Sunday, May 31, 2009

Masa sekolah menengah pertama

Tepat saat aku selesai SD, semua siap, kami harus pindah lagi. Bapak ternyata sudah menyelesaikan urusan rumah di Cimanggis (dulu masih masuk Kabupaten Bogor, sekarang Depok), walau secara geografis lebih dekat ke Jakarta.

Rumah itu berada di kompleks perumahan tentara, KPR/BTN TNI AD. Rumah tipe 36 dengan 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi, terletak hampir di pojok kawasan perumahan kami, sangat sederhana. Jadi, jalan buntu dan tidak kaget bila belakang rumah masih sawah tadah hujan yang saat itu ditanami singkong. Sekitar rumah pun ditumbuhi rumput setinggi pinggang. Satu dua kali, terlihat ular sawah sebesar lengan anak kecil melintas. Prek, tak masalah, yang kuharap semoga tak lagi aku pindah rumah.

Dibantu prajurit-prajurit anak buah bapak, satu persatu barang-barang kami turunkan dari truk dan dimasukkan rumah. Aku cuma bisa membantu yang aku kuat. Tak terasa hari mulai magrib waktu semua itu selesai. Ahh, lumayan. Setelah makan, tidur malam itu terasa sangat nikmat. Kata orang banyak, “home sweet home”.

Pagi hari, ibu mengurus sekolahku dan adik. SD adikku masih dalam wilayah perumahan saja sedang SMP ku lumayan jauh. Bapak, aku dan adik-adik membersihkan rumah. Mulai dari kamar mandi, nge-pel lantai, sampai membersihkan rumput sekitar. Sambil menanam beberapa batang tebu di belakang rumah sebagai pagar sementara, ia bercerita seperti apa nanti jadinya rumah kami. Sepertinya bisa dibangun 2 kamar tidur dan 2 kamar mandi lagi sebagai ganti kamar mandi yang telah ada. Aku mendengarkan dengan santai, sementara adik perempuanku asik bermain dengan pompa air dragon. Tidak lama, terdengar jerit tangis adikku saat gagang pompa mampir di dagunya. Untung bapak cepat menyudahi darah yang mengucur deras. Walhasil, perban melekat dan sampai saat ini pun bekas itu tak hilang.

Menjelang siang, ibu pulang membawa beberapa bungkusan plastik. Sepertinya belanjaan dari pasar. Ia kaget dengan perban di dagu adikku, sebentar saja. Tak lama, makan siang pun sudah masuk di perutku. Nikmat sekali!

…………………………………………………………

Cuti bapak akhirnya selesai, aku dan adik perempuanku pun sudah harus masuk sekolah. Sementara ini adik laki-laki ku yang paling kecil masih tinggal dan sekolah TK di tempat nenek di Malang.

Hari-hari kami lalui seperti keluarga pada umumnya. Hanya saja, aku dan bapak masih terus membangun rumah sepulang kami aktifitas.

Setiap pulang sekolah aku harus tidur siang, istirahat total, sebelum bapak pulang dan kemudian mengajak kerja kembali, membangun rumah. Selain mengaduk semen, aku membantu mengangkat semen dan batako. Bapak menyusun batako sambil sesekali ia mengajarkan campuran yang benar, ia juga mengajarkan cara menyusun batako yang baik. Hmm, sebuah ilmu yang sangat menarik.

Perlahan tapi pasti, dinding belakang rumah sudah berdiri, 2 kamar tidur dan dua kamar mandi baru sudah jadi. Pompa air manual pun tak lagi kami gunakan, sudah ada pompa listrik. Pagar permanen sudah berdiri di depan dan samping rumah. Lantai ubin traso sudah berganti produk keramik baru yang lebih licin dan mengkilat.

Kegiatan di lingkungan aku jalani. Mulai dari tim voli, tenis meja, sepak bola agustusan sampai jadi ketua Karang Taruna. Lumayan, untuk pengalaman. Sementara selepas magrib, masih saja mengaji yang aku dan adik perempuanku jalani.

Kami termasuk penghuni pertama di perumahan, jadi tak heran bila banyak perubahan yang kami saksikan. Dari penghuni yang silih berganti, rumah-rumah standart menjadi lebih mewah, jalan mulus lalu rusak, mulus dan rusak lagi. Hingga perkembangan kawan yang dahulu kecil, merangkak, belajar berjalan, berlari, sekolah, dan akhirnya menikah. Tak sedikit yang mati.

…………………………………………………………

Di sekolah menengah pertama, awalnya aku adalah seorang pemalu. Dengan biaya angkot seratus rupiah dan jatah biaya hidup perminggu sepuluh ribu rupiah, terasa sangat cukup buatku. Sebab, setiap pagi, untuk pergi ke sekolah pun, aku biasa berangkat bersama bapak dan kawan-kawan tentaranya, menumpang truk butut dari kantor. Yang penting setelah sekolah, ya pulang membantu orang tua di rumah. Istilah bapak, aku “anak rumahan”.

Pendidikan sekolah dasar di Ambon, terbukti membuat aku mudah mengikuti pelajaran. Peringkat 2 besar selalu ku dapat. Nah, kini perhatianku ku bertambah pada musik. Aku harus bisa memainkannya. Gitar? Bas? Drum? Apa ya??? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu datang saat malam datang. Aku jadi tak nyenyak tidur, tak kenyang makan.

Suatu saat, istirahat sekolah, aku dan seorang kawan melihat seperangkat alat musik dimasukkan ke ruang praktek sekolah. Aku tertarik, tapi hanya berani mengintip dari balik jendela kaca nako. Satu per satu alat itu ditata, lalu kemudian di coba. Wuiiiiihhhh…kelihatannya sangat menyenangkan!

Setiap hari, di tiap istirahat, selalu saja suara alat musik itu bergema, seakan memanggilku untuk mengelusnya. Setiap kali, hanya mengintip yang aku berani lakukan, maklum baru kelas satu, “penguasa” ruang praktek adalah kelas dua dan tiga. Penasaran!

Perhatianku sempat beralih ke karate, pramuka dan basket serta voli. Tapi tak lama. Sebab suatu ketika, di suatu hari minggu, saat merapikan peralatan pramuka di ruang praktek, setengah berani aku mengelus dan menunggangi drum. Baru itu saja, rasanya sudah selangit!

Hasil mengintip sekian lama, membuat aku sedikit mengerti ketukan dasar cara membelai drum. Pulang ke rumah, sapu lidi jadi korban untuk ku buat stick. Pintu ku tutup, mata ku pejam, tanganku menari.

Semakin semangat aku mengintip, semakin semangat aku ikuti ekskul di hari minggu, semakin semangat mengunci kamar, kupejamkan mata, semakin tenggelam dalam perjalanan anganku. Tapi pelajaran sekolah tak pernah luput, masih tetap aku kuasai.

…………………………………………………………

Naik ke kelas dua, aku terpilih jadi ketua kelas dan ketua koperasi sekolah. Selain itu, aku pernah terpilih mewakili sekolah dalam lomba sprint 100 m dan mengikuti Jambore Nasional Pramuka di Cibubur. Aktif juga di pencak silat Cimande, lumayanlah buat pengalaman. Tapi, prestasi itu sepertinya kurang lengkap bila tak juga aku bisa bermusik. Tak lengkap bila hanya bisa memainkan drum dengan stik sapu lidi dalam kamar tidur dengan mata terpejam pula. Belumlah lengkap bila tak punya band!

Suatu saat, dikumpulkan para siswa yang mengikuti ekskul musik, tentu aku termasuk. Pembimbing kami ngejam dengan beberapa siswa, siapa saja boleh mencoba. Wah, ini kesempatannya!

Pertama ku pegang stik drum asli, walau buatan lokal, rasanya ingin pingsan. Perlahan aku duduki kusinya, masih gemetar. Pertama memukul sneer, mau lari ke kamar mandi rasanya. Prek, aku harus PD! Koes Plus, lagu pertama yang kami mainkan, “Ke Jakarta Aku Kan Kembali” dari awal hingga akhir. Persis? Tentu tidak! Yang penting ketukannya masuk. Ahh, lega rasanya.

Setelah selesai, beberapa kawan mengusulkan untuk kumpul di kantin. Walau tak ada yang jualan, maklum hari minggu, kami tetap kumpul di sana. Tak lama, hanya sebentar, lalu kemudian pindah ke rumah salah satu kawan, biar lebih santai.

Setelah bicara cukup lama, di putuskan, Andre di vocal dan rhytm, Hari di lead gitar, Yahya di bass dan aku sendiri di drum. Kita lebih konsen pada Beatles. Latihan satu kali seminggu, dengan uang kas tercatat. Tapi, tak ada yang boleh mengetahui keberadaan band kami yang tanpa nama ini. Kawan sebangku, guru atau wali kelas sekalipun. Sepakat, aku pulang ke rumah membawa beberapa kaset copy-an dengan sangat bersemangat.

…………………………………………………………

Sekali setiap minggu, kami latihan. Mulai dari sewa studio biasa hingga mencuri kesempatan pada hari minggu saat ruang praktek dan sekolah tak ada penghuninya. Setiap selesai belajar, selalu kusempatkan mendengarkan kaset. Sampai jadi pengantar tidur pun tak jarang itu terjadi.

Suatu saat, di suatu pagi, ada inspeksi mendadak di sekolah. Seluruh siswa dikumpulkan di tengah lapangan. Ternyata ada razia, soal apa saja, mulai bacaan Nick Errow, Play Boy, Ko Ping Ho hingga ganja. Walhasil, hiruk-pikuk terjadi, seperti pasar malam. Aku santai saja sambil bercanda dengan yang lain.

Hampir satu jam itu berlangsung, hingga suatu ketika, samar-samar namaku dipanggil. Menyusul nama Andre, Yahya dan Hari. Gila, ada apa? Prek, aku santai saja tanpa ada rasa bersalah. Hampir bersamaan kami keluar dari kerumunan, saling memandang kosong, dan berjalan langsung menuju ruang Kepala Sekolah. Siswa yang lain kembali masuk kelas masing-masing dengan pandangan penuh tanda tanya ke arah kami. Selain Kepsek dan Wakepsek, di salam ruangan ternyata sudah menunggu Bu Dede, Wali Murid kami.

“Semua duduk!” tegas Kepsek.
“Apa ini?” Bu Dede menyambung sambil melemparkan sebuah buku ke atas meja depan kami.
“Kecil-kecil kalian sudah main PORKAS? Kenapa hanya nama kalian ada di sini? Catatan yang lain mana?” tambah Wakepsek tak putus-putus.

Sejenak kami berempat saling berpandangan. Sesekali saling balas menggerakkan alis, saling menunjuk yang lain agar mau bicara. Terus terang saja, aku ingin tertawa tapi tak berani.

“Ibu dan Bapak yang terhormat…ini bukan rekap PORKAS. Kami ini satu band dan ini catatan uang kas untuk latihan band kami,” Andre menjelaskan sambil tertunduk.

Kepsek, Wakepsek dan Bu Dede…???

Sambil berjalan perlahan keluar dari ruangan, kami menahan tawa. Lonceng istirahat tak lama kemudian berbunyi, tanpa dikomando kami langsung menuju kantin. Di sini akhirnya tawa itu tak terbendung, lepas! Terbahak! Terbongkar sudah band kami! Prek, maju terus pantang mundur!

Walhasil, suatu ketika Bu Dede bicara langsung pada kami berempat bahwa atas ijin dari Kepsek, kami diberikan kesempatan latihan terbuka di ruang praktek sekolah, setiap hari minggu. Bu Dede pun tak jarang membawakan camilan, mungkin sebagai “obat rasa bersalah”-nya atau bahkan pemberi semangat kami. Ahh, lega rasanya, apalagi tak jarang kami jadi bisa main dalam acara sekolah, apakah itu perpisahan kelas, sekolah hingga ulang tahun. Prek, tanpa bayaran yang penting puas!

Suatu saat, datang pengumuman lomba seni music, vocal grup, se-Jakarta. Band kami pun di libatkan, walau lebih banyak anak yang bergabung, walau akhirnya hanya juara harapan. Satu yang berkesan, salah satu dari yang bergabung adalah seorang gadis yang akhirnya jadi cinta pertamaku, Linda. Ia biasa saja, tak begitu cantik.

Sebenarnya, jauh sebelum itu, ada seorang gadis yang begitu berusaha mendekatiku. Hanya saja ternyata sahabat dekatku begitu pula berusaha mendekatinya. Ku lepaskan gadis itu demi seorang sahabat, Yusuf.

…………………………………………………………

Linda anak seorang pengusaha terkenal di sekitar wilayah tempat tinggalku. Tapi, bukan itu dasar hubunganku. Ia pendiam, aku suka. Kuning langsat, aku cinta. Ia sederhana, membuatku sayang.

Saat musik menjadi kesibukanku, aku tak juga pandai gitar, jadi alasan mendekati. Ku pinjam, baru lama kukembalikan. Adik perempuanku satu angkatan dengannya, jadi jalan memudahkan. Berlembar surat cinta sudah melayang melewati adikku.

Entah kapan, pagi masih buta waktu ayam jantan baru berkokok, aku sudah wira-wiri, di depan gerbang rumahnya. Dengan sepatu roda yang seharusnya untuk adik laki-lakiku, ku susuri aspal depan rumahnya. Satu dua kerikil ku lempar ke kaca jendela kamarnya. Tapi, saat suara sang bapak terdengar membentak, langkah seribu aku kayuhkan. Prek, sial!

Bioskop punya keluarganya jadi saksi masa pacaran kami. "Anak-anak Gass", salah satu film yang dibintangi Ria Irawan, masih ku ingat kita saksikan bersama. Walau tak selalu berdua, biasanya sekali sebulan aku pasti mampir di sana, tentunya tak selalu gratis bagiku.

Waktu itu, kami punya sebuah kesamaan dalam musik. “I got you Babe” (UB40) dan OST “Labamba”, sama-sama kami miliki. Ahh, sederhana saja, cukup indah!

No comments: