Friday, May 29, 2009

Masa kecil di Ambon

Aku anak pertama sekaligus cucu pertama dari keluarga ibuku. Ambon tanah lahirku yang tak akan aku lupakan…

Aku lahir di Ambon dari ibu kelahiran Jawa dan Bapak kelahiran Kalimantan, membuat aku sudah menempuh perjalanan jauh. Kata bapak, waktu masih kecil, aku sudah sering di bawa ke Tanah Jawa dan Borneo, otomatis transit di Selebes. Kapal laut dan pesawat terbang adalah transportasi yang kami gunakan, masih murah waktu itu.

Adikku nomor dua perempuan, kami satu sekolah, jadi sering bersama. Adik nomor tiga, lahir prematur, belum saatnya sudah maksa keluar dia. Ia meninggal waktu masih bayi dan dimakamkan di Ambon. Kata ibu sangat mirip denganku kalau sampai saat ini masih bertahan hidup. Yang terakhir laki-laki, saat kecil dia lebih sering di tanah Jawa bersama nenek dari ibuku.

Ibu membawa serta adiknya, mereka aku panggil Tante Pipit dan Tatik. Sampai saat ini, Tante Tatik masih berdomisili di Ambon. Pinky, anak Tante Tatik, sudah besar, sudah menikah dengan dua anak. Dea, adiknya, juga tak terasa sudah dewasa, sudah punya satu anak. Sedang Tante Pipit sampai saat ini berdomisili di Malang, dekat saja.

Tak banyak yang ku ingat saat masih bayi dulu, tapi menurut cerita ibuku, tak senang aku pada yang namanya ASI, bila dipaksa malah gumoh, muntah-muntah. Yang kusuka malah susu instant. Kecuali saat bulan-bulan pertama, mungkin karena tak hobi ASI, aku tak gemuk, kurus sekali, hitam lagi. Yang masih cukup teringat adalah mulai usia sekolahku. TK, aku relatif nakal, tapi cukup bertanggung jawab.

“Ibu guru, saya mau pup,” kataku memelas penuh harap pada guruku.
“Iya, bisa ke WC sendiri?” tanya beliau.
“Bisa bu!” jawabku semangat.

Tapi yang terjadi, belum lagi aku berjalan 5 meter, “kotoran” itu sudah menggantung. Prek, aku diam saja, tak malu, tak bilang apa-apa. Di WC, sambil buang air besar, celana yang kotor ku cuci sebisanya dan ku peras, maklum masih anak-anak. Aku kemudian berjalan biasa saja saat kembali ke kelas.

“Andreas, kenapa celanamu basah?!” tanya bu guru dengan muka bingung.
“Telat bu, keduluan keluar….,” jawabku santai lalu kembali duduk.
Ibu guru…!!!!????

Satu lagi yang masih kuingat adalah bekas “perang” dengan kawan TK. Sepertinya “cacat seumur hidup” baginya. Bekas “silang,” terkena sudut meja, tak akan hilang dari jidat kawanku. Rahasia itu kami pendam, sampai sekarang.

…………………………………………………………

SD, aku melanjutkan sekolah dasar satu yayasan dengan TK, Xaverius. Frather, menjadi salah satu pengajar yang sangat berpengaruh, untungnya beliau sangat bijaksana. Lain dengan guru-guru biasa, “killer man”!

Dalam satu minggu, hampir selalu ada yang namanya “hari hukuman”. Bukan untuk perorangan tapi untuk satu kelas. Maklum, walau masih kecil, kami sudah mengerti arti “kompak”. Jangan kaget kalau pulang sekolah tampak goresan bekas rotan di paha-paha kami, biasa.

Disiplin mungkin memang jadi pilihan masuk di sekolah ini. Tapi, terbukti bahwa jebolan sekolah ini sangat bersaing dibanding yang lain. Rata-rata peringkatku pun tak lebih dari 3 besar. Dulu, matematika dan bahasa jadi favoritku. Sepak bola jadi pilihan olah ragaku.

…………………………………………………………

Ayahku seorang tentara sedang ibuku seorang ibu rumah tangga yang otomatis ikut sibuk di lingkungan ibu-ibu tentara, persit. Rumah kami barak, satu diantara 10 petak yang masing-masing terdiri dari lima unit. Kalau ingin ke tetangga sebelah, tak perlu aku lewat pintu depan. Biasanya aku hanya melompat dari ruang tamu kami. Kalau malam tak bisa tidur atau sedang marah kepada orang tuaku, itu juga yang ku lakukan. Saat tersadar besok pagi, aku sudah di sebelah.

Saat bermain tak ada yang namanya sandal japit. Bila tak ada acara "formal" dengan keluarga, hanya kaki tanpa alas yang menemaniku ke mana-mana. Hingga pernah suatu saat aku berjalan bersama empat kawan sekitar tiga kilometer untuk rasa ingin tahu yang namanya mencari ikan. Karang Panjang, tujuan kami, daerah dataran tinggi tempat berdirinya patung Christina Martha Tiahahu, yang kata orang, banyak ikannya. Dapat, masing-masing satu ekor.

Waktu kembali ke rumah, bapak sudah menunggu dengan “kopel” dan rotan di tangannya. Tak perduli ikan yang dengan susah payah ku dapat, tak perduli juga kopel dan rotan mendarat di tubuh. Kuingat selanjutnya, sudah di dalam kamar mandi yang dikunci dari luar, basah kuyub!

Kerasnya pendidikan di keluarga bukan hanya aku yang rasakan, adikku perempuan juga, rata-rata semua anak tentara juga pernah. Kopel, sepatu lars dan rotan jadi biasa. Prek, biasa saja bagiku!

…………………………………………………………

Aku dan adik-adik sering diajak ke acara bersama para tentara. Kami sering juga mengisi, mulai acara lomba permainan, menyanyi hingga menari. Ibuku pun tak mau kalah. Fashion show dan menyanyi jadi pilihannya. Hadiah-hadiah, walau sederhana, membuat hati kami sangat senang.

Satu yang aku ambil hikmahnya, mulai dari kecil kami sudah dibiasakan punya kemampuan banyak. Bapak selalu membuat sesuatu dengan kemampuannya sendiri. Mulai dari lemari hingga kursi. Melukis dan seni musik, bapak turunkan buat aku. Tak bosan ia memberikan pengetahuan cara menggambar dan bermain gitar, walau si gitar masih dari pinjaman tetangga. Sedang ibu membuat aku lebih mengerti arti “rasa” dalam seni dan pergaulan.



…………………………………………………………

Selain bermain di sungai air tawar bersama morea di daerah Waitatiri dan naik feri dari Galala ke Poka, laut merupakan salah satu unsur dalam hidup yang tidak akan pernah aku lupakan. Natsepa, pantai yang selalu membuat hati rindu. Pantai landai dengan pasirnya yang putih. Air laut yang bersih jernih dengan warna gradasi biru walau kadang pula hijau.

Para penjual rujak sangat tradisional bersatu dengan lingkungan yang asli, asri. Sampai di tanah Jawa sekalipun, rasanya tak ada duanya. Dengan kebaya asli Maluku, merah kombinasi putih. Rambut “pata mayang”.

Hampir mati aku waktu belum bisa berenang. Terbawa ombak ke tengah, tak ada yang menolong. Memaksa aku untuk menggerakkan tangan dan kaki, timbul tenggelam. Namun, tak berapa lama, gaya “katak” jadi juru selamatku. Aku bisa…Natsepa jadi saksi!

Menyelam tanpa kacamata lalu jadi hobiku. Bermain dengan ubur-ubur, bercanda dengan ular laut dan teripang. Membawa pulang bintang laut selalu jadi oleh-olehku. Ku jemur diatas atap seng, walau akhirnya harus dibuang karena membusuk. Kadang ikan laut hias juga jadi buah tangan, tapi tak lama bertahan. Maklum tak cocok dengan air garam buatanku...
…………………………………………………………

Barak, tak ada pagar pembatas khusus dengan kampung sekitar. Tak ada pos jaga yang harus dilapori untuk masuk wilayah hunian kami. Tetangga barak dan kampung sudah seperti keluarga, walau datang berganti. Aku jadi banyak kenal orang, semoga orang banyak juga kenal aku.

Suasana kekeluargaan itu bertambah saat datangnya hari besar, hari raya. Saat Idul Fitri, saat kami selesai tunaikan sholat dan beranjak pulang, para penganut agama lain yang kami kenal sudah menyambut di depan rumah, mereka sepanjang jalan. Natal, tak beda, kami menunggu di depan pintu. Bersalam-salaman, berpelukan hingga menangis.

Melihat kenyataan sekarang, hatiku miris, aku ingin menangis. Seperti apa makam adikku? Seperti apa Ambon sekarang? Bagaimana Natsepa? Karang Panjang?

No comments: