Suatu saat, entah hari dan bulan apa, keluarga kami dilanda masalah. Masa lalu menyerang bapak, rembug keluarga tak ada solusi bijak. Prek, aku protes, bukan karena pendapatku tak didengar!
Ku putuskan pergi meninggalkan keluarga. Hanya adik laki-lakiku sebagai saksi, dengan tatapannya yang penuh tanda tanya, tak terucap satu katapun darinya, melihat aku membawa gitar dan satu tas saja.
Tak ada bayangan wajah Dian, tak ada apa-apa di kepala. Entah akan ke mana, kosong saja, berjalan, mengalir saja. Entah bagaimana ceritanya, aku ada di Masjid Agung, Bandung. Tak lama, sebentar saja. Perjalanan lalu mengarah ke timur, Cirebon, Semarang, Solo, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Bali, kembali ke Semarang, ke Tarakan (Kalimantan Timur).
Saat kembali ke tanah Jawa, di kereta Semarang menuju Yogya, aku melihat kawan lama yang saat itu masih jadi “kurir”. Sebenarnya ada komit, tak boleh ada percakapan diantara kami, tapi akhirnya ia berucap sedang mengantar “stok” untuk Surabaya. Sebenarnya tak boleh ada “pemakaian” di jalan, tapi itu dia lakukan.
Tidak heran bila tak lama kemudian dia “tinggi” dan mulai terasa mengganggu penumpang lain. Tak pikir panjang, setelah menyelamatkan “stok”, kepalan tanganku mendarat beberapa kali di wajahnya. Polisi kereta datang melerai. Setelah ku jelaskan hal yang sebenarnya dan didukung oleh penumpang lain, sang kawan terpaksa harus diturunkan di stasiun kecil untuk diproses. “Stok” aman di tanganku. Prek, rejekiku!
…………………………………………………………
Masuk Stasiun Tugu, Yogyakarta, hari masih gelap, sekitar jam sebelas malam. Barang yang kurasa “berat” kutitipkan di locker stasiun kemudian berjalan santai mencari secangkir kopi hangat.
“Bu, kopi hitam satu…,” pintaku pada si penjual.
“Iya, sebentar ya nak…,” sahutnya sambil meracik.
Tak lama secangkir kopi panas sudah dalam genggamanku. Seruput-an pertama sangat nikmat, melegakan tenggorokan ku. Di sebelah kananku, terduduk juga seorang tukang becak yang kelihatannya diserang kantuk. Padahal kopi di depannya terlihat baru sepertiga di minum. Kedua tangannya terlipat bersilang diatas meja warung, sementara kepalanya naik turun dengan mata tertutup. Tak lama itu, sang kepala akhirnya mendarat juga, berbantal tangannya.
“Kasihan bu…,” kataku basa-basi melirik ibu warung dan tukang becak.
“Iya nak, kecapèan barangkali. Kelihatannya mulai siang tadi penumpangnya tak ada habisnya,” si ibu bicara datar bertopang dagu.
“Anak darimana? Mau kemana?” lanjutnya bertanya.
“Saya dari Jakarta bu dan ingin mengadu nasib di sini. Sebelah ini jalan apa to bu?,” aku balik bertanya.
“Namanya derah Sarkem, Pasar Kembang,” singkat jawabnya saat ada pembeli lain datang.
“Kelihatannya kok ramai, sepertinya banyak penginapannya ya?” tanyaku sambil membakar rokok. “Kira-kira menginap di sana berapa bu?” lanjutku. Si ibu langsung menghentikan adukkan kopinya.
“Hus jangan ke sana, jangan sampai menginap di sana. Anak di sini saja, temani ibu ya?!” suaranya sedikit lebih tinggi dan matanya sedikit melotot. Setelah itu ia melanjutkan meracik kopi.
“Kamu baru pertama kali ini ke Yogya ya?” tanya seorang laki-laki yang baru datang pesan kopi tadi.
“Iya Pak...” jawabku. “Bapak asli sini?” tanyaku balik.
“”Ndak nak, saya dari Wates. Saya tukang becak,” balasnya yang lalu ikut membakar rokok.
“Nak, sekali lagi, kamu di sini saja. Nanti kalo kopinya habis, ibu tambah lagi, gratis. Ya?!” sepertinya nada meminta.
“Kenapa to bu? Ada apa sebenarnya?” aku penasaran.
“Itu tempat ndak baik nak, tempat begituan..,” sela si tukang becak dengan sedikit pelan sambil melahap pisang goreng.
“Oala….saya mengerti bu, pak. Terimakasih sudah mengingatkan. Tapi, ndak apa-apa saya di sini” tanyaku.
“Ya ndak apa-apa nak. Ibu malah terimakasih ada yang nemanin,” jawabnya.
Aku tak tahu berapa lama tertidur. Yang ku tahu, ibu warung kopi itu perlahan membangunkan aku. Karena hari sudah mulai terang, ia harus menutup warung dan pulang mengurus cucu. Tak tampak lagi dua tukang becak tadi malam. Setelah membantu membereskan dagangan, ku cium tangannya dan tak lupa mengucapkan terimakasih.
Rokok sudah menyala, berjalan menyusuri trotoar, otakku berpikir...
”Ternyata masih ada orang-orang seperti mereka. Tak pernah kenal sebelumnya, tak juga tahu nama pada akhirnya, tapi sudah seperti keluarga sendiri yang harus dijaga.”
…………………………………………………………
Ujung jalan Malioboro menyambutku dengan sikap dingin. Sepi, tak banyak yang lalu lalang. Mungkin karena hari masih pagi, sedang toko-toko pun tak ada satu pun yang buka.
Saat menikmati rokok yang tinggal sebatang, terdengar samar gaduh suara musik. Sepertinya di depan sana, di tempat berkumpulnya banyak orang berseragam olah raga. Oh ya, hampir aku lupa hari, saat itu minggu, dengar dari si penyapu jalan, biasanya tiap hari itu ada senam pagi, bahkan tidak jarang sampai tengah jalan Malioboro.
Malioboro berakhir di sebuah perempatan. Seni Sono, sanggar seni dengan sebuah gazebo besar terbuka yang kemudian kujadikan tempat istirahat. Terlihat beberapa anak setengah baya yang masih tertidur pulas di atas lantai kayu gazebo. Sepertinya mereka asli yogya, maaf, sepertinya anak jalanan. Kira-kira mereka berusia antara 12 hingga 16 tahun.
“Mas, pendatang?” tanya seorang laki-laki setengah baya sambil menawarkan rokok.
“Iya, saya dari Jakarta. Ingin mengadu nasib di sini,” jawabku sambil menyambar rokok darinya. “Mas sendiri asli sini?” tanyaku balik.
“Iya, bantaran Kali Code,” jawabnya yang langsung menyalakan rokokku.
Hampir satu jam kami berbincang, tentang suasana pagi sampai kehidupan malam di Yogya. Sedang matahari jam enam mulai terik, akhirnya ku tahu namanya, Herto. Aku sendiri mengaku sebagai Wawan, karena kebetulan aku suka Iwan Fals.
Jalan depan Seni Sono mulai ramai dan kehidupan Malioboro pun semakin terasa. Satu per setu toko mulai dibuka. Para penjual di teras toko mulai terbangun dan menata dagangannya. Walau santai tapi semakin padat. “Ayo ke gubukku, Wan,” ajaknya pada ku sambil bergerak berjalan santai.
Rumah itu, rumah almarhum nenek Herto. Rumah berukuran 5 x 5, terdiri dari ruang tamu dan satu kamar tidur, sedang kamar mandinya adalah milik bersama warga sekitar yang letaknya di halaman depan. Kakeknya sudah lama mendahului sang nenek, entah dimana orang tuanya. Prek, tak sanggup aku bertanya jauh.
Bertemu sang istri, ternyata kelahiran Cijantung, Jakarta. Satu anak laki-laki berusia dua bulan yang sampai saat itu belum bernama. “Silahkan masuk Mas,” katanya.
“Iya Mbak, trimakasih,” jawabku.
“Mandi saja dulu, kamar mandinya itu di depan,” kata Herto sambil jarinya menunjuk ruangan 2 x 2, berdinding “gedèk”.
Tanpa lama, aku langsung mandi. Ahh, segarnya! Pertama kali aku mencicipi air sesegar ini di Yogya. Ternyata saat aku mandi, Herto dan istrinya menyiapkan sarapan, dua gelas kopi dan sepiring pisang goreng. Sambil menunggu Herto mandi, aku bercanda dengan si kecil. Bayi laki-laki itu sehat, putih bersih, kata sang istri untung tak seperti bapaknya yang hitam. Matanya tajam, tapi tak berat untuk tersenyum dan tertawa padaku.
Tak lama, kopi sudah membasahi tenggorokan sementara pisang goreng pun sudah dua yang masuk dalam perut kami.
“Sementara ini rencana kamu apa?” tanya Herto sambil meneguk kopi.
“Gini Mas…,”
“Waduh ndak usah formal, kita se-umur. Biasa saja, panggil saja namaku, Wan” potong Herto.
“Seperti yang tadi aku jelaskan, aku ingin mengadu nasib di Yogya. Untuk itu, aku harus mencari tempat tinggal, kontrakkan,” jawabku serius tapi tetap menggendong si keci yang sepertinya suka jenggotku.
“Gini, hari ini aku bantu mencari kontrakkan. Tapi, kalau belum dapat, sementara untuk dua-tiga hari, tinggal saja dulu di sini,” sambut Herto.
“Waduh, sebelumnya terimakasih. Tapi terus terang aku sungkan sekali,” balasku. “Aku bukan siapa-siapa, kenalpun kita baru.”
“Ndak apa-apa, ya toh bu?” potong Herto sambil melirik istrinya.
“Iya, iya…ndak apa-apa. Kelihatannya, si kecil juga suka sama sampean,” jawab sang istri sedikit kaget.
“Baiklah, sekali lagi, saya menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya,” balasku.
…………………………………………………………
Keluar lingkungan Kali Code, kami mampir sebentar di pangkalan bis sebelah Arma 11. Setelah menyapa beberapa kawan Herto dan membeli rokok, kaki ini menapak menuju alun-alun. Pos polisi kecil, sebelah Kantor Pos dan Gerbang Alun-alun menyambutku. Tampak sedikit di pojok, Masjid Agung Yogya. Kami menuju salah satu dari warung lesehan malam hari di alun-alun yang sedang dibereskan.
“Mbak, Mas, kenalkan, ini saudaraku dari Jakarta,” kata Herto pada seorang perempuan dan laki-laki setengah baya yang sedang membereskan dagangan.
“Wawan…,” kataku sambil menjabat tangan mereka.
“Saya Pur, ini istri saya Sum,” sambut laki-laki berbadan gemuk sambil melipat beberapa tikar.
“Ada apa To? Tumben pagi-pagi sudah nyambangi aku, kangen ya?!” tanya Mbak Sum.
“Gini lho Mas, Mbak…Wawan ini mau cari kontrakkan, bisa bantu?” tanya Herto.
“Lho, memangnya di rumah mu kenapa?” tanya Mas Pur.
“Saya sungkan Mas…,” sela ku sambil ikut membantu membereskan terpal atap warung mereka.
“Mau di rumah kami?” tanya Mas Pur. Aku dan Herto saling pandang, ada sedikit kaget dan senang. Aku kaget karena tak menyangka secepat ini, tapi sangat senang karena ada pilihan cepat. Sementara Mas Pur duduk santai dan sambil membakar rokok kretek. “Rumah saya agak jauh, kamarnya pun sederhana saja. Gimana?” tanyanya kembali.
“Kapan bisa saya lihat Mas?” tanyaku semangat.
“Ya, setelah ini…sesudah di sini beres, kamu bisa ikut kami pulang. Tapi karena kami naik sepeda pancal, kamu dan Herto naik bis,” Mbak Sum ikut bicara.
“Baik Mbak…,” balasku tambah semangat.
…………………………………………………………
Aku dan Herto turun di sekitar jalan Wates, menuju sebuah kampung di ujung gang. Beberapa hari kemudian yang kudengar ternyata kampung itu terkenal sebagai daerah “adu ayam”.
Mas Pur dan Mbak Sum sudah terlihat menunggu waktu kami sampai. Mereka menyambut kami dengan kendi air putih. Tak perlu lama, Mas Pur mengajak melihat kamar yang diusulkannya. Sementara Herto terlihat berbincang santai dengan Mbak Sum dan anak perempuannya. Rumah mereka yang membelakangi jalan raya itu walau cukup besar dan sudah modern tapi sangat sederhana. Belum semua bidang rumah terkena olesan kapur. Kaca dan kusennya biasa saja. Pada rumah utama terdapat ruang tamu dan tiga kamar tidur. Di belakangnya terdapat dua lagi kamar tidur dengan gedèk sebagai pembatasnya. Di antara dua rumah itu terdapat lorong yang menghubungkan dapur, halaman rumah bagian depan dan kamar mandi yang terletak di luar belakang rumah. Kamar mandi yang hanya terdiri dari satu bilik berdinding seng itu, ternyata juga digunakan oleh para tetangga, maklum ada satu sumur besar di sampingnya.
“Kalau kamu berminat, ini kamarnya,” kata Mas Pur sambil membuka pintu kamar.
Kira-kira kamar yang memanjang itu berukuran 4 x 9. Hmm, otakku berpikir, bisa dibagi menjadi tiga ruang; satu kamar tidur, satu tempat barang-barang dan satu ruang tamu. “Berapa Mas?” tanyaku langsung.
“Karena sebenarnya kamar ini tak kami pakai…ya…tiga puluh saja per bulannya. Gimana?” tanyanya balik.
“Tiga puluh ribu? Bener nih Mas?” tanyaku sedikit menggoda.
“Iya. Kenapa? Mahal ya? Hmm...” sejenak Mas Pur terdiam. Lanjutnya, “Gini, karena pintu masuk ke kamar ini dari belakang rumah...dekat sumur...Ya sudah, dua puluh lima saja. Pas lho!”
“Oke, jadi Mas,” jawabku sambil menjabat tangannya. Dompet ku buka, mengambil lima lembar uang dua puluh ribuan, “Ini Mas, saya bayar langsung untuk empat bulan.”
“Lho..kenapa langsung? Kamu yakin? Saya ndak mengharapkan seperti ini, biasa saja, perbulan saja ndak apa-apa. Nanti kalau kamu butuh?” tangannya sedikit menolak.
“Ndak apa-apa Mas, saya masih punya tabungan,” jawabku.
“Sebelumnya, terimakasih ya, Wan. Sudah, ayo kita makan! Sum!” Mas Pur berteriak pada istrinya.
Di tengah suasana makan, aku bercerita sedikit tentang latar belakangku. Pada awalnya kening Herto sedikit meninggi, mungkin karena merasa tak dipercaya sebab tak terucap dariku sebelumnya, kepadanya. Tapi akhirnya tatapan matanya seperti dapat menerima kisahku. Bagi Mas Pur dan Mbak Sum, itu biasa saja, mereka bisa mengerti.
Aku pun mengungkapkan rencanaku, bahwa untuk hari ini aku masih menumpang dulu di rumah Herto. Baru besok barang-barang akan kubawa. Lusa aku ke Jakarta, tiga empat hari kemudian baru bisa menempati kamar. Dan , untuk sementara waktu itu, biarlah Herto yang memegang kunci. Mas Pur dan Mbak Sum bisa mengerti itu juga.
…………………………………………………………
Hari sudah menjelang pukul dua siang, saat aku dan Herto jalan kaki, berniat kembali ke Malioboro. Makian Herto membuatku kaget.
“Tai Laso! Sialan kamu Wan, maunya ku cerita bohong bahwa kamu itu saudara dari istriku yang di Jakarta, eh…sudah lebar ceritamu pada mereka,” maki Herto sambil menyikutku.
“Ndak gitu To, mereka itu orang baik. Kamu kan juga sudah kenal mereka lama, pasti mereka juga sudah mengenal kamu. Nah, dari pada nanti aku yang malu karena tinggal bersama mereka, lebih baik aku cerita saja sekalian. Kamu gak tahu malu kan?” tanya ku canda.
“Tai Laso! Iya sih….,” sambut Herto sambil merangkulku. Kami saling pandang sebentar lalu tertawa terbahak menyusuri Malioboro.
Para pedagang Malioboro sudah mulai merapikan barang mereka. Baju batik, tas, ikat pinggang kulit, kalung dan bermacam jenis lain yang menjadi incaran turis lokal dan luar negeri. Kalau ku perhatikan, barang dagangan seperti itu sebenarnya di Jakarta atau daerah lain juga ada. Mungkin suasananya yang tak dimiliki daerah lain. Itu yang tak bisa diukur dengan uang!
Stasiun Tugu di ujung Malioboro mulai ramai saat kami datang. Setelah mengambil barang di penitipan, kami berencana kembali ke Kali Code. Tak lupa aku menyapa ibu penjual kopi yang memberikan “tempat” padaku pagi buta tadi.
“Sudah mau mulai jualan lagi bu?” tanyaku mengagetkannya.
“Eh, kamu. Darimana Nak?” tanyanya kembali.
“Mengambil barang yang saya titipkan bu,“ jawabku. “Kopi dua ya bu..,” pintaku.
“Iya nak. Lho, kamu kenal Herto ini nak?” tanya sang ibu sambil meracik kopi.
“Aku..gitu loh…,” Herto menyela sambil kepalanya manggut-manggut dan mencaplok tempe goreng.
“Iya bu, Herto ini yang nolong saya,” jawabku sambil mencicipi pisang goreng. “…saya dapat kamar kontrak di jalan Wates, di tempat Mas Pur dan Mbak Sum, pedagang lesehan alun-alun..”
“Oalah…ya syukur nak, mereka orang baik-baik kok. Kecuali yang satu ini…ndablek..,” katanya sambil melirik Herto yang tak putus menyantap gorengan.
“Sebenarnya saya baik lho mbok…,” sela Herto terkekeh.
Hampir satu jam kami berlabuh di warung itu. Tak terasa adzan magrib bergema waktu aku menyapa istri Herto. Sementara si kecil sudah terlelap dalam dekapan sang ibu, Herto memasukkan barang-barangku ke kamar.
…………………………………………………………
Aku terbaring di balè bambu depan rumah, tangan kiri kulipat menjadi alas kepala. Rokok ku hisap dalam-dalam, menarik nafas panjang, mencoba bersyukur dalam hati…
“…betapa beruntungnya aku, bertemu dengan orang-orang yang walau tak pernah ku kenal sebelumnya, tapi dalam waktu yang sangat singkat sudah seperti keluarga dekat…”
…………………………………………………………
Mataku terbuka saat hari sudah gelap. Sambil duduk, masih di balè bambu, kupandang ke kiri dan ke kanan. Lingkungan Kali Code agak sepi. Herto dan istrinya pun tak tampak. Prek, ku putuskan untuk mandi saja.
Tak lama, muncul Herto menggendong si kecil dan istrinya membawa tas plastik berisi sesuatu. Makan malam ternyata! Kali ini si kecil sedikit rewel, tak mau ia padaku, ternyata minta susu ibunya, ASI, minta “jatah” makan malam juga dia. Setelah membereskan makanan sang istri sudah menempelkan si kecil di dadanya, terdiam si kecil. Herto dan aku menyantap makanan dengan lauk tempe bersayur asem, sederhana saja. Prek, nikmat sekali!
Malam ini Herto rencana mengajakku kembali ke alun-alun. Sebelum keluar aku mengambil “sesuatu” dari kamar, lalu kemudian berlari kecil menyusulnya. Tak lupa aku pamit pada istrinya, sementara si kecil sudah tertidur pulas.
Kami jalan sedikit memutar, melewati Sarkem. Ramai, tambah malam tambah ramai. Hampir di sepanjang jalan depan Sarkem, tak sedikit perempuan berdandan minim tampak mempertunjukkan diri. Entah sekedar bercengkrama, basa-basi bicara, atau mungkin bahkan “transaksi”. Satu dua orang dari mereka menyapa Herto. Jujur aku sedikit gemetar waktu ia memperkenalkanku. Untung saja tak lama, sambil lalu saja. Prek, tai laso!
Kami juga sesekali berhenti di sepanjang Malioboro, sekedar menyapa kawan Herto, pedagang kaki lima, sekaligus juga mengenalkanku. Malam hari, ada “nilai tambahan” di Malioboro, mulai penjual makanan lesehan dan gerobak serta pengamen, membuat suasana semakin hidup. Hingga lalu lalang kendaraan bermotor, dokar, becak dan pejalan kaki tak juga mau kalah ikut meramaikan. Prek. makin sumpek!
Malam hari di Seni Sono pun tak kalah ramai. Pedagang makanan kaki lima mulai sore membuka tenda-tenda dan gazebo jadi tempat makan selain sebagai tempat “transit istirahat” antara Malioboro dan alun-alun. Anjal-anjal tak kalah ramai di situ. Sementara pintu utama ke galeri seni sudah tertutup rapat.
Di sebelah kantor pos, sudah menunggu sekitar sepuluh kawan Harto. Dua diantaranya adalah perempuan, maaf, lontè. Dua perempuan itu tampak mesra padanya. Setelah, entah dari mana, Herto memberikan padaku sebungkus rokok dan sebungkus lagi dia masukkan ke kantong celananya, ia mengajak dua perempuan itu ke belakang kantor pos, tanpa komentar. Tak mau bingung, aku berbasa-basi dengan yang lain. Prek, SKSD saja!
Hampir setengah jam kemudian mereka kembali bergabung. Aku tak tahu, spontan saja aku keluarkan “sesuatu” dari dalam tas, ku berikan pada Herto yang lalu membagikannya sembunyi-sembunyi pada yang lain. Saat kami menuju alun-alun, yang lain tak ikut. Tapi, "ucapan terimakasih" sempat mampir di pipiku dari salah satu perempuan tadi. Herto tersenyum padaku. Prek, aku nikmati saja!
…………………………………………………………
“Dapat dari mana Wan. “koplo” tadi?” pertanyaan pertama dari Herto saat kami tidur-tiduran di lesehan Mas Pur dan Mbak Sum.
“Mbak aku minta kopi ya.. Kamu apa To?” tanyaku tak menanggapi pertanyaannya.
“Dapat dari mana Wan?” tanya pertama yang diulang meluncur lagi.
“Waduh, ada turis lokal nih,” sapa Mbak Sum.
“Ah, Mbak ini bisa saja..,” balasku sambil mengambil kopi di belakang.
“Masih banyak?” pertanyaan ke dua terucap dari Herto. Aku diam saja sambil menumpahkan kopi yang masih panas ke tenggorokan.
“Tai laso!!!” nada Herto tinggi sambil memitingku. Aku tertawa terbahak melihat “dapur” Herto memerah menahan marah, padahal hitam kulit di wajahnya.
“Emang enak di-cuek-in?” ucapku. Lalu lannjutku, “Kamu di kantor pos ngapain saja tadi? Kayak ndak ada orang lain.”
“Tai laso! Balas ya kamu Wan? Ya maaf, aku ndak kuat “nahan”, sudah di jidat nih,” katanya sambil beberapa kali memukul jidatnya sendiri.
“Lha, istrimu?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi.
“Yang di rumah ya biar di rumah, di luar aku cari lagi,” katanya dengan tertawa.
“Ya gitu itu Herto…,” Mas Pur yang baru muncul ikut menanggapi lalu ikut duduk bersama kami.
“Sampean ikut-ikut saja Mas...” balas Herto tampak sedikit malu.
Aku lalu menceritakan hal yang beberapa hari lalu terjadi di kereta. Mas Pur tak lama bergabung sebab kelihatannya Mbak Sum kewalahan, disibukkan oleh pembeli yang mulai banyak mampir. Aku dan Herto memutuskan duduk sedikit ke belakang, pas di pinggir di trotoar.
Satu “hal” yang akhirnya terucap dan aku mohon Herto bisa mengerti, tentang mengapa beberapa hari kedepan aku harus ke Jakarta. Aku harus laporan kepada “bos besar” apa yang terjadi pada kawanku kemarin di kereta. Yang jadi masalah, sepertinya aku harus menggantikannya, untuk jalur Jakarta-Yogya.
Tak sering itu kulakukan itu, paling satu kali dalam dua bulan. Yang pasti lagi, aku tetap akan kembali ke Yogya. Aku mohon untuk satu hal itu ia tak ikut-ikutan, anggap saja ia tak tahu. Ia bisa mengerti itu, bahkan sambil tertawa ia mengingatkanku apabila ada lebih, jangan lupa “bonus”nya. Kuberikan satu “papan” padanya, sembunyi-sembunyi tentunya. Prek, sialan, tai laso!
…………………………………………………………
Waktu Mas Pur sudah lebih santai, ia kembali bergabung. Sementara itu Herto permisi entah kemana. Tanpa bercerita lebih, ku ungkapkan padanya bahwa sepertinya mungkin besok aku ke Jakarta. Hari senin jadi pilihanku sebab biasanya kereta lebih sepi. Biarlah Herto yang membawa barang-barangku ke kontakkan. Mas Pur menerima, santai saja. Mbak Sum kembali sedikit kewalahan, dari pada diam, aku memutuskan membantu mereka. Entah mencuci piring, gelas dan sendok atau mengantarkannya pada pembeli.
Hmm, di sela-sela itu, saat tak ada pesanan pembeli yang menyibukkan, saat rokok bisa kuhisap dalam-dalam, aku sangat menikmatinya. Ternyata seperti ini suasana malam di lesehan alun-alun Yogya. Sepanjang trotoar, jalan melingkar seberang alun-alun, terdapat warung-warung lesehan, beberapa WC, tempat penitipan sepeda motor dan sepeda pancal atau ontèl. Warung beratap terpal, remang-remang tanpa listrik. Jenis dagangannya pun hampir sama, seperti jagung atau roti bakar, teh, kopi, susu, kopi susu hingga wèdang jahe. Tak ada suara musik berlebihan, tak ada rasa persaingan. Sementara itu dua pohon beringin tetap berdiri tegar di tengah senyap alun-alun yang gelap tak berlampu. Semua menikmati waktu. Mungkin karena itu malam terasa sangat panjang. Semua berjalan perlahan saja, tak ada yang diburu waktu, tak seperti Jakarta. Prek, I fall in love with this city...
…………………………………………………………
Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang perjalanan dan keadaan, “jalur” Jakarta-Yogyakarta. Paling sekedar cerita, laporan ke “bos besar” di Jakarta, bawa dengan jalur kereta, diletakkan di gerbong A, menyingkir ke gerbong lain, sampai, drop “stok” di satu “hotspot” di Yogya, laporan ke Jakarta via telepon, selesai! Seperti itu saja, selama enam bulan berbeda dalam setahun. Prek, yang penting aman-aman saja. Beres!
Kalau “Koes Plus” menciptakan “Ke Jakarta aku kan kembali”, maka aku juga punya fersi sendiri “Ke Yogyakarta aku kan kembali”.
…………………………………………………………
Hidup sehari-hari di Yogya sangat kunikmati. Pagi hari bersama Herto, pagi-pagi sekali, saat jam berangkat kerja atau sekolah dimulai, kami sudah berada di dalam bis. Gitar bolong hitam dan kaos oblong tipis, selalu menemani, jadi saksi berpuluh lagu keluar berirama dari mulut ini. Ku akui lebih banyak “Iwan Fals”-nya. Ngamèn, way not?
Pangkalan bis bayangan di sebelah Arma 11 jadi tempat awal dan kembali menjadi akhir tujuan. Di pangkalan rasanya sudah lengkap tersedia kebutuhanku, mulai penjual rokok sampai gerobak makanan untuk sarapan dan makan siang. Tak jarang, ku akui juga, tak sedikit kali kami berhutang. Ahh, tentunya tetap pasti kami lunasi.
Aku sampai punya “langganan”, mulai dari “tante-tante”, anak sekolahan, mahasiswa hingga pembantu rumah tangga dan tak jarang mereka mengajakku “kencan”. Yang pasti, tak mau mereka membayar ke Herto. Dan, kalau sudah begitu, cuma dua kata yang keluar dari mulut Herto “Tai Lasso!”.
Tak bisa kami bunyikan gitar dan keluarkan suara mengharap imbalan di Malioboro, ada sebuah “etika” bersama, tak boleh dilanggar. Begitu pula sebaliknya. Bila sekedar saling mengunjungi atau bergitar bersama di pinggir jalan, biasanya di pojok bagian luar pagar benteng, teriak-teriak tanpa imbalan, tak ada yang larang.
Tapi kalau sudah begini, alkohol pasti selalu ada disamping. Tapi kalau sudah begini, jangan kaget saat sedang “tinggi”, kalau tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat di depan dengan beberapa pria berjaket hitam yang lalu turun sambil mengokang senjata. "Cakupan", selalu menghantui! Prek, tak akan mudah aku terkena razia, sebab minimal aku masih punya KTP!
…………………………………………………………
Tak jarang, saat malas pulang ke kontrakkan, kami tidur di lesehan Mas Pur dan Mak Sum. Atau tak jarang pula tidur di Seni Sono.
Suatu saat...
Pagi sudah datang, saat sinar matahari menyilaukan mataku. Aku terbangun di suasana pagi Seni Sono. Herto terlihat masih tertidur pulas di samping beberapa anjal dan terlihat juga ada beberapa dari mereka yang sudah terbangun. Sementara badanku mulai gatal, mandi di Seni Sono keputusanku. Hanya dengan seratus rupiah, waktu itu, air segar sudah bisa menghilangkan penat.
“Mas, mau mandi?” tanya seorang perempuan.
“Iya, kenapa?” tanyaku balik.
“Boleh saya ikut?” tanyanya kembali.
“Tapi..,” mulutku tak bisa bicara lain.
“Ndak apa-apa, di sini sudah biasa kok. Ndak usah malu, ayo! Tapi, Mas yang bayar ya?” katanya sambil mengambil tas dan sedikit menarik tanganku.
Selesai mandi, yang membuat aku tambah kaget setengah mati dengan mulut yang masing melongo dan tatapan tak percaya, perempuan kecil tadi memakai baju seragam biru-putih, SMP!
Gila, hanya dengan seratus rupiah, ada kesempatan mandi bersama! Prek! Gila!
…………………………………………………………
Dengan sedikit kemampuan “speaking english”, kami menjadi "guide". Ada “etika”-nya juga, tak seperti guide amatir lain yang berlari mengejar dan berusaha meng-“gaet” turis, kami tak akan mengejar para bulè, biar mereka yang mendatangi. Biasanya akan terasa sangat tak nyaman kalau si turis sampai berkata dengan nada tinggi “...keep your own business...”, tanpa “...no thanks...”.
Kami duduk santai, biasanya di Seni Sono. Saat bulè mengajak bicara, kami pura-pura tak minat, basa-basi, acuh tak acuh saja. Tapi begitu mereka mulai bertanya tentang bagaimana dan dimana mendapatkan suatu souvenir, itu kesempatan kami! Herto sebagai orang asli Yogya akan menuntun ke galeri mana kami pergi, begitu sudah dekat, ia akan mendahuli, mengambil “kartu”, sedangkan aku akan terus mengajak si turis bicara. Setelah selesai, Herto juga yang akan mengambil “persen” dengan kartu tadi.
Tak jarang kami juga memberikan masukan pada si bulè, misalnya bagaimana cara membawa uang tunai dengan aman. Pernah suatu saat, Andrew, bulè dari Kanada, kami berikan masukan itu dan ia tanpa ragu melakukannya! Memang aman, tapi setelah itu aku dan Herto tak kuat menahan tawa. Bagaimana tidak? Setelah ke money changer, Andrew membawa “cash money”, tiga juta rupiah, dalam tas plastik hitam bercampur dengan pisang goreng! ha...ha...ha...ha... Kasihan si petugas kasir galery, “...maaf ya Mbak...” ha...ha...ha...ha...
Sesekali, becak milik kawan, kadang iseng sering kujadikan penghasil tambahan, tujuan yang dekat-dekat saja tentunya. Walau akhirnya, tetap harus minta pijat ke Mas Pur.
Rata-rata, setelah kami bagi berdua hasil sehari dan kusisihkan biaya hidup harian, rutin setiap bulan satu kali, aku tabung ke bank pemerintah di pojok jalan.
…………………………………………………………
Penghasilan kami sangat terasa lumayan saat ada “sekatènnan”, acara rutin tahunan dari Keraton Yogyakarta, saat mencuci dan meng-kirab puska-pusaka menjelang “satu suro”. Selama satu minggu alun-alun akan sangat padat oleh berbagai macam acara dan penjual. Otomatis, pengunjungnya pun tak sedikit, dari warga asli, turis lokal bahkan mancanegara. Tapi, justru pada saat itu pula hal-hal “negatif”, kriminal, biasanya sering terjadi.
Suatu hari, entah kapan...
Pernah, aku bersama anak-anak Kauman bergabung dalam “Joksin”, Jogja Sinting atau Joko Sinting. Bekas tato “Kepala Garuda”-nya pun sampai saat ini tak bisa hilang dari tanganku. Untuk bisa diterima, setiap anggota wajib menjalankan “tradisi”, cari korban dan membawa hasil. Sekatènan adalah kesempatan yang paling baik bagi kami. “Tiga Dimensi” (ganja, pil dan alkohol) ku jalankan sebelum kulakukan tradisi itu. Yang kutahu, waktu tersadar...seseorang terkapar di jalan di hadapanku, depan pos polisi kecil seberang kantor pos. Aku lari menembus kerumunan orang, menyusuri malam, menuju kontrakan. Ku kunci pintu dan matikan lampu. Entah sudah berapa batang rokok yang ku habiskan. Masih terbayang terus, entah berapa butir koplo yang aku habiskan, membuat degub jantung tak karuan. Dalam kepulan asap ganja dan bau alkohol terbesit asa, semoga tak ada yang mati. Masih sempat terucap do’a, semoga aku diampuni!
Entah jam berapa aku tersadar setelah tertidur, dalam gelap ruang dan malam, hampir subuh mungkin. Kuputuskan untuk mandi agar membuatku semakin sadar. Bermaksud ke sumur belakang rumah, saat pintu ku buka... seorang perempuan setengah baya, tetangga belakang rumah...berdiri menatapku sambil menyeka rambut panjangnya dengan keadaan...maaf, “telanjang bulat”... Masih teringat, sempat terlontar walau dengan suara pelan, tawarannya untuk mandi bersama. Setan! Entah kenapa godaan seperti ini datang? Prek, tanpa berkata, aku masuk dan mengunci pintu luar serta kamar!
Entah jam berapa lagi aku terbangun, kelihatannya sudah sore. Suara Herto terdengar memanggil. Perlahan, dengan setengah merangkak, aku membuka pintu. Ia dan seorang perempuan masuk dengan cepat lalu langsung mengunci pintu kembali.
“Kamu ndak apa-apa Wan?” tanya Herto.
“Aku bikinkan kopi ya?” tawar si perempuan sambil mengusap rambutku yang lalu beranjak pergi.
“Tai laso!” kalimat pertama yang keluar dari mulutku. “Semalam kemana saja kamu To?” tanyaku lanjut.
“Dengan si itu tadi, Yuni,” jawab Herto. “Santai saja, dia bisa dipercaya kok,” lanjut Herto sambil menyambut dan meletakkan dua gelas kopi dari si perempuan.
“Aku Wawan..,” kataku saat mataku bertatapan dengan si perempuan.
“Aku Yuni..,” balasnya saat aku mencoba duduk bersila.
“Yuni bisa kita percaya Wan,” tegas Herto kembali.
“Matamu To!” nadaku tinggi. Tanyaku kemudian, ”Bukan itu masalahnya! Kalau aku tertangkap tadi malam gimana? Cah-cah, ndak terlihat satu pun! Setan!”
“Sebentar, aku mau menjelaskan. Kamu ndak usah kaget dan jangan marah ya, Wan,” jelas Herto sambil minum. “Tadi malam, waktu tinggi, ndak tahu gimana, saat sadar aku ada di tempat Yuni...”
“Iya Wan, muntah-muntah Herto, malu aku sama ibu kost ku,” potong Yuni.
“Yang aku dengar, waktu kamu lari, cah-cah lari juga, memisahkan diri. Tetap ada beberapa yang mengejar kamu, tapi ndak ada yang bisa ngejar. Gimana bisa? La wong, kamu lari kayak setan!,” jelas Herto lagi.
“Apa lagi mereka mabuk ya?! Mungkin malah nyasar? Atau...” potong Yuni. Belum sempat ucapannya selesai, tiba-tiba kepala kutegakkan, mataku memandang tajam ke Herto dan Yuni. Mereka berdua sedikit menarik badan ke belakang.
“Ha...ha...ha...ha...,” aku tertawa terbahak-bahak. “Apa ada yang nyasar ke kantor polisi?” pertanyaan konyol ku itu membuat mereka malah ikut tertawa, terbahak-bahak juga. Kutambah lagi ceritaku soal tetangga perempuan belakang rumah yang kukira setan, tambah terbahak kami...
Mas Pur dan Mbak Sum sepertinya mengetahui kisahku, mereka santai saja, sikap mereka seakan tak terjadi apa-apa. Satu kalimat yang keluar dari Mbak Sum, “Saya bisa ngerti kok Wan.” Pendek, penuh misteri tapi menentramkan hati. Sesekali Mas Pur datang, sembunyi-sembunyi, membawakan aku alkohol. Sesekali juga, sembunyi-sembunyi, ku berikan “buah tangan” dari sisa “stok”-ku. Yuni dan Herto setiap hari pasti mampir, walau tak jarang hanya sebentar, mereka membawakan makanan atau beras dan lauk pauk untuk dimasak. Sial, hampir satu bulan aku tak keluar kamar kecuali untuk mandi! Prek, kupaksakan diri untuk santai saja.
…………………………………………………………
Dalam keterasinganku...di suatu hari, entah kapan...di tengah malam, entah pukul berapa...
Aku tersadar dari mimpi! Yang teringat jelas adalah bayangan wajah nenekku dan Dian! Dalam kesempatan itu, saat nyawa belum lagi lengkap terkumpul, aku bertanya dalam hati, selain wajah nenek, kenapa harus wajah Dian?
Terlihat jelas senyum manis nenek, waktu ku datang untuk makan walau hanya tahu penyèt dengan sambal petis dan kacang. Juga tergambar jelas, senyum manis Dian, saat memakaikanku jaket. Elusan tangan nenek di kepala ku, saat bersama mendengar ucapan salamku padanya di radio transistor, hangat masih terasa. Genggaman tangan mungil Dian waktu berjalan bergandengan menyeberang jalan depan sekolah. Seakan baru kemarin semua itu terjadi.
Keningku berlipat-lipat mencoba mencari jawab, namun tak ku temukan! Berharap, pada asap rokok “campuran” yang bergelantungan, tak juga ku temukan jawabnya. Mencoba mencari jawab pada bergelas-gelas sloke alkohol dan pil-pil setan, tak juga berguna, percuma! Hingga saat sinar matahari menembus sela-sela atap genteng yang berlubang entah berapa ratus, masih tak kudapat juga.
Prek, ada apa ini? Pertanda apa ini? Maksudnya apa? Ada panas bergetar di dada, bergemuruh ramai sekali! Entah kenapa tiba-tiba ada rindu? Lalu, kenapa berubah jadi tiba-tiba cemas? Sedang keringat dan air mata mengalir deras tak bisa kubendung? Mengapa badanku lemas tak bertenaga, tanganku tak kuat lagi menggenggam? Apa sebab mata tak lagi bisa kubuka, sementara saat terpejam bayang mereka silih berganti menampar ingatanku, semakin lama semakin jelas? Dan entah berapa rangkai lagi pertanyaan yang seakan seperti kawat berduri, menjejali kepala. Tak juga kutemukan jawabnya...
Dan, waktu tak kuat lagi ku bendung suara-suara bayangan batin itu dan memikul beban tak berbentuk, setiap sendi-sendi di seluruh tubuh seperti terlepas, tubuhku melayang, jatuh terjerembab. Prek, tak sadar diri ini...
…………………………………………………………
Entah sudah berapa lama Herto dan Yuni berada di sampingku. Saat mataku yang berat mulai terbuka, tak terlalu jelas sosok mereka, blur. Hanya suara mereka yang terdengar, juga masih samar, sepertinya tenggelam jauh sekali di dasar. Sepertinya aku tertidur kembali. Prek, kutahu itu mereka!
Entah berapa lama kemudian, terasa sesuatu yang hangat mampir di jidatku. Waktu mata sudah sanggup kubuka, ternyata Yuni membasuhku dengan air hangat sedang Herto menghisap rokok sambil sibuk mengutak-atik walkman bututku.
“Sedang apa kalian di sini?” tanyaku dengan suara serak.
“Kamu tahu, kamu kenapa?” Herto malah bertanya. Yuni tersenyum saja padaku, lalu menanggapi, “Kalau tahu, tak mungkin Wawan bertanya To!”
“Kamu OD! Over Dosis! Tiga hari kamu tak sadar diri! Untung masih hidup kamu!” mata Herto tajam.
“Hah..???” hanya satu kata yang keluar dari mulutku.
“Maaf, Mas Pur terpaksa mendobrak pintu kamar,” kata Yuni sambil berjalan menghilang ke luar. Suasan hening sebentar, tak ada yang bicara, tak ada kata terucap. Yuni kembali membawa satu piring yang ternyata berisi bubur.
“Ayo Wan, pelan-pelan saja. Minum the ini dulu baru makan bubur,” pintanya.
Ku coba perlahan bangun dari tidur, mencicipi teh hangat lalu kemudian menghabiskan bubur dari piring kaleng. Aku malu pada Yuni, aku makan sendiri saja, sementara mereka berdua terlihat serius bercakap.
“Wan, ini ada jamu tradisional, bukan obat dari dokter tapi dari Koh Hari. Semoga kamu mengerti,” kata Herto memberikan tas plastik kecil.
“Sebenarnya kami agak ragu, tapi ini pemberian Koh Hari, cina pemilik toko alat musik. Pada awalnya ia bertanya mengapa beberapa hari lalu kamu tak tampak ngamen dan ia sangat respect saat kami menceritakan keadaannmu,” Yuni menjelaskan.
