Aku terduduk diatas jamban usang…
Sambil luapkan sahwat karena memang tak
sanggup membeli...
Teringat desah sang istri …
Yang kini distempel sebagai
"Pahlawan Devisa" oleh republik ini…
Teringat pula marah terpendamku pada PT
yang selalu lepas tangan dengan sombongnya…
Saat ringan saja kutanya, "apa ada
kabar yang di negeri orang sana?"
Tak sadarkah, atau pura tak peduli?
Padahal anak cucu mereka makan dari
hasil jerih keringat jutaan TKW!
Pada puncaknya, tercecer benih sahwatku…
Di tubuh dingin dinding dan lantai
berlumut...
Pada tirani kepuasan…
Hadir suara "demonstrasi"
jutaan benih…
Yang tak jadi dan kutau pasti...
Bukan hanya milikku!
Yang paling kecil…
Kepala demonstran para jelata berkata…
"Pak, mumpung BBM belum lagi naik,
mana uang jajanku untuk memborong semua produk iklan di televisi?"
Yang tercantik…
Tak kalah merayu…
"Ayah, sudah ada kan dana untuk
jadikan aku Pegawai Negeri Sipil? Sebab sekarang gajinya bersaing dengan para
Hakim lho?!"
Si nomor dua…
Korlap barisan demonstran mahasiswa tak
mau kalah…
"Siapkan dana pendidikanku yang
tinggi, sebab tak ada yang namanya sekolah gratis! Semakin tinggi sekolahku
akan semakin lihai aku Korupsi!"
Sang Sulung…
Kepala kaum bajingan kapitalis…
Santai saja berkata karena sedikit mabuk…
"Pak, aku indipendent, siapa saja
yang berani membayarku akan kulayani. Tak punya uang ya aku merampok, yang jika
mati terkena pelor adalah resiko! Bukan untuk para teroris, tapi sekedar untuk
makan adik-adikku!"
Ku bayangkan bila jutaan benih itu jadi…
Bayangan saat mereka ungkapkan rasa...
Terbesit pepatah "banyak anak
banyak rejeki"…
Jadi tak percaya aku!
Aku tersenyum lega…
Bukan hanya karena telah tersalur...
Tapi dalam mandi peluh…
Teringat laku para manusia…
Di taman kecil tengah kota sebelah
utara...
Di antara riuh degub jantung kota…
Di derasnya nadi yang bising...
Di antara kemilau mimpi-mimpi…
Di antara bau terbakarnya sampah bumi...
Sang pelukis berjoget tak habis…
Ikhlaskan bersenti-senti cita di
kanvasnya!
Sang penarik becak lompat sana-sini…
Berkoar riang soal cita, terlupa wajah
Satpol PP!
Sang pendemo dingin menebar cita…
Berusaha mencolek hati para pejabat atau
aparat!
Sementara para pelakon lain…
Mencapai klimaks kepuasan di langit
tertinggi cita-cita!
Pada asa…
Tak ada yang tak mungkin…
Tak ada batas waktu…
Tak berbatas siapa adanya kita…
Semua bisa kita lukis semuluk apapun itu…
Sebebas yang kita mampu!
Pada nyata…
Yang benar-benar nyata…
Cita dan cinta biasa beriring di awal
saja…
Mungkin karena cinta itu buta?
Maka…
Sangat berbahagialah kita…
Bila mencapai langit tertinggi…
Dimana cita dan cinta bisa selalu
bergandengan…
Saat waktu dan siapa adanya kita…
Bukan lagi pengorbanan tapi sebuah
ikhlas...
Malang,
senin kliwon, 16 April 2012, 17:43 WIB
No comments:
Post a Comment