Satu hari sebelum berangkat, kami sepakat untuk melihat keadaanmu,
siapkah kamu menempuh perjalanan menyeberang pulau Jawa ke arah timur Indonesia. Tanggal
1 Juli 2009, pagi hari,
Dokter Bambang, memberikan
pertimbangan yang cukup
melegakan hati. Apalagi saat tampak dirimu dengan panjang
78,7 mm di dalam perut ibumu, sesekali bergerak dan terlihat tenang-tenang saja dalam
4 bulan umurmu.
Sebenarnya jauh dalam hati bapakmu ini, masih ada cemas, namum kusembunyikan dalam-dalam............................................
RABU, 1 JULI 2009.........................................
Perjalanan kami mulai sekitar jam
07:00 malam. Kupacu kendaraan dengan kecepatan biasa saja, tak lebih dari 80 km/jam. Aku berusaha membuat perjalanan menjadi nyaman untuk semua penumpang, khususnya untuk anakku dan istriku.
PAITONTak terasa, sekitar jam
11:00 malam, kelap-kelip lampu Paiton sudah menyambut di depan mata. Diputuskan untuk sejenak saja
merenggangkan tubuh yang letih, tentu membuat
istriku tampak begitu
gembira. Senyumnya seakan tak pernah habis, tetap saja tampak di wajahnya yang bulat. Segelas mie instan pun ia habiskan. Semoga sedikit membuat hati
anakku tenang dan obati laparnya juga malam itu.
Setelah menyantap habis satu piring nasi campur, sambil mencicipi kopi hangat bawaan dari rumah, sebatang rokok kubakar sebagai penghilang penat. Sesekali
kuelus perut istriku yang semakin membesar karena hadirnya
anakku. Sambil bercanda menepis cemas, sesekali pula kuabadikan moment itu. Tetap dalam hati ku panjatkan
do'a, semoga
anakku baik-baik saja di dalam sana. Uhh, perjalanan harus dilanjutkan, tujuan masih sangat jauh.
Satu per satu tikungan setelah Paiton dilalui. Gelap dan rusaknya jalan di alas
Baluran membuat mata harus lebih awas. Tepat di salah satu tikungan tajam menanjak, sudah tampak dari jauh, sebuah truk gandeng besar tertidur, terguling mencium aspal.
.........................................
KAMIS, 2 JULI 2009.........................................
KETAPANG - GILIMANUKSebentar saja,
Pelabuhan Ketapang pun sudah tampak menyambut kami. Sekitar
04:30 pagi, hari masih gelap saat kami harus menunggu giliran untuk naik ke feri. Tak bisa juga kupejamkan mata ini walau hampir seharian tak tidur dan mulut selalu menguap. Kupilih turun, berjalan, menikmati suasana hilangkan letih.
Para
penjual minuman hangat masih setia membuka lapak sambil sesekali menawarkan. Beberapa
petugas pelabuhan sibuk mengatur antrian. Walau sempat juga tampak
sebuah kendaraan roda empat, bermerk,
berjalan mundur dari jembatan. Sepertinya ada
salah hitung muatan untuk masuk feri, lucu juga! Tapi terjadi! Sementara di sudut lain cukup banyak
truk-truk pengangkut sayur atau kebutuhan pokok berjajar menunggu giliran. Sesekali
angin dari laut datang membawa aroma air garam, menerpa badan cukup kencang, mengingatkanku pada
Ambon. Ahh, rindu aku!
06:30 pagi, matahari mulai bergerak naik, kendaraan kami akhirnya juga bergerak merangkak masuk ke dalam mulut
feri. Seorang
petugas menerima kami dengan
mencatat nomor setiap kendaraan sebelum masuk feri sedang petugas lain bertanggung jawab
mengatur parkir kendaraan dalam perut feri. Mereka bekerja
sangat baik sekali. Lalu saat terompet kapal mulai berbunyi keras sebagai pertanda kapal harus bergerak, seorang petugas lagi santai saja bergerak naik ke geladak lalu
menekan sebuah tombol kecil, pintu masuk besar kendaraan bergerak menutup. Di luar sana, seorang petugas lain
melepas tambang besar sebagai penambat kapal ke pelabuhan.
Ahh..kapal bergerak juga. Sudah sangat lama tak kurasa naik kapal, jadi lega rasanya
kembali berada di atas
laut. Perlahan feri meninggalkan Tanah Jawa, meninggalkan Ketapang. Buih-buih ombak pun tercipta di setiap pinggir kiri-kanan feri. Walau kebutuhan
keamanan standart telah terpenuhi, sebenarnya tetap ada sedikit
prihatin dalam hati melihat keadaan kapal-kapal feri yang notabene kebutuhan utama angkutan antar pulau ini. Hampir di setiap bagian selalu saja lebih banyak bagian yang
berkarat.
Setelah sebentar saja berada di ruang penumpang, aku ajak istriku ke atas geladak, mengambil beberapa gambar. Prek, tak malu aku pada yang lain. Senyum
istriku tergambar walau ku tahu ia
sembunyikan rasa sakit akan perutnya yang sedikit kaku. Atau mungkin, sebagai akibat
anakku yang ingin memberikan tanda bahwa ia juga
menikmati suasana itu.
Sekitar
45 menit perjalanan menyeberangi selat itu, sementara semakin tampak jelas pulau Bali di depan mata.
Pelabuhan Gilimanuk terlihat sibuk, antrian feri tampak menunggu giliran untuk merapat.
Akhirnya, sekitar
07:15 pagi, setelah sekian lama tahun berlalu, ku injak kembali pulau
Bali, sebuah tugu "Selamat Datang" di Gilimanuk menyambut. Kami jadikan tempat istirahat, sarapan pagi, sebentar saja.
Ahh, tenang rasanya, ganti supir, aku istirahat. Tak terasa mata semakin berat, tak kuasa ku tahan kantuk...
REST HOMEHari sudah siang saat masuk kota
Denpasar. Setelah sedikit putar-putar, kami menuju rumah kerabat
Mas Sony dan
Mbak Lun di kawasan Gurbenuran,
Renon.
Rumah itu belum selesai semua walau pada dasarnya sudah layak untuk di huni. Dengan tiga lantai, sangat layak rasanya. Hanya saja belum seperti pada kebanyakan rumah,
detail-detail khas
Bali masih belum lengkap.
Makan siang dan mandi, istirahat kemudian jadi pilihan. Akhirnya, bisa juga badan ini terbaring diatas kasur, di pulau Bali. Ku lihat
istriku sepertinya juga merasa
sangat bahagia karena dapat
istirahat.
Nak, istirahatlah pula kamu sejenak...LEGIAN-KUTASore menjelang malam, Mas Sony pulang dari kerja di
Kantor Gubernur. Setelah semua mandi, perjalanan kami berikutnya menuju Legian, Kuta. Dalam perjalanan,
satu pertanyaan yang ku ungkap, yang semenjak masuk Denpasar selalu saja mengganggu pikiranku, "Ada apa dengan
masyarakat Bali yang mulai pagi hari tampak sangat sibuk,
mobilitasnya sangat
tinggi sekali?". Lun menjawab dengan santai, bahwa memang seperti itu adanya, semua orang sibuk menjalankan
bisnis apa saja, khususnya yang berhubungan dengan
pariwisata.
Legian menyambut kami dengan suasana khasnya. Walau waktu baru menunjukkan jam
06:20 sore, seluruh sisi kiri-kanan dan di setiap sudutnya tampak orang-orang
sibuk berjalan kaki berbaur dengan kendaraan yang berjalan pelan kerena
macet. Tak hanya bule, orang pribumi pun tak jarang lalu-lalang berjalan kaki dengan santai.
Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan menyusuri trotoar
Kuta menuju
Tugu Bom Bali.
Pedis sudah kembali hidup menjadi sebuah club malam, waktu ku lintasi sudah terdengar suara musik bergemuruh. Sementara beberapa meter dari situ,
Sari Club masih belum dibangun, hanya dibatasi pagar seng. Satu hal yang jarang diketahui masyarakat ternyata berada di tengah jalan, di bawah kendaraan yang lalu-lalang, terdapat sebuah tanda "
bundar", tepat di situlah mobil
pembawa bom berada dan akhirnya meledak.
Di sebuah tugu tepat di ujung jalan, sudah banyak orang yang tampak mengambil gambar atau sekedar melihat berbaris-baris nama korban bom. Aku tak menyiakan kesempatan itu, ku ambil beberapa gambar.
Satu yang menjadi catatan dalam kepalaku... "Nak...di sinilah sejarah mencatat bejatnya sebuah keyakinan yang salah kaprah! Nak, ternyata tak sedikit korban darah dari anak pribumi negara ini...".........................................
JUMAT, 3 JULI 2009.........................................
RENONPagi menunjukkan pukul
07:30, aku dan istri sudah berada di sebuah tugu yang menjadi bagian "
Lapangan Puputan Udayana" di Renon, tepat di depan Kantor Gubernur, dekat saja, hanya sekitar 500 meter dari rumah.
