(sebuah cerita tentang hidup dari berbagai sumber)
Di ujung sepenggal wilayah sebuah desa,
di sisi selatan hutan belantara, dalam kesendirianku terdengar jangkrik dan
anjing malam bertegur sapa. Entah mereka saling mengerti atau sekedar mengisi
malam yang terasa sangat panjang.
Tak peduli, sang jangkrik tetap saja
bersuara walau tubuh kecilnya tak berarti sedikitpun bagi anjing malam, padahal
tadi siang anak-anak petani yang berlarian menindas-remukkan dua kakinya yang
kecil. Ia tetap saja bersuara. Entah merintih atau bersyukur walau tak lagi
melompat, masih dapat ia merayap. Terasa bebas lepas tanpa ketakutan!
Sedang anjing malam juga tetap bersuara,
tak peduli luasnya jagat raya penuh bintang, padahal siang tadi dia kalah
bertarung dengan singa hutan. Ia tetap saja melolong walau dua taring kanannya
patah dan telinga kirinya sobek berlumur darah. Entah jerit kesakitan atau rasa
menang sebab masih bisa ia nikmati malam dengan rembulan jingga yang indah.
Terasa bebas tanpa ketakutan!
Tersirat pikiran yang entah datang
darimana, tahu-tahu saja lewat di kepala: kebebasan! Mereka bebas! Kebebasan
yang mereka raih, mereka gunakan selagi masih sempat. Tanpa ketakutan dan rasa
takut apakah besok akan terulang lagi musibah tadi siang.
Kubakar rokok yang tinggal sebatang
ketika teringat percakapan panjang dengan Pram beberapa hari lalu di serambi
rumahnya....
***
Menurutnya, masa terbaik dari hidup
seseorang adalah masa dimana ia dapat menggunakan kebebasan yang telah
direbutnya sendiri.
Aku ungkapkan, bagaimana dengan sikap
orang tua yang sampai detik ini tetap saja mengikat kebebasan kita, segila
apapun kita, dari saat masih tergantung pada puting bunda atau bahkan sedewasa
apapun menurut kita adanya kita sekarang?
Sejarah tentang seorang gadis Jepara
dari desa sebelah, saat masa kolonial dulu, yang diakui sebagai pelopor para
wanita oleh kampung-kampung lain hingga saat ini, ternyata hanya seorang
manusia yang tanpa daya. Menurut sang gadis yang terjebak oleh rasa prihatin
mendalam tersebut, kebebasan akan diperoleh saat datang talak tiga setelah
sebelumnya ia dengan berat hati menerima pinangan pilihan sang Ayah. Ia keliru
besar karena waktu cepat bergeser sedang kematian terlalu cepat lagi.
Kebebasannya kandas! Atau mungkin di alam kematian sana ia betul-betul bebas?
Pram lalu menjawab sambil memangsa
pisang goreng,“Kadang kasih sayang orang tua yang paling tidak patut untuk
dilawan demi kebebasan itu. Kasih sayang tradisional, yang sampai saat ini
masih saja tidak dapat dipungkiri oleh banyak penganutnya, yang jika tidak
diarahkan pada masa mendatang yang lebih pelik dan beragam adalah juga
kekeliruan yang harus diluruskan dan dibetulkan”.
Tak urung aku bertanya, setelah juga
men-caplok ubi rebus, “Mungkinkah itu kasih sayang? Itukah cinta?”
“Bukan! Kasih sayang atau cinta, bukan
hanya itu! Di mana pun ada cinta! Bentuknya beragam! Tanpa itu orang tidak
dapat menanggung hidup! Cinta adalah sumber segala-galanya!”, jawab Pram.
Dalam dinginnya angin, saat sore
menjelang, ku seka wajahku dengan tangan yang mulai membeku, berharap ada
sedikit hangat tercipta disana. Nuraniku yang tak mengerti sedikit pun mengoceh
bebas, “Tuhan, ajari aku mengenal cinta sebagaimana orang-orang lain
mengertikannya”.
Pram balik bertanya tanpa mengharap
jawaban,“Tanpa orang tua dan pendirianmu yang kuat siapa yang dapat
meramalkan akan bagaimana bakal jadinya bayi? Jadi Nabi atau bajingan, atau
hanya sekedar tambahan isi dunia, polos, tanpa daya apa-apa?”.
Seteguk teh hangat manis membasahi
tenggorokanku,“Aahhh... Nikmatnya teh dan pisang goreng ini tak mungkin jalan
sendiri ke dalam mulutku. Bukan dari keturunan mana seseorang manusia berasal
yang menentukan sukses atau tidak dalam hidupnya. Tetapi pendidikan, lingkungan
dan keuletannya. Sukses bukan hadiah dari para dewa, tetapi akibat kerja keras
dan belajar”.
Pram balik badan masuk rumah. Sambil
sedikit berteriak dia lantang bicara dari dalam kamar,“Pengalaman dan
pendidikan dunia maju telah memberikan gambaran tentang bagaimana bangsa yang
maju telah dibentuk dan membentuk diri, bagaimana angkatan muda disadarkan pada
sebuah rasa nasionalisme dan dirintiskan dengan pengertian dan masa akan
datang. Bagaimana ilmu sekolahan dan kenyataan yang sebenar-benarnya dalam
kehidupan, bagaimana terjadi pergeseran bentuk nasionalisme itu dan pergaulan
karena pengaruh kemajuan ilmu dan industri”.
Tiba-tiba kepala Pram muncul dari
jendela,”Pengalaman, pengetahuan, kearifan, terutama semangat hidup untuk maju
akan menumbuhkan sebuah pribadi yang kuat. Cara memandang, cara berpikir dan
dengan gaya sendiri”.
Ia melanjutkan, “Berbahagialah engkau
dan kumpulanmu yang dapat menjadi yang dikehendaki sendiri, lakukan dan berbuat
apa saja yang dianggap baik bagi diri sendiri dan bangsamu. Keadaan terus
berubah, sesuatu atau apapun itu juga pasti akan berubah. Jaman berganti,
kemarin adalah dasar hari ini, hari ini adalah dasar untuk esok dan hari esok
menjadi dasar untuk masa depan".
Aku meneguk teh, waktu nada suaranya
tinggi,”Perubahan tersebut tentu bukan dengan sikap statis, tidak punya sikap,
inisiatif dan gairah hidup, hanya ingin menghabiskan hidup dengan tenang yang
beku. Bosan yang menjemukan dan memuakkan. Perubahan harus dengan jiwa yang
berkobar-kobar akan cita-cita dan didukung oleh orang-orang dengan jiwa
merdeka!".
Aku juga setengah berteriak,”Hati bersih
dan kemauan yang baik belumlah mencukupi untuk dapat memulai! Tetapi tetap saja
semua membutuhkan permulaan! Dengan memulai berarti setengah pekerjaan sudah
selesai.....”.
Ocehanku terputus saat ia duduk kembali
dan sudah bersarung. Kaki kanannya naik di kursi, meneguk kopi dan berkata
datar,”Sedang tujuan adalah bukan merupakan akhir tetapi menjadi sebuah awal
dari perjalanan yang panjang....”.
Obrolan kami terputus saat adzan magrib
menggema...
***
Sebuah amanah dari tulisan Pram pada
suatu waktu di sebuah surat yang panjang dan selalu mengingatkanku kembali...
“Sampaikan salam pada kumpulanmu bahwa
selalu akan dibutuhkan sebuah organisasi dalam bentuk dan nama apapun itu.
Organisasi yang modern untuk persaingan
di jaman yang modern. Bukan lagi hidup yang hanya mencari rejeki pribadi semata
atau hanya membiakkan diri dengan kawin karena tak ada lagi pilihan.
Jangan jadikan nasib kumpulanmu seperti
gadis Jepara. Walau memang dalam satu hal ia benar dengan meninggalkan nilai
bahwa: yang menjadi ukuran, seperti apapun usaha, adalah perbuatan sebagai
pribadi pada sesama.
Tidak mengenal sesuatu berarti tidak
akan tahu apa yang harus diperbuat. Maka, ingin rasanya untuk dapat membangun
sebuah organisasi atau kumpulan dengan modal dan dana pribumi seperti yang ada
di lingkunganmu. Walaupun pribumi yang pas-pasan hidupnya sekalipun. Bahkan
mungkin dari sebagian isi piring mereka modal itu berasal. Organisasi baru,
kelahiran baru dengan semangat baru pula!
Bentuk organisasi atau kumpulan dari
jaman kolonial, kebangkitan bangsa dan sampai saat ini pun pada hakekatnya
adalah sama. Yang ada pada akhirnya adalah "ingin tetap maju atau
mundur"!
Jangan diulangi kesalahan pada masa
Syarikat Priyayi, Syarikat Dagang Islamiah atau yang kemudian pecah menjadi
Syarikat Dagang Islam. Boedi Oetomo yang terkungkung hanya pada satu
golongan priyayi.
Jaman mandegnya demokrasi dengan hanya
tiga partai bahkan masa sekarang dengan multi partai yang rancu dan kebablasan
pegangan demokrasinya.
Tetap saja yang namanya pribumi
tertindas oleh janji atau dengan tipu muslihat dalam pelaksanaannya!
Pada kumpulanmu, bentuk organisasi yang
baru, saat kita dihadapkan pada masalah intern organisasi, tidaklah salah
sebuah sikap asasi yang menyatakan bahwa dalam organisasi orang bukan melulu
harus bisa mendamaikan pertentangan dan menarik sebuah kompromi dengan
musyawarah. Dapat dimaklumi juga bahwa untuk hak asasi tersebut kita tidak
boleh takut kehilangan cabang, kehilangan anggota bahkan seorang yang telah kau
anggap ”saudara” sekalipun.
Tanpa mengurangi rasa hormat, hanya ada
pilihan maju atau mundur!
Untuk itu, sudah tentu adalah kini
saatnya dilahirkan pemimpin-pemimpin yang berani, mampu dan jujur”.
***
Penat pikiranku, melihat kenyataan yang
tidak akan pernah aku sampaikan pada Pram. Kusimpan dalam-dalam. Aku jadi tak
bebas! Aku bukan orang bebas!
Terngiang kembali...
“Masa terbaik dari hidup seseorang
adalah masa dimana ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya
sendiri. Sebuah organisasi modern.Pemimpin-pemimpin yang berani, mampu dan
jujur. Perubahan dengan sikap statis, tidak punya sikap, inisiatif dan gairah
hidup, hanya ingin menghabiskan hidup dengan tenang yang beku adalah hal bosan
yang menjemukan dan memuakkan. Perubahan harus dengan jiwa yang berkobar-kobar
akan cita-cita dan didukung oleh orang-orang dengan jiwa merdeka”.
Satu yang aku dapat lakukan, melontarkan
tanya pada kelompokku, "Apakah kita dapat melakukan yang menurut kita
baik, seperti segala kebaikan yang terdapat dalam tulisan panjang Pram?"
Dalam lingkaran malam aku berharap dapat
sedikit tidur dan menemukan jawaban atas pertanyaan "mampukah kita?"
Malang,
5 Mei 2012