“Koh Hari titip pesan, semoga kamu cepat sembuh. Dan, bisa meneruskan cicilan gitar yang kamu mau...” jelas Herto sambil tersenyum.
Teringat pada suatu saat sebelumnya, wajah Koh Hari, pemilik salah satu toko di Kauman. Toko alat musik yang berukuran 4 x 5 itu, biasa saja, sederhana. Memang, pada suatu kesempatan, saat aku berjalan, aku mampir te toko itu.
“Cari apa?” tanya seorang laki-laki berumur sekitar 40 tahun yang akhirnya kutahu bernama Hari, pemilik toko.
“Cuma liat-liat Om,” jawabku singkat sambil memandang sekitar.
“Oo, lihat-lihat...ndak apa-apa,” lanjutnya.
“Koh...kalau aku berminat, kalau Koh mengizinkan, boleh saya cicil gitar ini?” tanyaku sambil menunjukkan sebuah gitar akustik biasa. “Tiap hari, atau kalau ada uang lebih, akan saya cicil. Ndak akan saya ambil sebelum lunas Koh, gimana? tanyaku kembali.
“Saya suka kamu walau baru kali ini kita bicara. Saya sering lihat kamu dengan gitar hitam itu. Ya bisa saja, bisa di atur,” katanya sambil menepuk bahuku.
“Trimakasih Koh...,” jawabku dan langsung ku gapai tangannya, ku cium dalam-dalam sebagai ungkapan terimakasihku.
“Ayo sudah, ndak usah mikir yang macam-macam, ini diminum jamu dari Koh Hari,” Herto membuyarkan lamunanku. Sementara Yuni menyodorkan segelas air putih.
Yuni...
Perempuan dengan status mahasisiwi sebuah perguruan tinggi swasta di Yogya ini berumur sekitar 20 tahun. Aku tak tahu dimana dan bagaimana Herto mengenalnya. Yang kutahu, Yuni selalu protes pada pemilik kost yang bersikap over feodal. Ia semakin dekat dengan kami saat tak malu ikut ngamen, suaranya juga lumayan bagus. Ia pun akhirnya sering nginap di tempatku.
“Wan..,” Herto kembali membuyarkan lamunanku.
“Ada apa To?” tanyaku balik lalu mencoba berdiri, berjalan mondar-mandir, sekedar mencoba kembalinya kekuatanku. Sementara Yuni terduduk bersilah, bersandar pada dinding, di samping Herto.
“Ada yang mau kami bicarakan..” lanjut Herto.
“Gini Wan...,” Yuni memotong. “Sebenarnya kemarin aku dikeluarkan dari kost, boleh aku nunut sementara di sini?” lanjutnya.
“Maksudku, sekalian Yuni merawatmu...” tambah Herto sementara aku masih mencoba menggerakkan tangan dan kepala yang terasa sudah lebih baik, lebih bertenaga.
“Yang pasti aku menerima dan sebenarnya malah aku yang berterimakasih pada kalian...” kataku sembari duduk. Lanjutku, “Aku juga yakin tak kan ada nilai yang bisa mengukur pengorbanan kalian.”
Tak lama, kami kemudian terlibat percakapan serius tentang keadaan di kota, seputar Malioboro hingga alun-alun. Keadaan masih “panas” setelah peristiwa Sekatènan, kata Herto. Mereka juga menganjurkan agar sementara aku “menghilang” dulu. Yuni yang selain merawat juga akan menemaniku, sedang Herto dan anak-anak lain tetap ngamen sekaligus memantau keadaan. Menurutnya, Mas Pur dan Mak Sum juga sudah tahu dan mengerti keadaanku, bahkan ikut mengawasi. Tak tahu bagaimana, kami kemudian saling merangkul...
Sungguh, tak ada nilai yang bisa mengukur persahabatan ini. Mereka semua bukan orang-orang yang memiliki materi lebih. Mereka semua sangat sederhana, apa adanya. Tapi, mereka semua sangat mengerti arti dari “nilai persaudaraan”.
…………………………………………………………
Saat dalam perawatan, saat aku tersadar...
Yuni menjelaskan bahwa dalam terpejamnya mataku, sering kupanggil nenek dan Dian. Ahh, aku hanya terdiam sambil menarik nafas panjang. Kembali dua nama itu mengusik pikiranku, selalu penuhi otak saat aku termenung.
Entah kapan terucap...
“Yun, sepertinya aku sudah sehat. Daripada hanya dalam kamar ini, sepertinya aku akan ke luar kota beberapa hari. Gimana?” tanyaku.
“Waduh, saya ndak bisa komentar apa-apa Wan. Coba nanti kita bicara dengan Herto,” balas Yuni.
“Aku malah bingung karena ndak bisa berbuat apa-apa, Yun. Bosan dengan keadaan seperti ini, sumpek!” kataku.
“Kalau untuk kesehatan, ya sebaiknya jalani seperti itu. Istirahat saja dulu, Wan,” balas Yuni lagi sambil menyodorkan kopi dan pisang goreng.
“Aku sudah sehat, Yun. Sekali lagi sudah sehat...,” jelasku saat pisang goreng hangat mendarat di mulut. “Jujur, apa kamu ndak bosan dengan keadaan ini? Tiap hari ndak bosan merawat aku? Kuliahmu? Ndak ingin ketemu kawan?” tanyaku tak habis.
“Maaf, bukan ingin menyinggung perasaanmu, tapi aku tentu tidak pernah akan bosan, sebab aku selalu bersyukur atas apa yang aku dapat,” jawabnya.
“Aku orangnya tak pernah mau diam, mungkin workcoholic! Aku inngin beraktifitas!” jelasku kembali.
“Ya, kalau menurutmu ke luar kota bisa menyelesaikankan masalahmu itu, aku bisa bilang apa?” kata Yuni datar.
“Gini, selain aku bisa beraktifitas, ada keinginan untuk mampir melihat nenek di Malang, Yun. Pikiranku akhir-akhir ini, entah kenapa, selalu teringat padanya,” jelasku.
“Oo, kalau begitu lain lagi ceritanya. Aku sih, setuju saja. Apa perlu ku temani?” tanya Yuni.
“Ndak Yun, sendiri saja...,” jawabku singkat sambil kembali termenung.