Sepertinya
masih baru, jadi bisa dimengerti bila masih ada fasilitas yang belum bekerja semestinya. Tapi secara umum, ia sungguh menakjubkan. Semua
elemen khas bali ada di situ, baik pada
eksterior maupun
interiornya. Pada setengah tower utama bagian dalam, terdapat loby tempat kita bisa melihat seluruh Denpasar, hampir berfungsi seperti Monas-Jakarta.
Yang membuat aku lebih terkesima, saat istriku meminta untuk di ambil gambarnya dengan latar patung di bagian luar monumen, kedua tangan patung tersebut ternyata seperti memberi tanda "peace".
Semoga tak ada lagi bom di Bali...SANURSekitar jam
09:30 pagi, pantai
Sanur menyambut kami. Hari masih pagi tapi
parkir sudah begitu
padat.
Berjalan kaki, santai saja menyusuri trotoar pinggir pantai dengan
kios-kios pedagang souvenir di kanan. Sementara beberapa meter di kiri, ombak membelai mencium bibir pantai.
Kami sempatkan mengambil beberapa gambar dan menguji panjaja
tato temporary. Te Piet dan istriku lebih banyak santai menikmati suasana sambil beberapa kali bercanda dengan si pembuat tato.
Aku menyusuri pantai, mengelus air laut dan mengambil gambar berlatar "
bule-bule setengah bugil" yang terkapar di atas pasir menikmati terik matahari. Prek, selagi ada moment, aku santai saja tak peduli.
Nak, di daerah seperti ini dulu, aku, bapakmu di besarkan... Indah, tentram...entah bagaimana kabarnya sekarang?SHOPPINGWaktu sudah menunjukkan pukul
10:45 saat salah satu
pusat belanja
oleh-oleh khas Bali di bilangan
Kambingan menyambut kami turun dari kendaraan. Tak lengkap rasanya ke Bali kalau tak belanja, shopping oleh-oleh.
Tempat itu sepertinya masih baru, sekitar dua tahun, menurut seorang petugas. Apa saja ada di situ, mulai dari yang batu-batu alam terkecil hingga lukisan ukuran super besar. Suasana yang asri, seakan dirumah sendiri, itu yang membuatnya menarik hati. Harganya pun relatif murah, mulai dari lima ribu rupiah hingga yang jutaan.
Juve, seorang artispun, sepertinya tampak sedang berbelanja di sana.
Nak, tak suka aku belanja... Walau kemarin baru dapat fee seminar yang lumayan, ku coba bisikkan "irit" di telinga istriku. Untuk biaya periksa anak kita...SEMAWANGSiang
03:30,
pantai Semawang menyambut kami. Tak lama, hanya sebentar setelah parkir, walau pantai sedikit kotor oleh ganggang, rumput laut, aku sudah
basah menceburkan diri.
Berenang, menyelam bermain kano. Ku tumpahkan semua
rinduku pada
laut! Kupuaskan dahagaku akan rindu yang lama terpendam! Walau sedikit takut, istriku ku ajak ke tengah, ke gundukan pasir yang semakin waktu semakin tergenang oleh air pasang.
Sesaat kemudian istriku terlihat sibuk menikmati
bakso bersama
Te Piet,
Bu Rina dan
Mas Sony. Sesaat kemudian tampak dari jauh, istriku sibuk bercakap saat jemarinya di belai
pelukis kuku. Prek, aku tak perduli dengan rayuan semangkok bahkan bermangkok bakso! Aku tak perduli dengan indahnya lukisan kuku! Aku lebih mencintai laut, kembali ku tenggelamkan diriku pada sejukknya pelukan air.
Nak, cepat lahir...biar dapat ku ajarkan kau menyelam dan hidup menikmati laut!.........................................
SABTU, 4 JULI 2009.........................................
TANAH LOTSaat kami harus kembali, searah pulang ke Tanah Jawa, Tanah Lot jadi tujuan.
08:30 pagi setelah pamit, kendaraan meluncur perlahan meninggalkan Renon. Denpasar dilewati saat jalanan semakin terasa padat. Keluar dari hiruk pikuk kota, tikungan dan sawah menyambut perjalanan kami. Hampir
dua jam kemudian, gerbang
Tanah Lot menyambut kami.
Mulai pintu
masuk, pemeriksaan
karcis hingga
Pendopo utama, apalagi di kaki
Pura, wisatawan
padat. Mungkin bersamaan dengan waktu liburan dan tepat di ujung minggu.
Kios-kios menghiasi kiri-kanan, sepanjang jalan menuju Pendopo. Beberapa rombongan berbeda asal, dengan identitas yang terlihat dari kaos mereka, tampak juga sangat menikmati pagi itu, kami pun begitu.
Istriku menemani Te Piet di kios atas, sementara aku bergerak turun melintasi
Goa Ular ke kaki Pura. Ku sempatkan ikut antri mencicipi
air tawar dari
pancuran di goa kaki
Pura dan mengambil beberapa gambar.
Ingin rasanya menceburkan diri kembali ke laut, tapi sepertinya tak bisa. Walau ombak datang merayuku, karang-karang yang terbentang sepanjang bibir pantai mencegahku. Uhh, sungguh sayang. Sesekali ku belai saja air laut di pinggir karang, semoga dapat kurangi rasa ingin itu.
Setelah hampir dua jam, walau berat di hati ini, Tanah Lot harus kami tinggalkan.
SINGARAJATikungan demi tikungan kami lewati. Sawah hijau terbentang di sisi kanan jalan. Lalu saat perut ini sudah tak tahan melawan lapar, kami putuskan untuk beristirahat. Di belakang sebuah Pura, menghadap tepat ke laut, tikar pun akhirnya di gelar. Sebentar saja, mungkin karena belum makan, anjing-anjing sang pencari ikan menghampiri kami dari pinggir pantai.
Tampak dari jarak cukup jauh, beberapa muda-mudi berlatih
menari di
sanggar terbuka. Sementara tepat di sebelahnya, dua
pekerja sibuk membalik butir-butir berwarna coklat kehitaman. Aroma bau
cengkeh mampir di hidung. Kembali hadirkan rindu pada tempat lahirku.
Lamunanku buyar, saat suara istriku terdengar, kami harus meneruskan perjalanan kembali.
GILIMANUK - KETAPANGPukul
04:50 sore, suasana pelabuhan
Gilimanuk relatif
sepi saat kami tiba. Menurut seorang petugas, siang tadi yang sangat padat, khususnya bagi kendaraan yang memasuki pulau Bali. Tak lama, kami pun sudah berada dalam perut feri. Tapi justru kini kami harus menunggu beberapa kendaraan lagi agar feri bisa bergerak. Masuknya satu kendaraan roda empat dan dua kendaraan roda dua, akhirnya membuat feri bergerak.
Selamat tinggal Gilimanuk, selamat tinggal Bali... Entah kapan aku akan kembali? Mungkin setelah anakku lahir, kan ku bawa ia kembali, perkenalkannya pada indahmu...Di belakang, Gilimanuk melambai. Sementara di depan, Ketapang ucapkan selamat datang. Saat berada di tengah, diantara Bali dan Tanah Jawa,
ombak sore itu terasa menghantam lebih
kuat. Beberapa penumpang bahkan berteriak senang ketika ombak menghempas feri lebih keras. Air laut bahkan beberapa kali pula masuk menggenangi lantai dasar feri.
Langit mulai gelap saat jam menunjukkan hampir pukul 06:00 sore. Dari jauh, lampu-lampu di Ketapang satu persatu mulai menyala, seperti merayakan kedatangan kami kembali. Tapi ombak seakan tak ingin lepaskan pelukannya. Sepertinya sang nakoda cukup sabar berusaha mencoba menjelaskan bahwa hal itu memang harus terjadi, bahwa kami memang harus merapat.
Dengan berat hati, saat menginjak daratan perlahan, saat kembali menyentuh Tanah Jawa...satu terucap dalam hati... "...semoga, tak lama, ku akan kembali..."
.....................................
Nak, kota Malang sudah sangat sepi saat akhirnya kami dapat merebahkan diri kembali di kamar. Dan, waktu menunjukkan jam 03:00 pagi saat ketakutan dan ragu kembali menghantui, "Bagaimana kabarmu? Sehatkah dirimu di dalam sana?"Tepat satu minggu sejak pemeriksaan terakhir, tanggal
7 Juli 2009 sekitar pukul
09:17 pagi hari, D
okter Bambang, memperlihatkan keadaanmu yang sangat melegakan hati bapakmu ini. Tampak
dirimu saat bergerak
menghisap jari-jari mungilmu. Panjangmu pun sudah
92,8 mm. Ahh, sangat melegakan...
Nak, perjalanan ke Bali kemarin membuktikan dirimu perkasa!