kencang, mengingatkanku pada Ambon. Ahh, rindu aku!

06:30 pagi, matahari mulai bergerak naik, kendaraan kami akhirnya juga bergerak merangkak masuk ke dalam mulut feri. Seorang petugas menerima kami dengan mencatat nomor setiap kendaraan sebelum masuk feri sedang petugas lain bertanggung jawab mengatur parkir kendaraan dalam perut feri. Mereka bekerja sangat baik sekali. Lalu saat terompet kapal mulai berbunyi keras sebagai pertanda kapal harus bergerak, seorang petugas lagi santai saja bergerak naik ke geladak lalu menekan sebuah tombol kecil, pintu masuk besar kendaraan bergerak menutup. Di luar sana, seorang petugas lain melepas tambang besar sebagai penambat kapal ke pelabuhan.

Ahh..kapal bergerak juga. Sudah sangat lama tak kurasa naik kapal, jadi lega rasanya kembali berada di atas laut. Perlahan feri meninggalkan Tanah Jawa, meninggalkan Ketapang. Buih-buih ombak pun tercipta di setiap pinggir kiri-kanan feri. Walau kebutuhan keamanan standart telah terpenuhi, sebenarnya tetap ada sedikit prihatin dalam hati melihat keadaan kapal-kapal feri yang notabene kebutuhan utama angkutan antar pulau ini. Hampir di setiap bagian selalu saja lebih banyak bagian yang berkarat.


Setelah sebentar saja berada di ruang penumpang, aku ajak istriku ke atas geladak, mengambil beberapa gambar. Prek, tak malu aku pada yang lain. Senyum istriku tergambar walau ku tahu ia sembunyikan rasa sakit akan perutnya yang sedikit kaku. Atau mungkin, sebagai akibat anakku yang ingin memberikan tanda bahwa ia juga menikmati suasana itu.


Sekitar 45 menit perjalanan menyeberangi selat itu, sementara semakin tampak jelas pulau Bali di depan mata. Pelabuhan Gilimanuk terlihat sibuk, antrian feri tampak menunggu giliran untuk merapat.

Akhirnya, sekitar 07:15 pagi, setelah sekian lama tahun berlalu, ku injak kembali pulau Bali, sebuah tugu "Selamat Datang" di Gilimanuk menyambut. Kami jadikan tempat istirahat, sarapan pagi, sebentar saja.

Ahh, tenang rasanya, ganti supir, aku istirahat. Tak terasa mata semakin berat, tak kuasa ku tahan kantuk...



REST HOME

Hari sudah siang saat masuk kota Denpasar. Setelah sedikit putar-putar, kami menuju rumah kerabat Mas Sony dan Mbak Lun di kawasan Gurbenuran, Renon.

Rumah itu belum selesai semua walau pada dasarnya sudah layak untuk di huni. Dengan tiga lantai, sangat layak rasanya. Hanya saja belum seperti pada kebanyakan rumah, detail-detail khas Bali masih belum lengkap.

Makan siang dan mandi, istirahat kemudian jadi pilihan. Akhirnya, bisa juga badan ini terbaring diatas kasur, di pulau Bali. Ku lihat istriku sepertinya juga merasa sangat bahagia karena dapat istirahat.

Nak, istirahatlah pula kamu sejenak...


LEGIAN-KUTA

Sore menjelang malam, Mas Sony pulang dari kerja di Kantor Gubernur. Setelah semua mandi, perjalanan kami berikutnya menuju Legian, Kuta. Dalam perjalanan, satu pertanyaan yang ku ungkap, yang semenjak masuk Denpasar selalu saja mengganggu pikiranku, "Ada apa dengan masyarakat Bali yang mulai pagi hari tampak sangat sibuk, mobilitasnya sangat tinggi sekali?". Lun menjawab dengan santai, bahwa memang seperti itu adanya, semua orang sibuk menjalankan bisnis apa saja, khususnya yang berhubungan dengan pariwisata.

Legian menyambut kami dengan suasana khasnya. Walau waktu baru menunjukkan jam 06:20 sore, seluruh sisi kiri-kanan dan di setiap sudutnya tampak orang-orang sibuk berjalan kaki berbaur dengan kendaraan yang berjalan pelan kerena macet. Tak hanya bule, orang pribumi pun tak jarang lalu-lalang berjalan kaki dengan santai.

Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan menyusuri trotoar Kuta menuju Tugu Bom Bali. Pedis sudah kembali hidup menjadi sebuah club malam, waktu ku lintasi sudah terdengar suara musik bergemuruh. Sementara beberapa meter dari situ, Sari Club masih belum dibangun, hanya dibatasi pagar seng. Satu hal yang jarang diketahui masyarakat ternyata berada di tengah jalan, di bawah kendaraan yang lalu-lalang, terdapat sebuah tanda "bundar", tepat di situlah mobil pembawa bom berada dan akhirnya meledak.

Di sebuah tugu tepat di ujung jalan, sudah banyak orang yang tampak mengambil gambar atau sekedar melihat berbaris-baris nama korban bom. Aku tak menyiakan kesempatan itu, ku ambil beberapa gambar.

Satu yang menjadi catatan dalam kepalaku... "Nak...di sinilah sejarah mencatat bejatnya sebuah keyakinan yang salah kaprah! Nak, ternyata tak sedikit korban darah dari anak pribumi negara ini..."

.........................................
JUMAT, 3 JULI 2009
.........................................

RENON

Pagi menunjukkan pukul 07:30, aku dan istri sudah berada di sebuah tugu yang menjadi bagian "Lapangan Puputan Udayana" di Renon, tepat di depan Kantor Gubernur, dekat saja, hanya sekitar 500 meter dari rumah.

Sepertinya masih baru, jadi bisa dimengerti bila masih ada fasilitas yang belum bekerja semestinya. Tapi secara umum, ia sungguh menakjubkan. Semua elemen khas bali ada di situ, baik pada eksterior maupun interiornya. Pada setengah tower utama bagian dalam, terdapat loby tempat kita bisa melihat seluruh Denpasar, hampir berfungsi seperti Monas-Jakarta.


Yang membuat aku lebih terkesima, saat istriku meminta untuk di ambil gambarnya dengan latar patung di bagian luar monumen, kedua tangan patung tersebut ternyata seperti memberi tanda "peace".

Semoga tak ada lagi bom di Bali...







SANUR

Sekitar jam 09:30 pagi, pantai Sanur menyambut kami. Hari masih pagi tapi parkir sudah begitu padat. Berjalan kaki, santai saja menyusuri trotoar pinggir pantai dengan kios-kios pedagang souvenir di kanan. Sementara beberapa meter di kiri, ombak membelai mencium bibir pantai.

Kami sempatkan mengambil beberapa gambar dan menguji panjaja tato temporary. Te Piet dan istriku lebih banyak santai menikmati suasana sambil beberapa kali bercanda dengan si pembuat tato.

Aku menyusuri pantai, mengelus air laut dan mengambil gambar berlatar "bule-bule setengah bugil" yang terkapar di atas pasir menikmati terik matahari. Prek, selagi ada moment, aku santai saja tak peduli.

Nak, di daerah seperti ini dulu, aku, bapakmu di besarkan... Indah, tentram...entah bagaimana kabarnya sekarang?



SHOPPING

Waktu sudah menunjukkan pukul 10:45 saat salah satu pusat belanja oleh-oleh khas Bali di bilangan Kambingan menyambut kami turun dari kendaraan. Tak lengkap rasanya ke Bali kalau tak belanja, shopping oleh-oleh.

Tempat itu sepertinya masih baru, sekitar dua tahun, menurut seorang petugas. Apa saja ada di situ, mulai dari yang batu-batu alam terkecil hingga lukisan ukuran super besar. Suasana yang asri, seakan dirumah sendiri, itu yang membuatnya menarik hati. Harganya pun relatif murah, mulai dari lima ribu rupiah hingga yang jutaan. Juve, seorang artispun, sepertinya tampak sedang berbelanja di sana.

Nak, tak suka aku belanja... Walau kemarin baru dapat fee seminar yang lumayan, ku coba bisikkan "irit" di telinga istriku. Untuk biaya periksa anak kita...

SEMAWANG

Siang 03:30, pantai Semawang menyambut kami. Tak lama, hanya sebentar setelah parkir, walau pantai sedikit kotor oleh ganggang, rumput laut, aku sudah basah menceburkan diri.

Berenang, menyelam bermain kano. Ku tumpahkan semua rinduku pada laut! Kupuaskan dahagaku akan rindu yang lama terpendam! Walau sedikit takut, istriku ku ajak ke tengah, ke gundukan pasir yang semakin waktu semakin tergenang oleh air pasang.

Sesaat kemudian istriku terlihat sibuk menikmati bakso bersama Te Piet, Bu Rina dan Mas Sony. Sesaat kemudian tampak dari jauh, istriku sibuk bercakap saat jemarinya di belai pelukis kuku. Prek, aku tak perduli dengan rayuan semangkok bahkan bermangkok bakso! Aku tak perduli dengan indahnya lukisan kuku! Aku lebih mencintai laut, kembali ku tenggelamkan diriku pada sejukknya pelukan air.

Nak, cepat lahir...biar dapat ku ajarkan kau menyelam dan hidup menikmati laut!


.........................................
SABTU, 4 JULI 2009
.........................................

TANAH LOT

Saat kami harus kembali, searah pulang ke Tanah Jawa, Tanah Lot jadi tujuan. 08:30 pagi setelah pamit, kendaraan meluncur perlahan meninggalkan Renon. Denpasar dilewati saat jalanan semakin terasa padat. Keluar dari hiruk pikuk kota, tikungan dan sawah menyambut perjalanan kami. Hampir dua jam kemudian, gerbang Tanah Lot menyambut kami.

Mulai pintu masuk, pemeriksaan karcis hingga Pendopo utama, apalagi di kaki Pura, wisatawan padat. Mungkin bersamaan dengan waktu liburan dan tepat di ujung minggu. Kios-kios menghiasi kiri-kanan, sepanjang jalan menuju Pendopo. Beberapa rombongan berbeda asal, dengan identitas yang terlihat dari kaos mereka, tampak juga sangat menikmati pagi itu, kami pun begitu.

Istriku menemani Te Piet di kios atas, sementara aku bergerak turun melintasi Goa Ular ke kaki Pura. Ku sempatkan ikut antri mencicipi air tawar dari pancuran di goa kaki Pura dan mengambil beberapa gambar.

Ingin rasanya menceburkan diri kembali ke laut, tapi sepertinya tak bisa. Walau ombak datang merayuku, karang-karang yang terbentang sepanjang bibir pantai mencegahku. Uhh, sungguh sayang. Sesekali ku belai saja air laut di pinggir karang, semoga dapat kurangi rasa ingin itu.

Setelah hampir dua jam, walau berat di hati ini, Tanah Lot harus kami tinggalkan.


SINGARAJA

Tikungan demi tikungan kami lewati. Sawah hijau terbentang di sisi kanan jalan. Lalu saat perut ini sudah tak tahan melawan lapar, kami putuskan untuk beristirahat. Di belakang sebuah Pura, menghadap tepat ke laut, tikar pun akhirnya di gelar. Sebentar saja, mungkin karena belum makan, anjing-anjing sang pencari ikan menghampiri kami dari pinggir pantai.

Tampak dari jarak cukup jauh, beberapa muda-mudi berlatih menari di sanggar terbuka. Sementara tepat di sebelahnya, dua pekerja sibuk membalik butir-butir berwarna coklat kehitaman. Aroma bau cengkeh mampir di hidung. Kembali hadirkan rindu pada tempat lahirku.

Lamunanku buyar, saat suara istriku terdengar, kami harus meneruskan perjalanan kembali.


GILIMANUK - KETAPANG

Pukul 04:50 sore, suasana pelabuhan Gilimanuk relatif sepi saat kami tiba. Menurut seorang petugas, siang tadi yang sangat padat, khususnya bagi kendaraan yang memasuki pulau Bali. Tak lama, kami pun sudah berada dalam perut feri. Tapi justru kini kami harus menunggu beberapa kendaraan lagi agar feri bisa bergerak. Masuknya satu kendaraan roda empat dan dua kendaraan roda dua, akhirnya membuat feri bergerak.


Selamat tinggal Gilimanuk, selamat tinggal Bali... Entah kapan aku akan kembali? Mungkin setelah anakku lahir, kan ku bawa ia kembali, perkenalkannya pada indahmu...

Di belakang, Gilimanuk melambai. Sementara di depan, Ketapang ucapkan selamat datang. Saat berada di tengah, diantara Bali dan Tanah Jawa, ombak sore itu terasa menghantam lebih kuat. Beberapa penumpang bahkan berteriak senang ketika ombak menghempas feri lebih keras. Air laut bahkan beberapa kali pula masuk menggenangi lantai dasar feri.

Langit mulai gelap saat jam menunjukkan hampir pukul 06:00 sore. Dari jauh, lampu-lampu di Ketapang satu persatu mulai menyala, seperti merayakan kedatangan kami kembali. Tapi ombak seakan tak ingin lepaskan pelukannya. Sepertinya sang nakoda cukup sabar berusaha mencoba menjelaskan bahwa hal itu memang harus terjadi, bahwa kami memang harus merapat.



Dengan berat hati, saat menginjak daratan perlahan, saat kembali menyentuh Tanah Jawa...satu terucap dalam hati... "...semoga, tak lama, ku akan kembali..."

.....................................

Nak, kota Malang sudah sangat sepi saat akhirnya kami dapat merebahkan diri kembali di kamar. Dan, waktu menunjukkan jam 03:00 pagi saat ketakutan dan ragu kembali menghantui, "Bagaimana kabarmu? Sehatkah dirimu di dalam sana?"

Tepat satu minggu sejak pemeriksaan terakhir, tanggal 7 Juli 2009 sekitar pukul 09:17 pagi hari, Dokter Bambang, memperlihatkan keadaanmu yang sangat melegakan hati bapakmu ini. Tampak dirimu saat bergerak menghisap jari-jari mungilmu. Panjangmu pun sudah 92,8 mm. Ahh, sangat melegakan...

Nak, perjalanan ke Bali kemarin membuktikan dirimu perkasa!

Sunday, June 7, 2009

3 bulan kandungan istriku

Seakan baru kemarin “tespeck” menunjukkan positif. Seakan baru kemarin tampak print hitam-putih hasil USG 2 bulan. Posisi normal dengan panjang jabang bayi 2,4 cm.

Kini, tidak terasa sudah 3 bulan usia kehamilan istriku. Sejak pertengahan bulan kemarin memang sudah ada rencana ingin adakan syukuran “telon” (syukuran 3 bulan), di selasa, 9 Juni 2008, sederhana saja.

Hari senin, sms sudah ku sebarkan ke kawan-kawan dekat. Persiapan apa yang harus dibeli pun sudah tercatat rapi. Sementara hari beranjak dari pagi ke siang, lalu siang ke malam, ku putuskan untuk tidak tidur sekalian atau bahkan jangan tertidur.

Pagi buta, jam 4 dini hari, dengan sepeda motor, sendiri aku menyusuri jalan kota Malang menuju Pasar Besar. Kegiatan di pasar biasa saja, belum banyak aktifitas, tampak hanya tiga pickup yang bongkar muatan. Setelah parkir aku menuju basement, pusat pasar. Masih sepi!

“Mau cari apa nak?” tanya seorang ibu, bakul sayur.
Menj’es bu,” jawabku singkat.
“Ada, tapi nanti agak siang. Kalau anak mau, ke Kebalen saja, di sana sudah ramai,” lanjutnya.
“Matur sembah nuwun bu,” jawabku semangat.

Tanpa tunggu lama, kendaraan ku pacu menuju Kebalen! Dari jauh sudah tampak pasar itu ramai, macet dan semrawut, itu kesan yang kutangkap. Tapi yang pasti, ia lebih hidup dari Pasar Besar! B’edak-b’edak penjual apa saja sudah tertata, tapi pejalan kaki hanya diberi sedikit jalan karena kendaraan juga ikut memadati, sepeda motor dan becak menambah sempit jalan. Prek, aku jalan kaki!

Catatan kecil ku keluarkan dari kantong, kubuka, kubaca. Mataku melihat kiri-kanan, kalau seperti ini, bukan hanya menj’es (tempe jawa dari sisa tahu) tapi sekalian yang lain. Otak berpikir, apa yang harus aku beli dahulu? Satu persatu terbeli, masuk kantong plastik yang masih saja dibutuhkan banyak orang, apalagi untuk orang seperti aku yang tak menyangka akan sangat membutuhkannya. Selesai, tak sampai 15 menit!

Masuk rumah, istriku masih tertidur, sepertinya pulas. Tanpa mengganggu, mulai ku tata belanjaan tadi di atas meja. Menj’es kuiris tipis saja. Kacang panjang, kol dan selada ku potong dan cuci. Bumbu-bumbu dapur, cab’e rawit, tomat, bawang merah dan putih, kupersiapkan untuk di masak siang nanti. Tak sampai 1 jam, beres!

Saat mata mulai berat, di luar sudah terang, jam sudah menunjukkan hampir pukul 6 pagi. Kusandarkan kepala, kupejam mata, berharap sebentar saja untuk hilangkan letih…

…………………………………………………………

“Mas, bangun…… Ada tamu……,” suara istriku terdengar pelan, seperti dalam mimpi. Ada sedikit rasa kaget saat istriku membangunkan. Ahhh, sudah jam 9 rupanya, kataku dalam hati sambil merem-mel’ek. Ke kamar mandi, cuci muka, tujuan pertamaku. Ahh, meski badan masih agak letih ternyata segar juga.

“Pagi Mas…,” sapa salah satu kawan.
Pagi Indonesia,” jawabku pada dunia.
“Rencana acara mulai jam berapa Mas?” tanya kawan yang lain.
“Lho, kalian berdua ndak ada yang bilangin? Waduh, baru nanti malam, setelah Isya’,” jawabku.
“Oooo, ndak apa-apa Mas, sekalian apa yang bisa kita bantu?” kata mereka hampir bersamaan.
“Waduh, ya sungkan aku,” kataku sambil membakar rokok. Ahh, nikmat sekali…
“Gini, kalian santai saja. Mau istirahat dulu di kamar, monggo…Kan lumayan jauh dari Purwodadi,” kataku lagi sambil memasak air untuk segelas kopi.
“Oke Mas, nanti kalo ada apa-apa panggil saja ya…,” balas mereka yang lalu duduk di teras.
“Oke…,” jawabku singkat.

Ini, yang jarang terjadi. Masih terlalu pagi buat aku beraktifitas, walau ada suatu rencana. Tapi, tidak terlalu pagi untuk mereka yang rela memberikan sesuatu. Dalam hatiku ada sebuah kebanggaan punya kawan seperti mereka. Buatku, kawan atau teman, hanya sesaat, tapi kemudian akan selalu kuanggap mereka sebagai saudara. Walau pada nyatanya, tak sedikit “saudara”ku hilang, entah kemana? Dan, tak sedikit juga yang justru berkhianat, entah mengapa?

“Nduk, tolong siapkan takaran bumbu, supaya aku tinggal masak,” kataku pada istri. Maklum soal campuran bumbu aku tak pandai. Tapi, soal rasa, bolehlah dibilang aku lumayan.
Setelah bubur merah-putih siap, istriku mengeluarkan suara, “Ini Mas bumbu untuk tempe dan menj’es, tinggal goreng saja.” Lanjutnya, “ Aku langsung ke rumah Bu Lek ya? Bantu-bantu di sana, sekalian menghindari bau masakan.”
“Iya…Ndak usah capek-capek lho ya…,” jawabku singkat.

Hmm, aku tak ingin ia terlalu letih sebab pada awal tahun pernah keguguran. Ia punya riwayat kembar, begitupun aku. Waktu keguguran dulu, kami sempat USG, dan ternyata ada dua kantong yang sudah kosong. Sedih, terasa sekali mengiris hati. Apalagi tampak dua kantong kosong itu berjauhan, tak mungkin siam, manis sekali posisinya. Tapi, mungkin belum saatnya kami diberikan rejeki. Mungkin sekaranglah rejeki kami. Yang jadi masalah saat ini, tak tahan ia mencium aroma dapur saat memasak. Ada tukang nasi goreng pun kita hindari. Katanya, rasanya mual, sampai-sampai tak tahan ia muntah. Jadi, prek, sendiri pun aku bisa.

Jam 11 siang, aku dan istri sudah meluncur keliling Malang untuk membagikan nasi kotakan, bantuan Te Piet, sedikit saja, sebagai salah satu syarat syukuran. Pas, Dzuhur, kembali ke rumah, beres. Istriku kembali ke rumah Te Piet.

Nasi dari 5 kilo beras sudah siap, sayur-mayur untuk lalapan sudah masuk kulkas biar segar, sambal sip. Tinggal menggoreng tempe dan menj’es. Inilah waktunya untuk minta bantuan kawan. Tak terasa magrib hampir tiba, tak terasa semua sudah siap. Kursi-kursi dari dalam sudah tertata di luar. Mandi ahhh…

Tak lama setelah aku selesai mandi, istriku menyusul.

Dari luar sudah terdengar suara kawan-kawan. Tetapi masih cukup banyak yang belum kelihatan batang hidungnya. Sementara waktu hampir menunjukkan pukul 7 malam.

Ahh, tepat jam 7, acara dimulai saja…pembukaan sederhana, do’a-nya pun sederhana, apalagi makanannya, sangat sederhana. Pada saat makan, lalapan sederhana, satu yang jadi perhatian…sambal ludes, tempe ludes, menj’es ludes. Alhamdulillah… tenyata sangat nikmat menyantap hal sederhana dengan suasana yang bersahaja, kekeluargaan. Tapi, ternyata cukup banyak yang tidak kebagian karena telat datang. Untung mereka mengerti itu…

Rapat tentang organisasi kami mulai saat makanan di perut sudah mulai turun. Walau bibir masih hangat oleh sambal, suasana tambah guyub. Satu yang pasti jadi pokok pikiran, apabila memang tak ada, tak usah dipaksakan. Segala sesuatu perlu direncanakan tanpa membohongi diri sendiri bahwa kalau memang tak ada guna, untuk apa kita jalani.

Syukuran ditutup dengan do’a semoga apa yang kita mau dan rencanakan dapat berjalan sesuai harapan

“Nak…ini sesuatu yang dapat kami berikan. Hal kesederhanaan tapi penuh makna dan kekeluargaan. Semoga dapat kau ingat sampai kapanpun, mulai kau masih dalam rahim, saat lahir hingga nanti hidup di dunia nyata”

Saturday, June 6, 2009

Aku masih tetap ada di sini!

Aku tak lagi mempunyai materi, tak lagi ada alat-alat produksi seperti dulu. Pengkhianatan teman, kawan dan sahabat yang bahkan sudah kuanggap seperti saudara sendiri, masih membekas, membuat hati terluka!

Sementara yang tertinggal hanya sebuah
kompresor dan mesin jahitwarisan” tua. Saat ada biaya, produksi tas karung dan kaos airbrush mungkin sesekali dapat aku jalankan kembali. Selain itu, tak lagi ada yang bisa aku kerjakan, produktifitasku macet!

Waktu kemudian kudapat pinjaman komputer dari adik iparku, dengan semangat yang tersisa, perlahan kutata kembali semua file yang juga tersisa. Semangat itu mulai tumbuh kembali. Harapku, tak ada lagi hama yang akan hancurkan benih itu!

Aku dan istriku pada suatu waktu duduk berdua saja, sambil ia mengelus perutnya yang semakin membesar, membuat sebuah keputusan untuk bersama. Akan ku bangun sebuah kamar lagi di depan, di sisa tanah yang tak seberapa, agar kerjaku tak akan mengganggu perkembangan sang anak.

Kamar itu rencananya sebagai ruang kerjaku dan sahabat Slank Fans Club Malang. Kamar akan dibangun semi permanen, selain agar ramah lingkungan, yang pasti akan sangat menekan biaya. Lantai paving, diding bata tak tinggi, kusen biasa saja dengan atap fiber atau asbes.

Pembangunan itu kumulai sekitar awal april. Walau ada rasa ingin untuk dapat selesaikan semua itu pada pertengahan Mei, dari awal sudah kuyakinkan diri dan selalu ku jadikan penenang diri bahwa pembangunan itu akan kukerjakan sendiri dan tergantung pula pada biaya yang ku punya.

Pelan-pelan saja, tak diburu waktu. Jadi tak akan lagi aku kaget dan heran, atau bahkan berpikir dengan keras, bila hingga detik ini belum juga selesai pembangunan itu. Prek, kunikmati saja! Kulakukan semua dengan sabar saja!

Pada setiap sore menjelang magrib datang, saat perkakas mulai aku bereskan kembali, saat segelas kopi panas istriku disuguhkan, terduduk kami berdua melihat perkembangan demi perkembangan. Lalu sesekali cerita terucap dan tak jarang mimpi terangkat.

Aku masih tetap ada di sini untuk dia, untuk calon anakku, untuk generasiku!
Letih dan keringatku ini untuk mereka semua!

God, please help me... Semoga mereka mengerti hal itu...

…………………………………………………………

Pada suatu waktu, saat sore menjelang, saat tak lagi ada adik keponakanku dan suaminya, istriku terlihat sibuk terduduk di depan komputer, tak tahu hal sibuk apa yang ia lakukan. Setelah kuamati baik-baik ternyata ia sibuk dengan internet! Wah, bisa juga pesawat hp yang ia gunakan jadi modem! Sip, satu point baru kudapat!

Tak mau kalah, aku semakin bersemangat! Kucoba pesawatku, tak bisa! Sial! Apa yang kurang? Kucoba dan kucoba lagi, berhasil! Sip, satu point baru lagi kudapat!

Malam saat aku sendiri, saat pikiran melayang-layang, masa lalu datang...

Terlalu banyak peristiwa penting yang tak kupunya buktinya. Sangat terlalu banyak moment yang terlewat untuk diabadikan. Walau ada seperangkat tustel keluaran lama, tak munafik, butuh biaya cukup besar untuk sekedar dapat kusaksikan hasilnya. Belum lagi dengan kekurangannya, tak jarang malah hanya “hitam” yang ada!

Masih melekat juga di ingatanku, waktu aku terdiam sejenak di depan sebuah warnet. Lalu membuka dompet dan mulai menghitung, mulutku kemudian “komat-kamit”, bicara pada diri sendiri sambil memandang kosong. “Untuk mendapatkan beberapa data, berapa biaya parkirnya? Berapa biaya perjam? Berapa harga kopi segelas? Berapa rokok yang ku bakar?” itu yang kupikirkan. Tak lama kemudian, aku balik badan pulang ke rumah. Ahh, sial! Tak ada cukup biaya, tak jadi aku!

Terlalu banyak perasaan yang aku pendam sendiri, mungkin kawan yang lain juga! Terlalu banyak cerita yang tak tersampaikan, pasti kawan yang lain tak beda! Tercetus sebuah niat, dengan fasilitas sesederhana yang kini ku punya, untuk berbagi cerita dan kabarkan pada Indonesia bahkan pada dunia!

Dengan memohon pada istriku, dengan sedikit pengetahuan dan kekurangan biaya, sebuah buku aku beli. Membuka dan membaca lembar demi lembar. Merangkak dari “nol” dengan sedikit keberanian, tak malu kulalui itu! Pelan-pelan, aku bangun “sesuatuuntukku, lingkunganku, generasiku dan Indonesiaku!

Temanku, kawanku, sahabatku, saudaraku, aku masih tetap ada disini! Aku masih hidup! Aku masih survive! Dan, selama aku masih bisa bernafas, walau dengan berkekurangan, aku tak ingin kalian alami hal yang sama! Aku ingin kita kembali membangun bersama! Maju bersama!

Slank Fans Club Malang masih ada!
Sungguh, Slank Fans Club Malang masih ada!

God please hel me... Thank’s Pinky and Candra...to wake’s me up! And spesial for you both, My wife and Te Piet...to understand me still!

Friday, June 5, 2009

Hidup di Malang

BEJO

Bejo, nama itu muncul sebagai panggilanku saat memulai hidup baru, hidup di Malang. Nama itu memiliki arti yang sangat dalam, sebagai rasa syukur sebab aku sangat “beruntung” dapat dengan selamat melewati kisah hidup seperti sebelumnya.

Walau sejak dulu telah bolak-balik, secara resmi aku menjadi penduduk kota Malang sekitar tahun 1993 akhir. Beralamat di Lawang, kabupaten Malang bagian utara, aku tinggal bersama nenek. Sebentar saja, aku lalu pindah bersama Tante, adik dari ibu, di Tidar, kotamadya Malang bagian barat.

Saat menunggu masa kuliah dimulai, aku mengikuti beberapa kursus komputer. Mulai dari dasar hingga tingkat menengah. Lumayan, jadi lebih mengerti, jadi punya sedikit kemampuan lebih dan yang pasti punya beberapa lembar sertifikat yang siapa tahu suatu saat dapat kugunakan mencari kerja.

Lalu saat kuliah datang, berbekal surat transfer dari Jakarta, aku diterima untuk meneruskan kuliah jurusan teknik arsitektur di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang.

Pada awalnya ada sedikit rendah hati, walau ibu seorang jawa asli, aku seperti terasing di antara orang banyak yang berbahasa jawa. Hampir setiap malam, kudengarkan lawakan berbahasa jawa dari radio, walau pada awalnya lebih banyak tak kumengerti. Untung hanya sebentar saja, aku temukan kawan-kawan yang tak pamrih ajari aku itu. Beberapa kali ku praktekkan, beberapa kali pula ku ditertawakan. Sial, ternyata “bahasa jorok” yang mereka ajarkan. Prek, setan alas, hantu belau!

Soal pendidikan, ternyata bekal dari Jakarta sangat membantu. Aku berada di atas rata-rata. Seperti di Jakarta, pada kuliah di Malang pun aku lebih konsentrasi pada konsep, perencanaan dan warna, selain perspektif yang tetap menjadi andalanku. Tak sedikit kawan yang membutuhkan pengetahuanku itu. Tak sedikit pula yang akhirnya memberikan sekedar “uang lelah”. Bukan hanya kawan setingkat, adik kelas dan bahkan kakak kelasku pun akhirnya menghubungiku. Pernah beberap kali kerja sampingan, disain sebuah bangunan pemerintahan dan pameran interior aku kerjakan. Aku sangat menikmati itu!

…………………………………………………………

SALAH PILIH LAGI!

Suatu waktu, saat lebaran tiba, aku kembali ke Jakarta. Entah bagaimana awalnya, Dian kembali dalam otakku. Beberapa kali kuhubungi, kami “jalan bareng” kembali. Saat harus balik hidup di Malang, walau jarak memisahkan, ia selalu jadi motivasiku. Hampir seluruh keluarga mengetahui itu. Hampir seluruh keluarga mengerti itu.

Tapi, entah kapan dan mengapa, ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Mungkin tak tahan dengan jauhnya jarak. Mungkin tak tahan dengan hasrat yang ingin selalu dekat. Prek, aku frustrasi!

Saat hati terus dirundung resah, saat tak ada kawan diajak bicara, saat tak ada pertimbangan yang bisa kuterima dan saat setan datang menggoda, aku membuat sebuah pilihan yang salah.

Kenapa aku tak memilih mencari penggantinya? Kenapa aku tak memilih mati saja? Kenapa aku harus memilih kembali ke jurang narkoba? Prek, kunikmati saja pilihan itu!

Awalnya, alkohol jadi pilihan, dengan sebuah pembenaran bahwa Malang kota yang dingin. Lalu ganja dan barang haram lain masuk ke setiap sudut pembuluh-pembuluh nadiku. Aku tahu itu salah. Prek, tetap saja kunikmati itu!

Saat beberapa kali ketahuan, bisa-bisanya ku buat “cerita” sebagai pembenaran-pembenarannya. Tak terasa berat badanku turun drastis, wajahku pucat dengan mata cekung menghitam. Walau sadar, seperti mayat hidup ragaku dan hatiku kosong tak berisi, “lembur tugas” tetap jadi andalan alasanku sebagai sebuah pembenaran.

Saat seorang kekasih datang, tak nampak ia “cantik”, tak perduli aku. Saat kemudian harus berakhir kisah “cinta” itu, datang lagi dan walau berakhir kembali, tetap saja aku tak perduli.

Saat, harus kembali ke Jakarta, walau hanya dalam waktu yang sempit, tetap kusempatkan untuk membawa “oleh-oleh” itu ke Malang. Saat tak dalam sadar yang penuh, di salah satu sudut timur Jakarta, jejakaku hilang! Prek, tak ada sesal, tetap saja kunikmati itu!

Buatku, yang penting masih ada “barang” yang bisa tentramkan hariku, malamku, kesendirianku. Tak ada yang tahu dan tak ada yang perlu tahu. Kembali pembenaran-pembenaran hasil ciptaanku sendiri berkuasa.

Prestasi belajarku menurun drastis! Semakin aku terpuruk! Semakin dalam aku memilih untuk tenggelamkan diri pada “barang-barang” bejat itu!

…………………………………………………………

KAWAN LAMA, APA KABARMU?

1995, aku bertemu kawan lama! Kawan-kawan yang sudah sekian tahun tak kuketahui kabarnya. Sahabat-sahabat yang sudah cukup lama kehilangan kabarku.

Slank! Para anak muda militan, “sléngéan”, yang selalu protes pada kenyataan. Para sahabat yang berani muncul dengan tampilan berbeda dengan generasi saat itu. Para sahabat yang menyuarakan isi hati apa adanya!

Mereka menggugah hatiku sejak duduk di akhir sekolah menengah atas. Dari awal yang cuma lewat dengan pacar, kemudian mampir, hingga saat kuliah di Jakarta yang akhirnya membuatku semakin dekat. Walau dalam hati kusimpan kesan mendalam, aku sadar diri, aku bukan siapa-siapa, hanya sekedar kawan biasa bagi mereka. Saat dulu putus cinta pun, Potlot tetap jadi tujuanku sekedar hilangkan penat di kepala.

Tak kusangka kini mereka di depan mata. Tak mereka sangka aku kini hidup di Malang. Rindu yang akhirnya terobati! Cerita apa saja, bercanda apa saja, curahkan apa saja.

Tapi, mereka bukan lagi mereka yang dulu. Mereka kini punya “sejuta umat”! Aku termenung saat sepintas menatap ke luar, ke orang banyak yang mungkin tak seberuntung aku, ke orang banyak yang mungkin lebih berhak daripadaku. Sangat disayangkan, tak semua dapat bertemu sahabat-sahabatku.

Lalu tercetus sebuah “ide”, begitu saja! Spontan saja! Untuk mewadahi mereka dalam sebuah organisasi yang sederhana sekalipun di kota Malang. Kami buat sebuah komit, lisan saja, untuk mulai mencoba bergerak!

Perlahan menikmati waktu, kucoba wujudkan komit itu. Sambil menikmati hari, perjalanan Malang-Jakarta atau sebaliknya, mulai saat itu jadi lebih punya arti. Aku jadi punya tanggung jawab moral! Aku jadi punya kesibukan baru yang perlahan membuatku mengurangi mengkonsumsi narkoba.

Jujur, kadang masih kusentuh ganja dan alkohol. Tapi paling tidak semua itu sudah jauh berkurang dan paling tidak tak ada lagi jarum suntik, pil dan “bubuk putih”.

Kesibukan baruku sangat membuatku bersemangat. Jadi lebih banyak kenal orang! Jadi lebih banyak punya teman! Jadi lebih banyak punya kawan! Jadi lebih banyak punya saudara baru!

9 Nopember 1997, secara resmi, Slank Fans Club Malang berdiri, eksis di Negara Kesatuan Republik Indonesia! Bersama, mencoba membuat sesuatu hal yang positif untuk pribadi dan negara. Bersama, mencoba membangun generasi muda.

God, please help me... Always try to make world better and green with love and peace... (Thank’s Mas Bim, to understand and make me still have that spirit)

…………………………………………………………

STOP NARKOBA!

Saat semakin banyak teman, kawan dan sahabat datang, saat cinta juga datang dan pergi, saat tanggung jawab di pundak semakin terasa, aku memilih untuk hidup sendiri. Dua rumah yang kemudian menjadi tanggung jawabku, menjadi saksi perjalanan hidup bahwa aku harus lebih dewasa dan bijaksana dalam memilih jalan hidup. Satu persatu, pelan-pelan saja kunikmati itu.

Sebagai awal, ku cari teman, kawan dan sahabat. Walau akhirnya tak sedikit yang hilang kembali atau bahkan berhianat, aku tak perduli. Aku masih tetap di sini dengan semangat yang semoga saja tak akan pernah hilang.

Saat cinta datang, kuterima walau sesederhana dan serumit apapun latarbelakangnya. Satu niatku, bila itu dapat membuatku lebih berarti dan lebih baik, aku tak perduli alasan darinya mengapa ia datang.

Saat pendidikanku tak juga selesai walau hanya sejengkal lagi, walau telah beribu kulakukan, aku tetap saja berusaha walau dengan sedikit sisa motivasi.

Saat kemudian orang banyak bilang kita masuk sebuah tahun melenium, saat tubuh dan jiwa ini sudah letih akan pengaruh napza, tepat menjelang detik-detik akhir tahun 1999 aku membuat sebuah pilihan.

Masuk 2000, aku memilih untuk berhenti menggunakan narkoba! Tak ada yang memaksa, tak ada yang mempengaruhi. Tak ada yang kemudian akan berkata bahwa mereka yang membuat itu terjadi padaku. Karena ku yakin bahwa orang terdekat dan tersayang sekalipun tak akan perduli itu.

Hidup adalah pilihan, maka itu pilihanku sendiri! Sederhana saja! Itu saja! Thank’s God...

…………………………………………………………

CINTA?

Sekitar tahun 1998 aku mengenalnya. Awalnya berjalan saja seperti kawan biasa pada umumnya. Walau akhirnya aku berpisah dengan kekasihku sebelumnya, pada dasarnya ia tahu aku sudah ada yang punya. Tanpa komit seperti pada umumnya sebuah hubungan, satu kalimat awal yang tetap akan jadi ingatanku, “dia jual, gue beli”, membuka cerita perjalanan hidupku tentang cinta yang cukup lama kujalani.

Dengan orang tua yang jauh di ujung barat Tanah Jawa dan dengan segala kebebasan penuh yang aku genggam saat itu, “American style” lalu jadi pilihan hidupku dengannya. Semua terjadi begitu saja, dari yang dapat dibayangkan hingga yang tak terbayangkan sekalipun. Gila, sangat naif diriku!

Seiring semakin kukenal banyak orang, seiring itu pula orang banyak kenal dia. Itu hal yang sangat biasa, menurutku. Tapi saat di belakangku, akhirnya cukup banyak cerita “miring” yang kudengar, dari orang banyak itu pula, tentangnya. Prek, aku tak perduli kata orang! Gila, sangat naif diriku!

Yang penting bagiku, aku masih tetap berdiri di sini dan tetap lebih memegang teguh komitku pada Generasiku! Tak salah bila pilihanku itu sering menjadi masalah buatnya. Beberapa kali pisah walau akhirnya ia kembali, lalu jadi masalah lagi. Aku tak perduli, sampai kapanpun, tak mungkin ku lepas dan lupa komit pada Generasiku itu!

Saat sudah terlalu jauh ia “menggganggu”, dengan emosional, tanpa memikirkan akibatnya untuk Generasiku, ia menciptakan “cerita”. Sekali ku tanya “apa itu cinta”, ia tak mengakui. Dua kali kutanya “apa itu cinta”, tak juga ia mengakui. Lalu saat datang bukti, tak bisa ia berkata-kata! Prek, aku akhiri saja cerita tentang dia!

Saat di kemudian hari pula terdengar kalimat bahwa sekian lama aku hanya “manfaatkan tubuhnya”. Apa itu cinta? Wajarkah bila kutanya balik, “Bila demikian halnya, bukankah berarti tubuh ini juga sekian lama hanya ia manfaatkan?”

Ah, prek! Sudah berulang aku hadapi hal seperti itu! Sudah terlalu letih raga dan jiwaku! Biarlah semua yang lain kupendam sendiri. Biarlah nurani mencari jawabnya sendiri. Sebab ku yakin, walau tak lagi ku punya materi, aku masih punya “cinta” sebenarnya, aku masih punya nurani!

…………………………………………………………

DI MANA ARTI SAHABAT? SAUDARA?

Masih kuingat saat seorang teman menjadi kawan. Lalu seorang kawan menjadi sahabat. Kemudian seorang sahabat kuanggap saudara. Saat keluarganya terasa begitu dekat, teringat aku dulu pernah seperti tak punya saudara dan tak pernah diberikan kesempatan. Saat tak lagi hanya tangan dan kaki yang bisa aku berikan, bahkan kepala ini tak berat aku korbankan.

Saat walau hanya terucap lisan, komit untuk maju bersama, tempat ini tempatmu juga! Saat ada kesempatan untuk mencoba merubah sesuatu menjadi lebih baik, rumah ini rumahmu juga!

Saat cerita dari hati ke hati hanya menjadi “rahasia” berdua, tak akan terucap untuk sahabatmu, saudara kandungmu, bahkan keluargamu sendiri, selalu teguh kusimpan dalam-dalam. Saat lapar datang dan tak juga kita bisa makan dari piring yang sama. Saat dahaga datang dan tak juga ada setetes air untuk dapat kita minum dari gelas yang sama. Saat tangis dan tawa hadir menghias hari, waktuku ini untukmu! Jiwaku ini untukmu!

Lalu, entah apa sebabnya...
Kenapa kamu langgar janji untuk menjaga “rahasia” kita itu? Kenapa kamu mengambil semua itu untukmu sendiri? Kenapa tak kau ijinkan lagi aku berjuang bersamamu lagi? Kenapa kamu selalu berteriak, kalau bukan karenamu tak ada semua keberhasilan itu? Kenapa kamu selalu berkoar, semua keberhasilan itu hanya karena dirimu semata?

Apa salahku?
Sungguh, sakit rasanya seorang sahabat “berkhianat” seperti itu! Menusukku bertubi-tubi dari belakang! Tak ingatkah tangismu dulu? Tahukah kamu, walau hanya sebagian kecil saja, tetap ada ada “hak” dari generasimu yang lain di situ? Kenapa bicara tak lagi punya arti? Apakah itu arti seorang “sahabat” yang sudah ku anggap “saudara”? Di mana nuranimu?

Aku tahu, aku tak punya materi. Walau sementara prinsipku “yang penting masih survive”, terus semangati aku untuk berusaha tetap bertahan hidup. Walau kembali aku harus merangkak dari dasar, tak malu aku lakukan itu! Walau tubuh dan hati ini penuh luka karena berkali kau injak harga diriku, yang pasti aku selalu punya keyakinan, benar adalah benar!

Ah, prek! Sudah terlalu letih raga dan jiwaku! Biarlah semua yang lain kupendam sendiri. Biarlah nurani mencari jawabnya sendiri. Sebab ku yakin, walau tak lagi ku punya materi, aku tetap masih punya nurani!

God, please help me... Always try to make world better and green with love and peace... (Thank’s Mas Bim, Slank, Bunda, to understand and make me still have that spirit)
…………………………………………………………

AKHIRNYA KUTEMUKAN DIA!

Pertama ia datang waktu hari sudah gelap, mengantarkan sahabatnya mencari alamat fans club. Aku bertemu dengannya di rumah, setelah hadiri sebuah acara, sudah hampir pukul 12 malam. Pertama ia ku kenal, biasa saja.

Saat suatu malam, waktu dia temani aku bekerja untuk generasiku, percakapan kecil terjadi. Saat kemudian cerita saling berjawab, tak sadar semua terungkap dengan jujur, tak ditutupi.

Aku jujur tentang hidupku. Tentang perjalananku, suka duka yang telah kualami dan kulewati. Tentang kisah cintaku. Tentang mimpi-mimpiku. Tentang prinsipku. Tentang pengabdianku. Tentang Generasiku. Pada dasarnya, aku adalah “produk pilihan hidupku”!

Ia juga bercerita tentang suka duka hidupnya. Tentang lingkungan, tanggung jawab dan pengabdian profesi pendidikannya. Tentang orang tua dan keluarga besar yang tak lagi perduli. Tentang latar belakang kisah cintanya. Tentang mimpinya. Tentang protesnya. Tentang prinsipnya. Ia bukan “dari tong sampah” seperti kata orang. Pada dasarnya, ia masih survive walau di besarkan dan dibentuk oleh kenyataan yang pahit akan hidup!

Aku tak tahu kenapa aku jadi punya keyakinan, ada hasrat, ada “feeling”. Aku jadi berani untuk ungkapkan, “...aku bukan lagi mencari pacar, tapi aku mencari seorang istri. Bersediakah kamu?”

07 Juli 2007, seperti gayung bersambut, kami mulai berjalan bergandengan tangan.

Tak ada hal romantis yang dipaksakan. Tak ada janji manis terucapkan. Berdasar saling jujur, itu saja, singkat saja!

…………………………………………………………

MENATA HIDUP!

Aku jadi punya motivasi kembali. Aku merasa semangat untuk hidup kembali. Dalam kesendirian, aku berfikir tentang apa yang harus aku lakukan. Rencana hidup yang harus diwujudkan...


AB!

Hanya dengan beberapa foto lama, aku kabarkan ini pada keluarga, tentang seorang yang hadir dan menjadi api semangat hidupku lagi. Apapun dia, siapapun dia! Tak ketinggalan, ku kabarkan juga pada sahabat-sahabatku di Potlot. Ku ungkap juga niat untuk selesaikan pendidikanku. Tenyata, sudah sekian lama mereka berharap dan menunggu kabar seperti ini. Tak ku sangka, ternyata begitu cepat mereka merespon positif.

Aku harus selesaikan pendidikanku yang tinggal sejengkal lagi. Ku urus sendiri semua syarat administrasi untuk pindah kembali. Walau terbayang wajah para dosen yang sentimen pribadinya sangat mengganggu dan menghalangi jalanku, terbayang pula wajah para dosen yang sudah lama sangat membantu, mendukung dan memberiku semangat.

Ku buka kembali berkas-berkas lama yang tak tersentuh, di bawah tumpukan-tumpukan berdebu yang terlupakan. Tugas akhirku yang merana, rindu untuk kubelai, akhirnya kembali kuajukan. Walau draft awal sudah selesai, tetap saja kembali kulalui perkuliahan. Kulewati asistensi, coret sana, coret sini. Ganti sana, ganti sini. Prek, kunikmati saja, mencari file-file yang dulu hanya setengah jalan, kususun kembali, kutata kembali, kurangkai kembali!

Dia selalu setia menemaniku, merawatku, mengerti dan mendukung jalan yang kupilih untuk kulalui itu. Saat letih datang dan tertidur dalam dudukku, dia datang menyelimutiku. Saat dingin datang, tak kan lupa ia suguhkan secangkir kopi pahit kegemaranku. Tak ku minta, sepiring nasi hangat dan tempe bersambal pedas sudah ada di sampingku.

Masih kuingat, suatu saat, waktu semua hasil kerjaku, semua usaha dari pagi, siang, malamku dan pagi lagi, hilang entah mengapa. Masih kuingat saat emosi dan marahku tak terbendung. Saat sumpah serapah dan makian lepas begitu saja padanya. Dia hanya menarik nafas dalam, sabar menerima, lalu tersenyum sambil menyodorkan kopi panas buatannya padaku. Dia membuat hatiku tentram kembali.

Akhirnya, setelah sekian tahun terbuang percuma waktuku, setelah sekian lama perjuanganku, masih ku ingat perjalanan menuju waktu persidanganku. Di suatu saat, waktu hujan deras datang mengganggu dan tak tampak lagi jalan di depanku. Saat akhirnya terduduk sebentar berbasah air hujan, menunggu detik-detik giliranku digelar. Walau segala macam do’a sudah kupanjatkan dan segala restu ku mohonkan, tetap saja gelisah akhirnya datang. Ia hanya mengusap wajah kuyupku, lalu semua resah yang timbul dan tenggelam itu hilang begitu saja.

Dia mencium dalam-dalam tangaku yang dingin sekedar memberi hangat dan semangat, saat aku kemudian berjalan setelah sebentar memejamkan mata dan menarik nafas panjang. Ruang terasa begitu sempit, berbatas gelisah yang terdengar keluar dari degub jantungku. Walau gerakku terbatas, perlahan mulutku terbuka, lembar demi lembar kujabarkan dan sesekali pula keringat kuseka.

Terasa begitu lama waktu berlalu, walau akhirnya aku harus melangkah keluar. Ragu menyelimuti otakku, pikiran buruk datang penuhi perasaannku. Dia tetap setia menemaniku, menatapku dengan penuh kehangatan. Menyodorkan secangkir kopi panas yang dia bawa dari rumah. Ahh, sungguh sangat tentramkan aku.

17 Desember 2007, 16:00, saat kemudian namaku terdengar disebut, semakin kencang jantungku berdebar. Saat kemudian sebuah lembar terakhir kusingkap, tertulis......AB! Aku LULUS!

Kupanjatkan do’a berulang kali, do’a-do’a apa saja pada Sang Pencipta! Lemas rasanya raga ini, tak kusangka ragu hilang begitu saja. Kucium keningnya, kupeluk erat tubuhnya! Kukabarkan pada dunia! Kukabarkan pada keluarga! Ku kabarkan pada sahabat! Ku buka pakaianku, bertelanjang dada, sebagai pelaksanaan nadzarku, rasa syukurku! Tak perduli hujan yang tak kunjung reda, tak perduli jalan macet yang tak berkesudahan! Kunikmati itu semua, detik demi detik!

Beberapa hari kemudian, rasa suka itu seperti hilang. Saat datang sepi, sendiri, pikiran datang mengganggu, ...semua usaha dan keberhasilan itu tak ada artinya bila tak ada “pembuktian”. Dan, “pembuktian” itu sangat membutuhkan biaya.

Setelah merenung, aku akhirnya harus merelakan, melepas pergi “drum” kesayanganku! Drum itu hasil kerja kerasku sebelumnya, hasil memeras keringat setelah sekian lama, perwujudan obsesiku yang ingin rasanya selalu ada di tiap hariku. Pernah pula ia kubawa ke Jakarta, selain selalu temani aku berkeliling dari café ke café di seluruh pelosok Malang Raya. Dengan menahan air mata harga diri sebagai laki-laki, kusembunyikan sedih itu dalam-dalam. Ahh, maafkan aku sayang! Prek, semoga suatu saat nanti datang rejeki, bisa ku peluk kembali kamu!

30 Desember 2007, akhirnya “pembuktian” itu dapat kujalani, tentu saja orang tua, keluarga dan kekasihku pun menghadiri acara tersebut. Walau tampak letih di wajah mereka setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tapi akhirnya rasa bangga melihat aku di depan sana, menggunakan toga! Sebuah gelar Sarjana Teknik Arsitektur dalam genggamanku!




Cincin Di Jari Manis Kiri

31 Desember 2007, aku melangkahkan kaki bersama keluarga menuju keluarga besar kekasihku di Tulungagung. Kami diterima dalam suasana yang sederhana saja, apa adanya.

Setelah beristirahat sebentar, basa-basi kata pembukaan, Bapak dan Ibuku akhirnya mengutarakan niat kedatangan kami, pihak keluarga kekasihku pun menerima dengan lapang dada. Lalu, sebentar saja, dua cincin sederhana sudah mendarat di masing-masing jari manis kiri kami.

Ahh, lega rasanya kembali ke Malang. Tahun itu akhirnya dapat ditutup dengan sebuah “perubahan”. Tapi, Bapak dan ibu, serta adik dan keponakanku tak lama di Malang, mereka harus kembali ke Jakarta. Suasana itu begitu mengharukan, tapi hidupku pun menjadi terasa lebih berarti.


Penuh Cobaan

Aku dan kekasih membuat rencana dan melakukan perubahan yang bermula dari lingkungan tempat tinggal kami sendiri. Tapi, niat baik itu ternyata penuh cobaan!

Walau telah kubicarakan sebelumnya, duduk bersama berbagi cerita dan bertukar pendapat, seakan percuma. Teman, kawan bahkan sahabat yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri seperti tak menerima itu. Bahkan sempat terungkap, mereka inginkan aku kembali seperti dulu, tetap seperti jaman “nakal” dulu. Mereka tetap salahkan aku, salahkan kekasihku! Mereka menikam dari depan, samping bahkan belakang! Bertubi-tubi!

Usahaku hancur lebur! Produktiffitasku mandeg!
Belum lagi “kekasih lama” yang ikut memperkeruh suasana! Hidup kami menjadi sangat memprihatinkan. Walau begitu tetap saja, tak bosan mereka menikam dari depan, samping bahkan belakang! Bertubi-tubi!

Apa salahku?
Apakah salah, kami memilih untuk hidup pada jalan yang lebih baik, jalan yang benar?
Di mana arti sahabat? Saudara?

Hidupku seperti “mati suri”! Terbaring di dalam kamar, hari-hari jadi penuh dengan menyalahkan diri sendiri! Menyalahkan keadaan! Menyalahkan kenyataan! Banyak pertanyaan di kepala yang tak mendapatkan jawabannya. Hampir tiga bulan aku mengalami tekanan berat itu!

Saat kemudian kekasih memberikan sebuah pilihan jalan, aku terhentak! Semangat darinya membuat aku perlahan berani merangkak dari bawah lagi. Mencoba untuk membangun rasa percaya diri kembali atau sekedar membuat aku memiliki kesibukan. Sesekali terbesit, mungkin ini “karma” yang harus aku tanggung akibat kesalahan-kesalahan masa laluku! Prek, dengan sisa asa, kucoba bangkit kembali!

Lingkungan yang masih “kotor” perlahan kami bersihkan. Walau tetap didahului dengan duduk bersama, walau perlahan, tak ada lagi kata ragu untuk singkirkan yang tak mau berubah menjadi lebih baik!

Aku ingin hidup “bersih”! Aku ingin hidup normal! Jangan halangi aku!


Sah!

Tak terasa hampir setahun berlalu, saat muncul niat lebih. Dalam sebuah keprihatinan, terungkap niat untuk “menikah” sebab semoga dengan itu perjalanan hidup menjadi lebih baik. Waktu beberapa kali bergeser, tanggal beberapa kali berganti, walau akhirnya ditetapkan.

Dengan sisa asa, kukumpulkan semangat hari demi hari. Pagi, siang, malam dan pagi lagi, kulalui dengan kerja. Akhirnya semua syarat terpenuhi. Walau tak mampu kusebarkan selembar “undangan”, tetap kumohonkan restu dari semua teman, kawan dan sahabat.

25 Desember 2008, 20:15, Desa Karangsuko, Kabupaten Trenggalek jadi saksi, akhirnya terucap dari mulutku yang bergetar...“Saya terima nikahnya...”. Sah!

Alhamdulillah.........seakan semua beban terlepas! Terimakasih untuk semua teman, kawan dan sahabat yang sudah kuanggap saudaraku sendiri! Mohon maaf atas semua kesederhanaan, sebab hanya itu yang bisa kami berikan...

Mulai Dari Awal Lagi?

Jauh hari sebelum ada niat menikah, saat pertama kukenalkan kekasih secara langsung bertatap muka, Bunda sempat mengeluarkan isi hati, “Alhamdulillah, akhirnya kamu dapat pilihan yang baik Jo. Sebenarnya sudah lama Bunda pernah bilang, kenapa Jo, apakah tak ada wanita lain?” Ternyata perasaan itu walau telah lama, masih ia ingat dan pendam (maafkan aku Bunda, mungkin baru sekarang kudapat jodohku). Ia juga berpesan, “Bila menikah, kalau bisa jangan bersamaan dengan kegiatan kami ya Jo”. Sungguh, tak pernah kumimpi lebih, selain do’a restu Bunda dan Slank.

Sebagai rasa syukur, beberapa anggota BP (Bidadari Penyelamat) Malang aku kumpulkan. Acara syukuran kecil atas pernikahanku, sederhana saja. Sempat dibahas pula kemungkinan bila rombongan dari Jakarta mampir, sebab kebetulan bersamaan dengan waktu itu, posisi mereka ada di Malang.

27 Desember 2009, 11:30, Slank dan rombongan akhirnya benar-benar mendatangi kediamanku, mampir di Slank Fans Club Malang. Walau rata-rata baru pertama kali bertugas, walau pada malam hari sekitar pukul 21:00, baru bertugas secara resmi, BP Malang bekerja sangat profesional. Sungguh, sangat bangga aku pada mereka!

Moment itu adalah momentum kebangkitan kembali diriku! Semangatku kian bertambah besar sebab format BP Malang saat itu adalah sebuah langkah awal yang sangat berarti. Walau tanpa materi yang berarti, walau hanya dengan asa dan semangat yang tersisa, tak perduli bila mulai membangun dari awal lagi!

Walau itu akhir waktu dari sebuah tahun, tapi merupakan awal kebangkitan...
Semoga itu adalah awal yang baik bagi kami semua, termasuk bagi Slank Fans Club Malang!

God, please help me... Always try to make world better and green with love and peace... (Thank’s Mas Bim, Slank, Bunda and BP Malang to understand and make me still have that spirit)
…………………………………………………………

AWAL TAHUN KELABU

Pebruari akhir, hasil tespek mantan kekasihku positif! Istriku hamil! Alangkah bahagianya aku! Ingin rasanya cepat-cepat sembilan bulan untuk lalu dapat kutimang si bocah! Kawan aku kabarkan! Sahabat Aku kabarkan! Dunia aku kabarkan!

Hampir bersamaan kabar gembira dariku itu, adik terkecilku memberi kabar akan melangsungkan pernikahannya pada akhir bulan maret dan tak boleh bila istriku tak ikut ke Jakarta. Setelah sebelumnya sempat istriku terjatuh di kamar kecil, cemas selimuti kepala ini, saat teringat pula kata-kata Bunda, “Hati-hati Jo, satu hingga tiga bulan, waktu yang kritis untuk usia kehamilan muda”. Tapi, dengan menggunakan bis malam, kami harus tetap berangkat.

Perjalanan itu sepertinya memakan waktu yang lebih panjang dari biasanya. Beberapa kali istriku mengeluh, perutnya yang mulai membesar itu terasa sangat sakit. Kucoba tenangkan hatinya, walau sebenarnya khawatirku melebihi khawatirnya, kusimpan dalam-dalam.

24 Maret 2009, setelah dua hari di Jakarta, perasaan khawatirku terjadi, istriku keguguran! Satu lagi yang membuat aku terpukul, saat kulihat layar USG, dua kantong sudah tampak kosong! Hanya dua pilihan pada kami, kuret atau obat? Masing-masing punya kekurangan dan kelebihan, obat pilihanku! Ah, lemas ragaku, tak jadi aku punya keturunan, kembar lagi!

Hingga akhirnya kembali ke Malang, tak berani aku temui Bunda! Hanya berani temui Mas Bim dan yang lainnya!

Maafkan aku Bunda, tak berani aku jumpai engkau karena tak turuti nasehatmu... Tapi bila tak kuajak serta, tak mungkin istri kutinggal, selain terpaksa mengajaknya, tak ada pilihan lain bagiku...
…………………………………………………………

THANK’S TAN, THANK’S PINK

Kucoba tetap tegarkan hati walau ujian hidup terus saja datang berganti. Ada saja, ada-ada saja! Prek, kucoba buang segala perasaan khawatir berlebihan yang membatasi ruang gerakku! Saat sudah sedikit tenang, dengan niat dalam hati, kupanjatkan do’a pada-Nya, coba kembali kutanam benih di rahim istriku.

April, saat satu terasa belum cukup untuk yakinkan diri ini, saat akhirnya berlembar-lembar tespek tertata di depan mata, saat kami saling pandang, saat kemudian senyum menghiasi peraduan, istriku hamil lagi! Sungguh, terasa tak sia-sia “gerilya”-ku pada hampir setiap malam sebelumnya!

Pinky dan Te Piet orang pertama yang mengetahui hal itu. Mereka orang yang sangat mengerti keadaan serta alasan kenapa kami untuk sementara tak memberi kabar pada dunia. Perkembangan jabang bayi kami pun selalu mereka ikuti.

Suatu waktu di Mei, tak tahu kenapa Te Piet menahan kami, aku dan istriku, begitu lama malam itu. “Tak boleh pulang dulu ke rumah, tunggulah sebentar lagi,” katanya. Ternyata, tak sadar aku, sangat tak ingat aku, lupa aku, di depan istriku pula, Te Piet kemudian berikan sebuah “hadiah” yang sangat istimewa padaku.

Thank’s Tan! Thank's Pink! Thank’s God and please help me... Aku tak tahu harus bilang apa? Yang kutahu kata-kataku tak akan cukup untuk ungkapkan terimakasih itu!

Thursday, June 4, 2009

Masa kembali ke keluarga

Entah kapan...
Malam hari, aku sudah berada dalam Matarmaja, kereta menuju Malang. Sebentar saja kulihat dari balik jendela, Herto dan Yuni melambaikan tangan saat kereta mulai perlahan bergerak ke arah timur pulau jawa. Tak ku dapat tiket bernomor tempat duduk, cukup padat pula penumpangnya, kuputuskan menyendiri di sambungan gerbong. Sebentar saja pikiranku melayang, entah seperti apa kota Malang, lalu datang kantuk menyerang. Tertidur, sendiri saja.

Sekitar jam tujuh pagi, kereta masuk Blitar. Aku sudah berdiri di pintu. Beberapa penumpang di belakangku cukup banyak, sepertinya Blitar tujuan akhir mereka, sementara tujuanku pecèl sebagai sarapan pagi itu. Yang aku dengar, sepertinya terlambat kereta masuk Blitar, pada akhirnya hanya sebentar ia mampir. Tak lama, sebentar saja, makanan itu sudah lahap aku habiskan saat kereta mulai merayap kembali.

Terowongan pertama di Karangkates baru saja ku lewati. Belum lagi habis untuk berpikir, terowongan kedua menyambut. Sementara asap dari lokomotif penarik gerbong-gerbong memenuhi hampir seluruh sudut kereta. Terdengar ocehan-ocehan beberapa anak kecil, sepertinya gembira menikmati suasana gelapnya terowongan. Tak lama kemudian, tampak juga PLTA Karangkates, berdiri megah di tengah bukit-bukit tandus. Sesekali, sungai di bawah tampak malu-malu menggoda.

Waktu kuputuskan untuk menyusuri gerbong, mencari kesempatan mendapatkan kursi, tampak sawah luas terbentang. Hijaunya membuat aku bangga menjadi seorang penghuni negeri ini, Indonesia. Itu dia, ada beberapa kursi tampak kosong, seakan merayuku untuk duduk disana.

“Permisi Mas, Mbak...boleh saya duduk di sini?” tanyaku pada sepasang anak muda.
“Silahkan Mas, kosong kok,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Darimana? Mau kemana?” tanyaku basa-basi sambil meletakkan tas di tempat barang, di atas kepala.
“Kami dari Semarang, mau ke Malang, “ jawab si laki-laki.
“Mas?” tanya si perempuan.
“Saya naik dari Yogya, juga mau ke Malang, tepatnya ke Lawang,” jawabku sambil menyalakan rokok.
“Oo, kami ke Klojen,” jawab si laki-laki.

Tak lama, percakapan kami seperti tak ada habisnya, apalagi beberapa anak yang sepertinya mahasiswa yang kuliah di malang, dari bangku belakang, ikut bergabung. Mulai dari basa-basi perkenalan, keadaan Indonesia, politik sosial dan budaya, hingga pergerakan mahasiswa. Walau tanpa menyebut nama, tanpa bertukar alamat, akrab sekali.

Matarmaja, kereta kelas ekonomi ini memang jadi idolaku dari dahulu. Tak perduli apa latar belakangmu, tak perduli pakaianmu, tak perduli pangkat dan jabatanmu. Penjual segala macam jenis makanan dan minuman ada di sana. Walau kadang ada beberapa pengamen memaksa, tapi rata-rata suasana itu yang aku suka.

Uhh, jantungku tiba-tiba berdegub kencang, tak terasa saat jembatan Kali Brantas tampak melintas di sisi kereta. Stasiun Kota Malang akhirnya sampai juga. Setelah basa-basi, kami berpisah. Di luar, beberapa tukang becak dan makelar carteran mobil tampak menyambut.
Mataku terpejam, kepalaku menengadah ke atas, tangan kurentang. Aku menarik nafas panjang, mengikhlaskan udara yang terasa segar menyusuri paru-paruku. Matahari hangat bersinar, mampir di seluruh wajahku, menembus jaket, memberi semangat padaku. Berkata aku dalam hati, “Ini, aku datang kota Malang”.

…………………………………………………………

Sambil mengikat rambutku yang tak terasa sudah panjang, aku masuk di TMP Lawang, tempat kakek beristirahat. Lalu terucap do’a, apa saja.

Tak terasa, tak lama kemudian aku sudah berdiri di depan pintu rumah nenekku. Tak berani aku mengetuk pintu, hanya terdiam! Tampak dari dalam, bayangan seorang perempuan bergerak menuju pintu dan lalu membukanya. Tepat di depanku, ia lalu bertanya, “Anak mencari siapa?”

Tak kenal lagi dia padaku! Aku hanya bisa terdiam, memandang dalam tepat pada balik kacamatanya yang tebal, lalu dari atas kepala hingga bawah kakinya. Tak percaya, ini nenekku! Tak sanggup aku menahan hasrat, aku terduduk, berlutut, mencium kakinya! Menangis! Sambil bersuara pelan, “Aku cucu Eyang!”

Tak lama kemudian, aku sudah berada dalam erat pelukannya, sepertinya tak akan ia lepaskan. Ia pun ikut menangis, sambil membawaku masuk. Mendudukkanku di balè kesukaanku dari kecil. Mencium pipiku bolak-balik, memandangku sesaat, lalu kembali memelukku erat. “Sebentar ya, jangan kemana-mana,” katanya sambil mengusap air mata. Ia kembali dengan segelas kopi panas yang tanpa kubiarkan lama, sudah kuteguk setengah.

Aku lalu menjelaskan semua tanpa dia minta sebelumnya, mulai dari awal hingga akhirnya kami bertemu ini. Tatapannya yang hangat membuat hatiku tentram. Tidak pernah sekalipun ia berpaling muka dariku...

Tak lama, aku sudah berada di meja makan, tahu penyèt dengan sambal petis dan kacang sudah ia sediakan. Kumakan lahap sambil meneruskan bercerita, kuhabiskan, tambah lagi. Berhenti sebentar, menatapnya, ia tersenyum. Kuhabiskan lagi, tambah lagi. Sambil menatapku dari balik kacamata, bertopang dagu, tidak pernah sekalipun ia berpaling muka dariku...

Selesai, aku mencium pipinya, kiri-kanan, dalam-dalam. Memeluknya erat-erat. Ahh, tentram hatiku...

…………………………………………………………

Beberapa hari kemudian...
Setelah sempat menjenguk satu tanteku yang ternyata kecelakaan, bapak dan ibu datang, dua tanteku juga hadir, membicarakan tentang aku, tentang alasanku, rencanaku ke depan dan akhirnya tentang apa saja. Pada awalnya ada suasana tegang dan kaku, tapi akhirnya mencair setelah nenek mengutarakan rencananya yang tak aku sebelumnya. Sebuah keputusan, aku akan menetap di Malang.

Beberapa hari kemudian...
Pada percakapanku dengan bapak dan ibu, suasana menjadi berbeda. Aku jadi seperti sahabat mereka, lebih akrab dan hangat. Itu yang aku harapkan, bukan hanya padaku, tapi kalau bisa, aku berharap suasana itu juga berlaku untuk adik-adikku.

Terungkap niatku untuk kembali ke Yogya, sebentar saja. Sekedar mengambil barang dan pamit pada “saudara baru” yang sudah seperti saudara kandung sendiri. Mereka menerima dengan baik.

Ahh, tenang hatiku...

…………………………………………………………

Stasiun Tugu malam itu tampak sepi, waktu kakiku menginjak kembali Yogyakarta. Tujuanku jelas, menuju alun-alun.

Walau hampir satu bulan aku pergi meninggalkan, Malioboro masih menyambutku dengan suasana yang ramah. Sesekali aku berhenti, menyapa kawan di sela-sela orang banyak lalu-lalang. Seni Sono juga masih ramai.

“Mbak..” sapaku kepada Mbak Sum yang kaget. Tanyaku kemudian, “Mas Pur?’
“Wan...gimana kabarmu?” tanyanya balik sambil memelukku, tak perduli mata pembeli menatap.
“Baik Mbak, saya dari Malang,” jawabku.
“Iya, Mbak tahu... Mas ndak ikut, di rumah, agak meriang dia. Herto dan Yuni juga di sana,” jelasnya.
“Kalau gitu, saya langsung pulang ya Mbak,” kataku.
“Iya, wes sana pulang saja..,” katanya kemudian sambil merangkul dan menepuk bahuku berulang-ulang.

Gang menuju kontrakkan gelap dan sepi. Tak lama, sudah terlihat sumur yang diterangi lampu 5 watt menyambutku dari jauh. Pintu belakang rumah ku buka, tampak pintu kamarku juga terbuka.

“Tai laso!” kata pertama dari Herto keluar yang lalu memelukku.
“Yun...,” sapaku sambil juga memeluk Yuni.
“Wan...,” balas Yuni.
“Wan...,” sapa Mas Pur yang tiba-tiba hadir dan juga memelukku. Badannya hangat, tapi sepertinya sudah lebih baik keadaannya.
“Sakit Mas?” tanyaku.
“Iya. Tapi tadi sudah dapat jamu dari Koh Hari, ini sudah jauh lebih baik,” jawab Mas Pur sambil bersemangat menggerakkan kedua tangannya..
“Gimana kabarmu?” Herto tak tahan bertanya.
“Ahh, nanti saja ceritaku. Sekarang, bisa kita semua ke alun-alun? Kasihan Mbak Sum, sepertinya tadi cuma sendirian. Mas Pur sudah kuat?” tanyaku.
“Sudah...sudah... betul ini sudah sehat,” jawabnya bersemangat.

Waktu mulai duduk di lesehan, Mbak Sum juga ikut bergabung. Masih belum ada pembeli, masih sepi. Saat Yuni kembali dengan dua gelas kopi dan tiga teh, aku lalu mulai bercerita tentang semua yang terjadi. Herto kadang mengangguk, Mas Pur juga, sedang Yuni dan Mbak Sum lebih banyak menatap dengan tak sekalipun melepaskan pandangannya. Aku juga mengungkapkan rencanaku untuk menetap di Malang dan meneruskan pendidikanku. Hampir bersamaan, mereka manggut-manggut mengerti. Cukup lama aku berbicara dengan suasana serius.

Saat tak ada lagi penjelasan dariku, aku dan Herto memisahkan diri, kami saling berbisik. Aku kembali duduk, Herto hilang sebentar tapi tak lama balik dengan beberapa tas plastik berisi makanan. Malam itu walau sederhana, kami “makan besar”, merayakan hadirku di tengah mereka dan berkumpulnya kembali kami.

Saling bergantian kami bercerita, tak berhenti bersahutan. Terlepas tawa, kami saling merangkul, lalu makan lagi. Entah sudah kali keberapa Mbak Sum dan Yuni membuat teh dan kopi.

Dalam beberapa kesempatan yang kucuri, sambil menatap mereka satu persatu, dalam hati aku berkata,
“...akan sangat kurindukan suasana ini. Entah kapan dan di mana lagi akan kutemukan suasana seperti ini. Mereka orang-orang sederhana, apa adanya, saling melindungi dan tak sadar bahwa secara tidak langsung membentuk pribadiku. Terimakasihku yang tak terucap dan tak ternilai, atas semua yang telah mereka berikan padaku...semoga Tuhan mendengar...”